Akar Dan Faktor Terjadinya KBG (Kekerasan Berbasis Gender)

nepatriotsjerseysnepatriotsjerseys

ATURAN HUKUM DAN KBG DALAM POLITIK

Ditinjau dari perspektif hukum, pemerintah telah berupaya melindungi kaum perempuan dengan diratifikasinya Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (Convention on the Elimination for All Form of Discrimination Against Women) melalui UU Nomor 7 tahun 1984 yang menyatakan: “Kekerasan berbasis gender adalah suatu bentuk diskriminasi yang merupakan hambatan serius bagi kemampuan perempuan untuk menikmati hak-hak dan kebebasannya atas dasar persamaan hak dengan laki-laki. Rekomendasi Umum ini juga secara resmi memperluas larangan atas diskriminasi berdasarkan gender dan merumuskan tindak kekerasan  berbasis jender sebagai: tindak kekerasan yang secara langsung ditujukan kepada perempuan karena ia berjenis kelamin permpuan, atau mempengaruhi perempuan secara proposional. Termasuk di dalamnya tindakan yang mengakibatkan kerugian atau penderataan fisik, mental dan seksual, ancaman untuk melakukan tindakan-tindakan tersebut, pemaksaan dan bentuk-bentuk perampasan hak kebebasan lainnya“.

KDRT adalah jenis KBG yg mengalami kenaikan signifikan dari tahun ke tahun, meski pemerintah telah menerbitkan UU Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga sebagai pergeseran dari KDRT sebagai masalah hukum privat ke hukum publik, namun dalam realisasinya terdapat kesenjangan antara harapan dan kenyataan, meski jelas-jelas KDRT merupakan pelanggaran HAM, kejahatan terhadapmartabat kemanusiaan serta bentuk diskriminasi yang harus dihapus. Hal ini dikarenakan belum efektif atau kurangnya sosialisasi UU
tersebut kepada tiap elemen masyarakat, bukan hanya kepada perempuan. Efek yang terjadi akibat ketimpangan gender adalah melorotnya kualitas hidup perempuan.

Di masa sekarang ini, KBG sudah terjadi pada semua lini kehidupan, tak hanya dalam rumah tangga, tetapi juga di masyarakat, termasuk yang ada kaitannya dengan pengelolaan SDA demi memenuhi kebutuhan pangan karena KBG sangat melekat pada konteks hubungan kultural, sosio ekonomi dan kekuasaan politik.

Di kancah politik, KBG juga makin santer terdengar. Banyak caleg perempuan yang diintimidasi internal partai untuk menurut pada aturan partai yang kerap adalah akal-akalan laki-laki belaka. Belum lagi akal-akalan lain, misalnya  mengkoar-koarkan tentang kesetaraan gender dalam penempatan perempuan di parlemen, toh buktinya secara kasat mata jelas nampak buktinya bahwa perempuan masih saja dijadikan pemanis dalam kancah perpolitikan  karena kesetaraan yang mereka  laki-laki- gaungkan hanya sebuah tong kosong yang nyaring bunyinya.

Perempuan hanya dijadikan sebagai alat untuk menarik dukungan. Hal tersebut terlihat dengan melimpahnya caleg perempuan yang dilamar, baik partai besar maupun partai burem. Namun tetap saja kiprah perempuan di parlemen terganjal, apalagi dengan adanya revisi terbatas UU No 10 tahun 2008 tentang PEMILU anggota DPR, DPD, dan DPRD yang merugikan perempuan, meski usulan revisi tersebut dianggap tidak kompatibel dengan pasal-pasal lain dalam Pemilu.

Dewasa ini solidaritas perempuan terhadap masalah KBG cenderung meningkat, baik dari sisi kelembagaan maupun  praktisnya. Ini menunjukkan kesadaran perempuan untuk membela hak-hak sesamanya juga semakin meningkat, namun sekali lagi, KBG bukan hanya pekerjaan rumah bagi perempuan, di masa mendatang, baik pemerintah dan non pemerintah diharapkan dapat bersama-sama menggarap pekerjaan rumah ini untuk menekan kekerasan berbasis gender dan mewujudkan tatanan kehidupan masyarakat yang menjunjung tinggi keadilan dan kesetaraan gender.

Beberapa UU yang bisa dijadikan landasan dalam pencegahan sekaligus penagan KBG antara lain :

UU No. 23/2002 tentang Perlindungan Anak

UU No. 23/2004 tentang PKDRT

UU No. 13/2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban

UU No. 21/2007 tentang PTPPO

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *