Korban Kekerasan Seksual Masih Takut Melapor? Salah Siapa?

Korban Kekerasan Seksual Masih Takut Melapor? Salah Siapa?

Kasus kekerasan seksual di Indonesia selama beberapa tahun belakangan ini berada pada tingkatan memprihatinkan. Hampir dipastikan, setiap hari pasti ada pemberitaan mengenai kasus kekerasan seksual di media sosial. Kasus kekerasan seksual ini tidak hanya terjadi secara langsung (luring), tetapi juga merambah melalui daring. Berdasarkan data dari Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, kasus kekerasan seksual di Indonesia pada tahun 2023 tercatat 11.120 kasus pada 4 Desember 2023. Namun angka tersebut belum mempresentasikan keseluruhan kasus kekerasan seksual di Indonesia dikarenakan masih banyak korban yang takut melapor. Di Indonesia sendiri, banyak kasus kekerasan seksual yang belum terungkap ataupun membutuhkan waktu yang lama sampai bisa terungkap karena korban takut melapor.

Sebagai contohnya, sebuah kasus yang terjadi di tahun 2021. Masyarakat Indonesia dikejutkan dengan kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh seorang guru pesantren berinisial HW terhadap 13 santriwati di salah satu pondok pesantren Bandung. Kekerasan seksual tersebut terjadi sejak tahun 2016, namun baru terungkap pada tahun 2021 ketika salah satu korban pulang ke rumah dalam keadaan hamil. Orang tua korban yang menyadari hal tersebut kemudian melaporkan kejadian itu ke POLDA Jawa Barat. Akibat dari kekerasan seksual itu, terlahir 9 bayi dari 8 korban. Dari kasus tersebut, kemudian muncul pertanyaan dari masyarakat mengapa kasus tersebut baru terungkap setelah 5 tahun? Alasannya adalah karena korban takut melapor.

Ada beberapa sebab mengapa korban kekerasan seksual takut melapor diantaranya adalah :

  • Menganggap kekerasan yang dialami sebagai aib keluarga

Banyak korban maupun keluarga korban yang menganggap bahwa kekerasan seksual yang dialami merupakan sebuah aib. Oleh karena itu, korban enggan melaporkan kasus kekerasan yang dialaminya karena tidak ingin aibnya diketahui oleh khalayak umum. Selain itu, adanya stigma di masyarakat yang memandang kekerasan seksual sebagai hal yang memalukan juga menjadikan korban takut untuk melapor.

  • Adanya ancaman dari pelaku

Tak jarang pelaku menjadi pihak yang menghalangi korban untuk melapor karena memberikan ancaman kepada korban sehingga korban takut untuk melapor.

  • Penegakan hukum yang belum maksimal

Di Indonesia sendiri, sudah ada dasar hukum yang secara khusus mengatur tentang kekerasan seksual salah satunya UU Nomor 12 Tahun 2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, payung hukum ini setidaknya salah satu capaian baik dalam upaya penanganan kasus kekerasan seksual yang ada di Indonesia. Namun, pada praktiknya perlindungan untuk korban justru masih terabaikan. Contohnya adalah aparat yang masih belum memiliki perspektif korban dan keadilan gender. Dalamm penyidikan pun, terkadang masih muncul pertanyaan yang justru membangkitkan trauma korban dan terkesan memojokannya.

  • Takut orang-orang tidak percaya cerita mereka

Kekerasan seksual yang terjadi biasanya tidak bisa dibuktikan lewat barang bukti atau saksi. Hal tersebut menyebabkan banyak korban takut dianggap berbohong atau sedang mengada-ngada mengenai kekerasan seksual yang dialaminya.

  • Merasa bahwa apa yang mereka alami bukan kejahatan serius

Budaya yang mewajarkan kekerasan seksual berdampak pada bagaimana korban memandang kejadian yang mereka alami bukanlah kejahatan yang serius dan tidak perlu dilaporkan.

Banyak tantangan yang harus dihadapi korban kekerasan seksual dari mulai kondisi psikologis, ancaman dari pihak luar, hukum yang tidak berpihak, hingga stigma yang ada di masyarakat. Oleh karena itu, wajar sekali jika korban merasa ketakutan untuk melapor atau membutuhkan waktu yang lama untuk melapor kasus kekerasan seksual yang dialaminya. Sehingga, dibutuhkan upaya bersama dari setiap elemen masyarakat untuk mendukung korban agar tumbuh perasaan aman untuk melaporkan kekerasan seksual yang dialami sehingga korban segera mendapatkan keadilan. [lat]

Referensi

Farisa, F. C. (2023, Januari 4). Jejak Kasus Herry Wirawan, Pemerkosa 13 Santriwati yang Kini Menanti Hukuman Mati. Retrieved from kompas.com : https://nasional.kompas.com/read/2023/01/04/11321241/jejak-kasus-herry-wirawan-pemerkosa-13-santriwati-yang-kini-menanti-hukuman?page=all

Ifada, D. S. (2023). Problematika Penanganan Kasus Kekerasan Seksual Terhadap Perempuan Perspektif Maqasid Asy Syariah di Kepolisian Demak. Jurnal Pemikiran Hukum Dan Hukum Islam, 14(1), 63–75.

Ivo, N. (2015). Kekerasan Seksual Terhadap Anak: Dampak Dan Penanganannya Child Sexual Abuse: Impact and Hendling. Jurnal Sosio Informa, 13–28.

Kusuma, Y. T. (2023). Perlindungan Hukum Bagi Korban Tindak Pidana Kekerasan Seksual Di Perguruan Tinggi. Jurnal Legisia, 15(1), 1–13. https://doi.org/10.58350/leg.v15i1.245

Ramadhan, C. (2023, Juli 25). Reformasi Penegakan Hukum Kekerasan Seksual. Retrieved from law.ui.ac.id: https://law.ui.ac.id/choky-ramadhan-kompas-cetak-reformasi-penegakan-hukum-kekerasan-seksual/

Trihastuti, A., & Nuqul, F. L. (2020). Menelaah Pengambilan Keputusan Korban Pelecehan Seksual dalam Melaporkan Kasus Pelecehan Seksual. Personifikasi: Jurnal Ilmu Psikologi, 11(1), 1–15. https://doi.org/10.21107/personifikasi.v11i1.7299

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *