Kembali keyakinan institusional PKBI DIY, yang telah diysahkan dalam “Memorandum Kaliurang” PKBI DIY didiskusikan kembali.  Keyakinan Institusional ini adalah merupkan poros pertama bagi PKBI DIY untuk menjalan roda organisasi untuk mencapai visi-misi Perkumpulan. Demikian dijelaskan oleh Maesur Zaky, Direkda PKBI DIY saat menerima rombongan tamu dari Universitas Dian Nuswantoro (Udinus), Semarang, siang kemarin di Aula Lantai II PKBI DIY (20/05).

Iman Gerakan : Dari Komunitas Sebagai Aktor Sampai Aras Multikulturalisme

Zaky, begitu dia akrab dipanggil, menjelaskan bahwa dalam rangka keyakinan institusional tersebut, PKBI DIY mentashbihkan diri sebagai Organisasi Non Pemerintah (Ornop) yang memandang persoalan kesehatan reproduksi, HIV dan AIDS merupakan persoalan relasi kuasa. “Keduanya bukan semata persoalan perilaku individu maupun masalah klinis semata,” tandas Zaky di hadapan 16 mahasiswa Udinus yang didampingi 3 Dosen.

Zaky melanjutkan cerita pengalaman PKBI DIY selama ini memberikan pembelajaran bahwa posisi Ornop hanyalah sebagai fasilitator yang memfasilitasi penyelesaian persoalan yang dialami komunitas dengan pemerintah, sebagai aktor penyelenggara negara. Keyakinan ini memandang komunitas tidak lagi sebagai objek, tapi sebagai aktor sekaligus subjek dalam gerakan menuju perubahan.

Menurutnya, semua strategi gerakan, baik itu riset, jaringan, advokasi, kampanye, maupun pengembangan kapasitas yang dilakukan Perkumpulan berkiblat pada keyakinan institusional tadi. “Di PKBI DIY ini sering disebut sebagai iman gerakan” tegasnya.

Menanggapi peserta rombongan yang didampingi 3 dosen, Zaky, mengatakan bahwa persoalan stigma yang melekat pada Kesehatan Reproduksi termasuk HIV dan AIDS tidak hanya direspon PKBI DIY dengan melakukan kerja penjangkauan komunitas yang dimarjinalkan semata. Namun menurutnya harus juga pada komunitas secara menyeluruh, termasuk yang diduga melakukan stigma. “keduanya harus dikuatkan. Ya, yang menyetigma atau distigma , atau yang memarjinalkan dan dimarjinalkan,” tandasnya sembari menceritakan kegiatan pertemuan kader-kader desa dengan komunitas LGBT yang difasilitasi PKBI DIY di Kotagede baru-baru ini.

Dengan penguatan mereka yang me/di-stigma dalam konteks HIV dan AIDS, Seksualitas atau Gender, harapannya mereka akan mampu membuat jalinan sinergis sampai praktek program tanpa ada label atau perlakuan buruk. Keduanya akan sama-sama menganggap bahwa komunitas lain memiliki hak yang sama untuk hidup dalam ruang kehidupan dan kebudayaan, walaupun berbeda dalam orientasi seksual atau identitas gender. “Dan inilah, model multikulturalisme yang sedang dikembangkan PKBI DIY. Selain itu, dengan penggabungan antara komunitas desa dengan komunitas yang dimarjinalkan itu berarti hilangnya stigma dan diskriminasi, baik berbasis HIV dan AIDS, identitas Gender atau seksualitas. Jadi tidak semata perbedaan berbasis SARA” tegas Zaky menyimpulkan.

Iman Gerakan dalam Pemenuhan Hak Reproduksi Remaja

Sejumlah pertanyaan terkait siswi sekolah yang mengalami kehamilan yang tidak diinginkan (KTD) muncul dari beberapa mahasiswa Udinus, yang totalnya 16 mahasiswa. Menurut Zaky, siswi tersebut merupakan korban, baik sistem maupun korban dari pelaku kekerasan.

Menurut Zaky, Korban ini tidak boleh kehilangan hak pendidikan karena kehamilannya. Karenanya, lembaga harus berpihak padanya. Dorongan siswi yang mengalami KTD untuk mempunyai hak cuti sekolah dan kemudian akan meneruskan pendidikannya setelah persalinan, harus terus digelorakan. Mekanisme ini merupakan kesepakatan yang digagas  bersama dengan Forum Guru Kesehatan Reproduksi , sehingga hak pendidikan tetap melekat pada siswi yang menjadi mengalami KTD.

Selain penyelesaian yang berorientasi pada perlindungan hak pendidikan tersebut, inertevensi ke ranah hukum juga diperlukan bagi pemenuhan hak bagi remaja korban kekerasan seksual. Untuk ini, berjaringan adalah mutlak . “Seperti baru baru ini terjadi, kasus pelecehan seksual yang dilakukan seorang oknum guru di sebuah SMA di Bantul. PKBI berkerja sama dengan Mitra Wacana, LBH Yogyakarta dan jaringan lain untuk mengadvokasi dan mengawalnya hingga ranah hukum”, ujarnya .

Hal yang lebih sistemik, lanjut Zaky, melihat persoalan KTD merupakan persoalan yang dipicu pada situasi sistemik yang memunculkan fakta ketidaktahuan remaja sekarang ini tentang kesehatan reproduksi. “Untuk itu, Forum guru Kesehatan Reproduksi bersama PKBI DIY telah mengembangkan modul pendidikan kespro untuk anak sekolah SMP hingga SMA, yang nantinya akan didorongkan untuk dimasukkan sebagai muatan lokal,” ujar Direktur ini semangat.

Iman Gerakan dalam Strategi Pengorganisasian

Diskusi juga berkembang ke ranah strategis. Pertanyaan bertubi muncul dari mahasiswa terkait strategi pengorganisasian PKBI DIY. Sulistyo Budiarto,  Koordinator Program Pengorganisasian  Komunitas, mengatakan bahwa prinisp utama pengorganisasian adalah memberikan kesempatan yang sama, posisi yang sama, serta hak yang sama merupakan cara yang paling mudah.

Kemudian dia menjelaskan strategi pemetaan, penjangkauan serta assisting. Dia mengatakan sangat penting untuk melakukan fasilitasi penguatan kemampuan komunitas dalam pemecahan masalah dan komunikasi. “Misalnya, dalam soal urusan membantu anggota komunitas yang sakit. Kita mengawal kemampuan teman sebaya untuk mampu menembus urusan birokrasi kesehatan, sampai klaim Bapeljamkesos,” jelasnya sambil memberi contoh.

“Tidak berhenti di sini saja,” lanjutnya. Komunitas juga difasilitasi untuk mulai mengasah kemampuan dalam berorganisasi. Mereka bisa menggunakan organisasi sebagai alat memperjuangkan hak, sekaligus mengelola sumberdaya di komunitas. “Strategi pendekatan ini, sedang terus kita jalankan bersama komunitas remaja jalanan, pekerja seks dan lgbt (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender-red ) di DIY,” jelasnya.

Sulis juga menambahkan, upaya lembaga untuk membantu biaya pengobatan melalui akses Jaminan Kesehatan Sosial (JAMKESOS)  merupakan bentuk keberpihakan lembaga namun sekaligus alat bantu , agar komunitas juga mau belajar serius untuk menerapkan nilai nilai anti kekerasan terhadap perempuan  yang selama ini digaungkan Perkumpulan. “ada perjanjian bersama komunitas, siapa yang menjadi pelaku kekerasan terhadap perempuan atau anak, dia bisa dicoret dari daftar penerima Bapeljamkesos,” tuturnya.

Indikator keberhasilan pengorganisasian dengan model penguatan organisasi mulai nampak. Sulis menceritakan bagaimana kesadaran kritis Pekerja Seks yang mulai berani menggunakan haknya untuk menanyakan identitas dan surat tugas Satpol PP saat melakukan razia pada komunitas. Contoh lain, tambahnya, keterlibatan komunitas dan berdiskusi pada pembuatan perda HIV dan AIDS DIY yang kini telah disetujui dewan dan disyahkah oleh Gubernur.

Soepri Tjahyono, Pelaksana Daerah (Pelda) PKBI DIY mengatakan, “keyakinan institusional seperti ini, hanyalah PKBI DIY yang menerapkan, mungkin tak ada di PKBI lainnya.” Dengan keyakinan seperti itu, lanjut Soepri, PKBI DIY mampu memfasilitasi kemampuan komunitas untuk menulis buku, memproduksi video komunitas yang dibuat komunitas baik yang dimarjinalkan maupun komunitas desa. Selain itu, tambah Soepri, produk cetak seperti buletin dan koran desa membuktikan peran komunitas pada sudah mulai pada posisi sebagai subyek.

Kawah Belajar Kritis Bagi Mahasiswa

Dosen pendamping menanyakan bagaimana nilai PKBI DIY diterapkan dalam pengembangan jejaring dengan dunia Perguruan tinggi. Soepri menjelaskan bahwa keyakinan institusional yang diterapkan pada ranah kerja, gagasan dan cara pandang ternyata telah berhasil menarik banyak kalangan akdemis dan universitas untuk menitipkan peserta didik didiknya belajar dari pengalaman PKBI lewat mekanisme magang.  Selain itu, Pusat Studi Seksualitas (PSS) juga banyak menerima permohonan data, wawancara atau bahkan penelitian dari mahasiswa dari seluruh universitas di DIY dan luar DIY.

Dengan metode magang yang berbeda, mahasiswa yang bergabung lebih dianggap sebagai “programmer” daripada “kuli”. Magang didesain, lanjutnya, agar bisa memberikan hasil positif yang berguna dalam pengembangan baik PKBI maupun mahasiswa sendiri. “ Jadi nantinya kalau mahasiswa Udinus bergabung, tidak akan ada pekerjaan membuatkan minum, angkat telepon ataupun disuruh suruh fotocopy seperti jika magang ditempat lain. Justru kalian akan diberikan kesempatan untuk mengembangkan ide ide kritis dalam bentuk program yang bermanfaat bagi lembaga atau komunitas ,” Jelasnya kepada semua peserta rombongan dari Semarang. [Novan]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *