PKBI melihat permasalahan yang terjadi pada remaja adalah karena kurangnya akses informasi yang benar dan dapat dipercaya. PKBI melihat pentingnya dorongan untuk menggagas pendidikan kesehatan reproduksi menjadi bagian dari kurikulum. Berikut alasan kenapa pendidikan kesehatan reproduksi penting sebagai salah satu pelajaran atau dorongannya adalah menjadi salah satu muatan lokal di sekolah.
- Terdapat anggapan reduktif di kalangan masyarakat luas bahwa seksualitas hanya berkait dengan aspek fisik dan hubungan seksual. Anggapan ini pada gilirannya mempersempit ruang kesehatan reproduksi remaja dan memposisikannya sebagai social taboo. Kondisi ini kemudian berimbas pada aspek pengetahuan yang rendah pada remaja ketika mereka memasuki masa puber (Mulat Miyarsih, 2002).
- Perilaku seksual remaja khususnya sudah mencapai tahap yang cukup memprihatinkan. Hal ini bisa dilihat dalam beberapa penelitian tentang hal tersebut di Yogyakarta.
- Reiss dan Halstead (2004) mengatakan bahwa dalam pemberian pendidikan kesehatan reproduksi, sekolah memiliki peran yang sangat signifikan, antara lain:
- Sekolah merefleksikan nilai yang berlaku dan diinginkan oleh masyarakat. Sekolah bisa memberikan ide dan gagasan tentang apa yang harus dipikirkan anak mengenai seks yang akhirnya digunakan sendiri oleh anak untuk membangun nilai seksualnya. Pengaruh sekolah mampu menyeimbangkan opini-opini ekstrem tentang seks yang diperoleh anak melalui sumber lain.
- Kedua, sekolah memenuhi kesenjangan antara pengetahuan siswa dan pemahaman mereka, termasuk pengetahuan tentang pentingnya nilai. Hal ini penting karena pendidikan kesehatan reproduksi yang diterapkan tidak mungkin bebas dari nilai. Dalam fungsi inilah, informasi mengenai seksualitas dan kesehatan reproduksi diberikan kepada siswa.
- Ketiga, sekolah mendorong anak-anak memilih sikap yang rasional terhadap berbagai pengaruh dan pengalaman yang mereka dapat dari luar. Anak-anak membutuhkan bantuan untuk peka terhadap perbedaan nilai-nilai seksual yang mereka ambil dari berbagai sumber secara bertahap melalui refleksi kritis, sehingga mereka akan mulai membentuk, merekonstruksi dan mengembangkan nilai mereka sendiri.
- Kebutuhan masuknya pendidikan kesehatan reproduksi ke dalam sistem pendidikan formal (sekolah) juga didasarkan pada sebuah asumsi bahwa sistem pendidikan nasional pada jalur formal (sekolah), terlepas dari kelemahan yang ada di dalamnya, merupakan sebuah ruang integral yang memiliki sebuah capaian-capaian yang terukur, sistematis dan terjadwal lewat sebuah struktur kurikulum yang jelas, serta pada tahap tertentu menjadi tanggung jawab pemerintah untuk menjamin pemenuhan hak reproduksi dan seksual remaja.
- Secara paradigmatik, pendidikan kespro masuk mulok bisa diartikan sebagai sebuah dorongan wacana bahwa sekolah bukan hanya berfungi sebagai tempat untuk mencetak peserta didik yang siap ‘kerja’ dan sukses dalam ‘karir’, akan tetapi juga sekolah secara bersamaan juga berfungsi untuk membentuk pribadi yang sehat secara reproduktif dan seksual. Untuk jenis kesehatan yang terakhir ini seringkali terlupakan oleh pihak sekolah dan pihak pemegang kebijakan pendidikan.
- Intervensi pada remaja yang dilakukan di luar jalur formal secara paradigmatik sebenarnya sedang berposisi hanya sebagai penangkal implikasi negatif dari sekian pergaulan remaja yang tercipta dari pendididkan jalur formal (sekolah). Intervensi itu tidak melihat secara struktural bahwa tugas menjamin hak reproduksi dan seksual remaja adalah bagian integral yang harus dilakukan sekolah yang diatur lewat sistem pendidikan nasional.
- Hambatan yang dihadapi, 1. Asumsi kepadatan jam, 2. Keterbatasan SDM pengajar, 3. Pendanaan, 4. Materi dan Metode, dan 5. Kebijakan pendidikan pemerintah.
Dalam rangka pemenuhan hak-hak remaja maka digagas adanya pendidikan kesehatan reproduksi remaja yang komprehensif masuk muatan lokal, PKBI DIY bersama dengan guru dan siswa menyusun modul KESPRO untuk SMP dan SMA kelas 7 dan 8 disertai dengan buku Lembar Kerja Siswa (LKS).