Kontrak Politik

Sekitar sembilan bulan lagi, negeri ini akan menjalankan mandat demokrasi, Pemilihan Umum 2009. Sebuah mekanisme untuk menentukan siapa yang akan menjadi presiden dan wakil presiden serta orang-orang terpilih untuk menduduki posisi ‘wakil rakyat’ di badan legislatif. Tentu kita tidak ingin momentum demokrasi ini hanya menjadi pasar raya, pesta demokrasi, dan ritual yang tidak memiliki makna apa-apa.

Kita menghendaki Pemilu 2009, sungguh-sungguh menjadi media demokrasi bagi rakyat dalam mengejawantahkan kedaulatannya sebagai pemilik kekuasaan negeri ini. Hanya saja, semuanya hanya akan tetap menjadi jargon tak bermakna, manakala rakyat tetap pada posisi yang tidak memiliki kuasa apapun dalam prosesi Pemilihan Umum 2009. Memiliki kuasa dimaknai rakyat benar-benar mampu menentukan pilihannya secara kritis dengan pertimbangan-pertimbangan rasional, bukan indoktrinasi atau manipulasi berbasis nilai-nilai, agama maupun sentimen-sentimen primordialisme.

Partai politik memiliki tanggungjawab melakukan pendidikan politik rakyat, untuk membtuktikan rakyat memberikan suaranya dengan pertimbangan-pertimbangan rasional dan bukan semata-mata mobilisasi massa. Partai politik hanya akan memiliki kebanggaan manakala rakyat memilihnya berdasarkan apresiasi kritis terhadap partai politik. Ini bukan soal yang mudah, karena pengalaman panjang partai politik di negeri ini, memang hanya terbiasa melakukan kampanye politik pada saat pelaksanaan Pemilihan Umum.

Sistem Pemilihan Umum belum bisa menyediakan mekanisme kontrol langsung terhadap orang-orang yang dipilih rakyat. Situasi ini membutuhkan strategi kontrol yang efektif, dengan mengembangkan mekanisme kontrak politik antara rakyat dan calon wakil-wakil mereka yang bakal duduk di kursi legislatif. Tentu strategi ini harus melalui proses pengembangan yang ideal. Kontrak politik yang sering dipahami selama ini, hanya;ah sebatas kesepakatan calon legislatif untuk memberikan bantuan secara fisik kepada rakyat di daerah pemilihannya. Kontrak politik semacam ini, alih-alih memberi keuntungan bagi rakyat, tetapi justru merugikan rakyat pada sisi lain.

Para wakil rakyat untuk bisa memenuhi janjinya dalam membangun secara fisik, harus melakukan berbagai strategi. Setidaknya, dan ini yang paling mudah, dengan merecoki eksekutif dalam mengimplementasikan rencana pembangunannya. Misalnya, mereka akan mengalihkan sebuah rencana pembangunan yang mestinya diperuntukkan bagi sebuah daerah, dipindahkan ke daerah pemilihannya. Jika ini gagal, wakil rakyat akan berusaha mendapatkan sumber-sumber keuangan untuk bisa menutupi kebutuhannya. Korupsi merupakan jalan paling mudah untuk ditempuh, termasuk di dalamnya mekanisme suap-menyuap.

Menghindari kemungkinan-kemungkinan ini, kontrak politik yang dikembangkan bukanlah mekanisme yang justru menempatkan wakil rakyat untuk bertindak curang. Melainkan sebuah mekanisme yang memberikan keuntungan bagi keduabelah pihak. Kontrak Politik diarahkan pada kesepakatan untuk memperjuangkan kebijakan-kebijakan yang pro rakyat maupuan penolakan-penolakan terhadap kebijakan yang merugikan rakyat. Melalui mekanisme ini, rakyat akan diuntungkan karena setidak-tidaknya, tidak akan lahir sebuah kebijakan yang merugikan mereka selama satu periode pemilihan. Bagi wakil rakyat, diuntungkan, karena mereka akan selalu memiliki komunikasi dengan pemberi mandat. Mereka juga akan bisa dilindungi oleh pemberi mandat, manakala harus menghadapi mekanisme recall melalui mekanisme Penggantian Antar Waktu (PAW). Rakyat akan memiliki relasi langsung untuk mempertahankan wakil pilihannya, dengan argumentasi mereka yang akan direcaal belum memenuhi janjinya sebagaimana tertuang dalam dokumen kontrak politik.[]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *