REMAJA DAN HUKUM

Pendahuluan

Dalam arena kritik sosial, dikenal 2 aras kritik, yakni immanen dan transenden. Yang pertama, Kritik transenden, diarahkan untuk mengkaji area konsepsional dan bahkan ideologi yang sifatnya holistik, mengatasi ide-ide parsial kasuistik. Kedua, kritik imanen, mengarah pada kritik atas ide-ide parsial yang sifatnya kasuistik yang mudah ditemui dalam area pengalaman keseharian.

Dengan pendekatan 2 kritik di atas, saya ingin memulai tulisan ini dengan menjelaskan dua ranah berpikir tentang remaja dalam arena hukum dan atau HAM sebagai pendekatan. Pertama, adalah ranah transenden. Ranah ini merujuk pada aspek hukum/HAM yang sifatnya umum, luas dan tidak berbasis kasus-kasus tertentu yang sering dijumpai pada remaja. Ranah ini akan didekati secara kritis dengan diskusi mengenai posisi remaja dalam belantara hukum nasional. Pertanyaan kuncinya adalah, di mana posisi remaja dalam aturan sistem dan tata laksanan hukum di Indonesia?

Kedua, ranah immanen. Ranah ini akan didekati secara kritis untuk menguak kasus-kasus hukum dan pelanggaran HAM yang relevan dengan konteks remaja. Dalam konteks tulisan ini, saya membatasi pada wilayah ekspertise saya sebagai pegiat di bidang Hak Kesehatan Reproduksi dan Seksua remaja. Pertanyaan kuncinya adalah kasus-kasus hukum dan HAM apa saja yang relevan untuk dicermati ketika remaja menjadi subyek kajian ?

Mendadak Dewasa: Kritik Transenden Hukum dan Remaja

Ketika menyoroti remaja, kajian hukum di Indonesia rupanya masih tertinggal dengan kajian lain seperti psikologi dan biologi. Mengapa demikian ? Karena posisi remaja sudah sangat jelas secara psikologis degan adanya tugas dan penjenjangan perkembangan bagi kelompok usia remaja. Secara biologis, juga dapat ditengarai perkembangan fisiologis remaja yang dapat dibedakan dengan perkembangan anak dan orang dewasa.

Dalam kajian hukum di Indoenesia, ruang umur remaja rupanya tidak sejelas ketegori psikologis dan biologis. Fakta kasat mata yang bisa dijadikan bukti adalah UU Perkawinan No 1 tahun 1974. Saya ingin menggarisbawahi tesis sebegai berikut ; UU Perkawinan tersebut secara legal sedang menggerus kelompok umur remaja. Alasannya, umur yang diperbolehkan oleh UU ini bagi penduduk perempuan untuk menikah adalah 16 tahun, dan penduduk laki-laki 19 tahun. Batasan umur ini, khususnya bagi perempuan, jika dilihat dari UU Perlindungan Anak No 22 tahun 2003 masih masuk ke dalam kategori umur anak, bukan remaja.

Dalam konteks hukum perkawinan ini, ada kesan proses peralihan tiba-tiba terjadi pada diri seorang anak ketika sudah terikat dalam ikatan perkawinan. Degan akte nikah di tangan, seorang anak bisa “mendadak dewasa” baik secara legal maupun sosial.
Beberapa kebijakan yang memuat klausul “berumur 17 tahun atau sudah menikah” mudah dijumpai. Yang paling kentara dan tertua adalah aturan yang ada di Hukum Perdata dan Kompilasi Hukum Islam (KHI). Dalam aturan hukum tersebut, ketentuan yang berlaku atas kedewasaan seseorang secara hukum didasarkan pada status perkawinan yang pernah dilakukan dan usia. Seseorang dianggap dewasa selain karena ia sudah menikah juga didasarkan pada usia yang menurut ketentuan hukum sudah dewasa. Kedewasaan berdasarkan usia ini merupakan salah satu parameter yang bersangkutan telah dianggap cakap dan berhak atas apa yang diatur oleh ketentuan hukum. Kita lihat contoh di pasal berikut :
Dalam Hukum Perdata (BW), Pasal 330, dikatkan “Belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun, dan tidak terlebih dahulu telah kawin.” Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) dikatakan dalam Pasal 98 Ayat (1) : “Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 tahun, sepanjang anak tersebut tidak bercacat fisik maupun mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan”.

Selain itu, nada yang sama bisa ditemukan di peraturan tentang Adminstrasi Kependudukan yang diatur oleh UU Nomor 23 tahun 2006. Di pasal 63 ayat 5 dikatakan bahwa penduduk yang sudah berusia 17 tahun, atau sudah menikah, atau sudah pernah menikah yang berpergian tanpa KTP bahkan akan mendapat sanksi berupa denda administratif.

Dengan demikian, seorang Remaja akan secara sekejap menjadi “dewasa” begitu dia mengantongi akte nikah dari KUA. Lantas, dia berhak untuk mendapatkan, melakukan, atau tertimpa sesuatu yang memang diperuntukkan untuk orang yang dihukumi sudah dewasa.

Terasa lebih blunder lagi ketika kita melihat UU No 40 tahun 2009 tentang Kepemudaan. Di Pasal (1) Ketentuan Umum, tercantum bahwa pemuda adalah “warga negara Indonesia yang memasuki periode penting pertumbuhan dan perkembangan yang berusia 16 (enam belas) sampai 30 (tiga puluh) tahun.” Entah apa yang menjadi landasan berpikir dari pembatasan umur tersebut. Tapi yang jelas, kelompok umur remaja semakin kabur dan tergerus dalam ranah hukum.

Apa akibat dari tergerusnya masa remaja di area hukum kita ? Pertama, munculnya fenomena “hukum nir-pubertas”. Pubertas adalah masa transisi baik dalam dimensi fisik, psikologis maupun sosial dan budaya. Menurut Hurlock (2004; hlm. 188) selama pertumbuhan pesat masa puber, terjadi empat perubahan fisik penting dimana tubuh anak dewasa: perubahan ukuran tubuh, perubahan proporsi tubuh, perkembangan ciri-ciri seks primer dan perkembangan ciri-ciri seks sekunder. Bagi sebagian pakar, pubertas adalah masa menuju kematangan seksual dan reproduksi, bukan kematangan itu sendiri. Artinya, penduduk yang masuk dalam ketegori umur tersebut masih digolongkan dengan sebutan remaja. Akan tetapi, begitu mereka menikah, maka serta merta mereka secara sosial dan budaya akan beralih ke masa dewasa.

Kedua, dampak pada pendidikan remaja. Jika dikaitkan dengan tingkat pendidikan, maka mereka yang baru menyelesaikan tahap sekolah menengah pertama (SMP sederajat) bisa melangsungkan pernikahan. Masa remaja yang digadang-gadang untuk menempuh pendidikan sampai tingkat atas, bisa berhenti begitu saja ketika ijab qobul dilakukan.

Ketiga, dampak juga terlihat di konteks hubungan antar sebaya. Pernikahan di umur remaja bisa dengan serta merta mengusir remaja dari kelompok sebayanya. Dengan mengantongi Akte Nikah, maka secara sosial dia lantas berpindah kelompok, menuju kelompok penduduk dewasa. Maka tidak heran, ada guyonan miris di kalangan pegiat kesehatan reproduksi tentang masa transisi remaja yang berhenti mendadak karena perkawinan; “pagi hari masih bermain dengan teman sebaya remaja, siang melangsungkan pernikahan, dan sorenya sudah langsung diundang rapat Ibu-ibu PKK”.

Kritik Immanen : Kasus-Kasus Hukum dan Pelanggaran Hak Remaja

Dalam ranah kritik immanen, atau riil pengalaman dan kasus-kasus di sekitar remaja yang bisa masuk ke ranah hukum. Banyak sekali perilaku atau tindakan kriminal yang dilakukan orang lain yang membuat remaja menjadi korban. Akan tetapi, saya ingin memfokuskan pada konteks kasus yang lebih releven dengan perkembangan masa remaja, yakni kekerasan atau pelanggaran hak remaja berbasis gender dan seksualitas.

Pertama, kasus Kekerasan Dalam Pacaran (KDP). Data yang dikeluarkan oleh Rifka Annisa tentang kasus konseling kasus KDP, menunjukkan tren meningkat di 4 tahun terakhir. Tahun 2008 tercatat 23 kasus, tahun 2009 ada 28 kasus dan tahun 2010 tercatat ada 43 kasus. Kasus yang muncul dalam ruang konseling ini harus dipandang sebagai “puncak gunung es, dimana kasus yang sebenarnya terjadi sangat mungkin lebih banyak.

Kedua, kasus perkawinan di usia remaja atau anak. Data Susenas dari Badan Pusat Statistik Propinsi DIY tahun 2009 menunjukkan perempuan yang menikah usia di bawah 16 tahun di Daerah Istimewa Yogyakarta sekitar 8,74% dengan prosentase terbesar di Kabupaten Gunungkidul  (15,40%) diikuti oleh Kabupaten Sleman (7,49%). Prosentase tersebut meningkat pada tahun 2010 menjadi 10,81% dengan prosentase terbesar di Kabupaten Gunungkidul (16,24%), diikuti oleh Kabupaten Kulonprogo (10,81%) dan Kabupaten Sleman (9,12%). Data dari Kantor Pengadilan Agama Bantul juga menunjukkan permohonan dispensasi nikah di Bantul tahun 2008 mencapai 70 pasangan, tahun 2009 sebanyak 82 pasangan, tahun 2010 meningkat menjadi 115 pasangan, dan sampai bulan Oktober 2011 sudah melonjak menjadi 135 pasangan. Di Kabupaten Kulon Progo, data dari Kementrian Agama menunjukkan jumlah pasangan yang menikah karena hamil terus mengalami peningkatan. Pada tahun 2006 angkanya 9,9 %, tahun 2007 meningkat menjadi 13,32%, tahun 2008 kembali turun menjadi 10,24 persen dan pada 2009 mengalami peningkatan tajam mencapai 13,45%.

Selain dua kasus di atas yang memang menjadi kepedulian saya selama ini, ada persoalan immanen hukum lain yang berkaitan dengan remaja, yakni kasus kriminal remaja yang bermasalah dengan hukum. Selagi mulai ada usaha negara untuk mengakomodasi anak dalam ranah sistem peradilan, dengan disayahkannya UU Sistem Peradilan Anak di bulan Juli 2012, remaja masih saja tertinggal tak terperhatikan. Lagi-lagi, remaja harus menerima bahwa dalam sistem peradilan mereka suatu waktu harus rela diperlakukan sebagai anak, dan sewaktu-waktu sebagai orang dewasa.

Catatan Penutup : Agenda Advokasi Hak Remaja

Dari dua aras kritik di atas, maka minimal ada dua setting advokasi bagi remaja yang bisa didesain. Pertama, advokasi untuk mendapatkan pengakuan dan kejelasan posisi. Kedua advokasi untuk perlindungan remaja dari pelanggaran Hak, dari risiko-risiko buruk kehidupan, kesehatan, kesakitan dan bahkan kematian.

Pada setting pertama, skema advokasi lebih pada ranah advokasi perubahan peraturan perundangan yang “tidak ramah” remaja. Hal dasar yang menjadi kunci persoalan adalah makna dan batasan umur tentang perkawinan. Norma pokok yang ingin diintervensikan ke dalam peratura perundangan adalah norma pendewasaan umur perkawinan. Norma ini akan membatasi perkawinan pada masa anak atau remaja awal. Selain memperjelas posisi kelompok umur remaja, penormaan ini akan mampu menghindarkan anak dan remaja, khususnya perempuan, dari risiko-risiko reproduksi dan seksual yang diakibatkan dari hubungan seksual yang dihalalkan oleh perkawinan di usia dini.

Pada setting kedua, skema advokasi immanen akan mengarah pada kebijakan dan layanan publik yang mampu melindungi hak-hak remaja untuk tetap sehat baik secara fisik, mental dan sosial. Bagaimana ada kebijakan publik yang mampu mengatur sistem perlindungan negara terhadap remaja untuk tidak menjadi korban kekerasan atau pemaksaan orang dewasa yang seringkali bersdasarkan asumsi-asumsi gender dan seksualitas.

Untuk menyebut beberapa, kebijakan publik yang telah muncul misalnya Kebijakan Program Kesehatan Peduli Remaja (PKPR) oleh Kementrian Kesehatan yang menjadikan puskesmas sebagai tempat layanan yang ramah remaja. Program Informasi dan Konseling Remaja (PIK-R) yang dikeluarkan oleh BKKBN sebagai usaha untuk melindungi remaja dari risiko-risko seksual dan reproduksi. Tentu saja, program-program negara tersebut masih sangat perlu ditingkatkan mengingat dalam praktek lapangannya program tersebut masih merupakan tampilan luar tinimbang memberikan substansi layanan perlindungan bagi remaja.

Usaha di atas harus juga dibarengi dengan usaha dari kelompok sipil, khususnya Organisasi Sosial Keagamaan yang memiliki basis luas, seperti Muslimat NU, untuk bisa menyediakan layanan perlindungan remaja untuk terlindung dari kekerasan berbasis gender dan seksualitas. Layanan ini bisa berawal dari pemberian informasi dan konseling seputar kesehatan reproduksi dan seksual yang dibarengi dengan pendidikan kecakapan hidup (life skill) bagi remaja.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *