Indonesia Perlu Strategi Kebudayaan dalam Penanggulangan AIDS

Indonesia mendapatkan dukungan dana sekitar US $ 130 juta dari Global Fund to Fight AIDS, Tuberculosis and Malaria. Sebenarnya dana ini tidaklah terlalu besar, manakala dibandingkan dengan persoalan-persoalan yang membelit bangsa ini berkaitan dengan AIDS. Apalagi jika dilakukan perhitungan anggaran yang akan diperuntukkan bagi 12 provinsi yang dinilai cukup menonjol prevalensinya sebagai wilayah target program, dengan memfokuskan pada kelompok yang terpinggirkan, pekerja seks komersial, pengguna narkoba suntik dan laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki.

Pemberian dukungan ini, harus sungguh-sungguh mendapatkan perhatian serius dalam pemanfaatannya. Apalagi masih segar dalam ingatan kita, problem keuangan yang terjadi berkaitan dukungan dana dari GF ATM di penghujung tahun 2008, yang mengakibatkan pemberhentian untuk sementara dukungan dana dari GF ATM. Kepercayaan menjadi kata kunci penting manakala berbicara dalam area bantuan. Pencederaan terhadap kepercayaan, pencederaan terhadap diri sendiri. Hanya saja, yang perlu ditegaskan, menjalankan kepercayaan dalam penerimaan bantuan, juga bukan berarti merelakan keyakinan-keyakinan yang menjadi prinsip dalam menjalankan gagasan, ide ataupun nalar-nalar program lainnya.

Kita ingin menyampaikan, walaupun GF ATM bagaimanapun memiliki kontribusi yang cukup signifikan dalam agenda-agenda pencegahan AIDS di Indonesia, kita mesti membangun garis negosiasi sehingga apa yang kita lakukan memang sungguh-sungguh memiliki perspektif lokal yang jelas dan sesuai dengan situasi sosial di negeri ini. Kita mesti memiliki keberanian untuk menyampaikan nalar yang mungkin saja memiliki perbedaan dengan nalar universal, sebagaimana mungkin diyakini GF ATM.

Dalam konetsk seperti ini, keberanian menyampaikan paradigma dan pendekatan dalam menjalankan program bukanlah sebuah pencederaan kepercayaan, melainkan justru menunjukkan sebuah konsep yang jelas dalam menjalankan mandat bantuan itu sendiri. Sisi ini yang seringkali dilalaikan, sehingga kita terjebak dalam nalar pemberi bantuan, dan pada akhirnya menyesali diri, manakala periode bantuan itu harus berakhir, sementara kita sudah melakukan banyak hal yang justru mencedarai kepercayaan komunitas kita sendiri.

Satu contoh bisa diajukan, benarkah secara paradigmatik, kita sudah mencoba melakukan dialog secara kritis dengan GF ATM berkaitan dengan terma “perempuan yang dilacurkan” dan “perempuan pekerja seks”. Kita perlu meragukan, karena meskipun secara umum kita sudah menggunakan terma “perempuan pekerja seks” bahkan secara naif menyebutnya “pekerja seks komersial”, secara ideologis nyata-nyata hanya berhenti pada penyebutan tanpa membawa sedikitpun perbedaan dalam perancangan strategi program dan out putnya.

Kalau saja, kita bersetuju dengan terma “pekerja seks komersial”, maka dalam nalar program yang hendak dikembangkan dari bantuan dana GF ATM, sudah semestinya akan menyentuh soal-soal politik dan sosial yang selama ini memosisikan “pekerja seks komersial” dalam situasi yang sulit. Jika kita menyebut nama “KPAN”, kita bisa mempertanyakan, pernahkah secara nasional institusi resmi negara dalam melakukan koordinasi penanggulangan AIDS di negeri ini menyoal perkara ‘bagaimana kawan-kawan pekerja seks itu selalu dikejar-kejar Satpol PP’ karena dalih penegakan PERDA atau ketertiban umum atau menjaga moralitas bangsa atau menjaga keberlangsungan generasi muda? Pernahkah KPAN menyoal mengenai berbagai Perda yang bermunculan di berbagai daerah berkaitan dengan pekerja seks?

Jika jawabnya belum, di sinilah letak kelemahan seluruh pendekatan penanggulangan AIDS di Indonesia. Kita lalai, perkara HIV dan AIDS tidaklah semata-mata persoalan yang hanya membutuhkan intervensi medis dan penyadaran publik mengenai persoalan medis. Persoalan HIV dan AIDS berkelindan dengan apa yang disebut ‘asumsi-asumsi yang bias moralitas’. Wilayah ini, tentu saja, membutuhkan strategi yang lebih komprehensif, karena ia bersentuhan dengan doktrin dan nilai-nilai yang diajarkan berdasarkan tafsir atas agama dan ukuran-ukuran moral lainnya.

Karenanya, kita berpendapat, manakala kita sungguh-sungguh memegang kepercayaan, maka kita harus berani mengatakan keluasan pendekatan yang harus dikembangkan dalam mengembangkan agenda penanggulangan AIDS di negeri ini, yang itu berarti berani mendialogkan problem paradigmatiknya. AIDS bukan semata-mata angka yang terus menerus diupayakan terbongkar, tetapi gerakan yang lebih luas mengenai kebudayaan yang bisa menerima siapapun kehadiran setiap manusia secara damai dan berdampingan. Lalu, angka itu, tak dikejarpun akan muncul dengan sendirinya. Ketika hilang rasa takut dikucilkan, didiskriminasi dan diabaikan secara sosial, siapapun berani untuk berbicara dan menyatakan statusnya.

Artinya, merancang agenda penanggulangan AIDS yang lebih manusiawi, bukanlah soal, apakah di negeri ini memiliki sejarah ke-NGO-an atau tidak berkaitan dengan persoalan AIDS, seperti dikatakan Bob Magnani, atau juga bukan soal kegagahberanian Nasiah Mboy ketika mengatakan “I’m from the old order. … So if we say ‘A’ in Jakarta, ‘A’ goes down all the way to the family level. That’s not possible anymore; we have to do advocacy with each and every one”, sebagaimana dilaporkan BBC News.[]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *