Tingginya angka HIV dan AIDS di kalangan anak dan perempuan yang cenderung terus meningkat, angka kekerasan terhadap perempuan yang tak kunjung menurun, pelanggaran HAM yang bisa disaksikan di mana-mana, dan angka kematian ibu melahirkan dan anak saat dilahirkan pun masih belum mendapatkan perhatian serius. Semuanya, sedang menunjukkan berbagai persoalan di negeri berpenduduk lebih dari 250 juta ini.
Satu hal yang paling memprihatinkan dari sederet problem yang keseluruhannya bergandeng renteng dengan perempuan ini, pemerintah dan bahkan lembaga swadaya masyarakat memilah layanannya dengan sangat ketat dan tidak manusiwai. Perempuan seakan-akan ibarat benda yang bisa begitu saja dibagi-bagi penangannya karena gurat warna di tubuhnya. Perempuan dikategorisasikan, seperti tubuh yang hendak ditangani oleh berbagai dokter karena spesialisasinya.
Gama, koordinator Divis Remaja Jalanan PKBI DIY. Tampak amat gundah. Profesinya, membawa pada sebuah perjumpaan dengan perempuan, dengan sederet kategorisasi sosial: usia remaja, hidup di jalan, mengalami kekerasan seksual hingga melahirkan, difabel, dan tentu saja kemiskinan yang dihadapi dalam kesehariannya. Kepedulian Gama, membawanya pula pada perjumpaan dengan berbagai lembaga swadaya dan institusi pemerintah.
Dari sinilah kegundahan itu bermula. Perempuan yang dijumpainya, harus tertolak oleh insitusi pemerintah yang didirikan justru untuk melindungi perempuan, “Pemberdayaan Perempuan” dan lembaga swadaya masyarakat yang selama ini disegani sebagai sebuah “crisis center”. Apa yang sedang terjadi di nagari kasultanan Ngayogyokarto Hadiningrat?
Tidak terlalu istimewa dan bergundah sesungguhnya. Pasalnya, kita tidak memahami dengan sungguh-sungguh nalar yang bekerja dalam otak dua lembaga sosial di atas. Meski dua-duanya, mengklaim diri sebagai layanan terhadap perempuan, tetapi dalam pemahaman perempuan dalam kategori tertentu, perempuan dalam belahan sosial tertentu. Celakanya, apa yang disebut kategorisasi itu, justru perempuan yang memiliki kerentanan tunggal. Sebab, perempuan yang dilayani oleh keduanya, perempuan yang hidup dalam sebuah rumah. Ia perempuan dalam rumah tangga.
Lalu, sangat naif, sehingga perempuan dengan kategorisasi sosial bertumpuk dan tentu saja sangat memiliki kerentanan lebih karena berbagai kategorisasinya itu? Tidak juga terlalu begitu amat. Pasalnya, di negeri ini, setiap persoalan dianggap sebagai kesalahan personal semata-mata. Jadi, kalau teman Gama, harus menanggung label sosial yang bertumpuk, semua tentu saja akibat kesalahannya sendiri, bukan kesalahan siapa-siapa. Yang lain, tinggal memilih, hendak melayani atau tidak, sesuai dengan visi-misinya atau tidak. Terkadang, dalam situasi seperti ini, terkutuklah “visi dan misi.”