Ketika menyoroti remaja, kajian hukum di Indonesia rupanya masih tertinggal dengan kajian lain seperti psikologi dan biologi. Mengapa demikian ? Karena posisi remaja sudah sangat jelas secara psikologis degan adanya tugas dan penjenjangan perkembangan bagi kelompok usia remaja. Secara biologis, juga dapat ditengarai perkembangan fisiologis remaja yang dapat dibedakan dengan perkembangan anak dan orang dewasa.
Dalam kajian hukum di Indoenesia, ruang umur remaja rupanya tidak sejelas ketegori psikologis dan biologis. Fakta kasat mata yang bisa dijadikan bukti adalah UU Perkawinan No 1 tahun 1974. Saya ingin menggarisbawahi tesis sebegai berikut ; UU Perkawinan tersebut secara legal sedang menggerus kelompok umur remaja. Alasannya, umur yang diperbolehkan oleh UU ini bagi penduduk perempuan untuk menikah adalah 16 tahun, dan penduduk laki-laki 19 tahun. Batasan umur ini, khususnya bagi perempuan, jika dilihat dari UU Perlindungan Anak No 22 tahun 2003 masih masuk ke dalam kategori umur anak, bukan remaja.
Dalam konteks hukum perkawinan ini, ada kesan proses peralihan tiba-tiba terjadi pada diri seorang anak ketika sudah terikat dalam ikatan perkawinan. Degan akte nikah di tangan, seorang anak bisa “mendadak dewasa” baik secara legal maupun sosial.
Beberapa kebijakan yang memuat klausul “berumur 17 tahun atau sudah menikah” mudah dijumpai. Yang paling kentara dan tertua adalah aturan yang ada di Hukum Perdata dan Kompilasi Hukum Islam (KHI). Dalam aturan hukum tersebut, ketentuan yang berlaku atas kedewasaan seseorang secara hukum didasarkan pada status perkawinan yang pernah dilakukan dan usia. Seseorang dianggap dewasa selain karena ia sudah menikah juga didasarkan pada usia yang menurut ketentuan hukum sudah dewasa. Kedewasaan berdasarkan usia ini merupakan salah satu parameter yang bersangkutan telah dianggap cakap dan berhak atas apa yang diatur oleh ketentuan hukum.
Kita lihat contoh di pasal berikut :
Dalam Hukum Perdata (BW), Pasal 330, dikatkan “Belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun, dan tidak terlebih dahulu telah kawin.” Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) dikatakan dalam Pasal 98 Ayat (1) : “Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 tahun, sepanjang anak tersebut tidak bercacat fisik maupun mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan”.
Selain itu, nada yang sama bisa ditemukan di peraturan tentang Adminstrasi Kependudukan yang diatur oleh UU Nomor 23 tahun 2006. Di pasal 63 ayat 5 dikatakan bahwa penduduk yang sudah berusia 17 tahun, atau sudah menikah, atau sudah pernah menikah yang berpergian tanpa KTP bahkan akan mendapat sanksi berupa denda administratif.
Dengan demikian, seorang Remaja akan secara sekejap menjadi “dewasa” begitu dia mengantongi akte nikah dari KUA. Lantas, dia berhak untuk mendapatkan, melakukan, atau tertimpa sesuatu yang memang diperuntukkan untuk orang yang dihukumi sudah dewasa.
Terasa lebih blunder lagi ketika kita melihat UU No 40 tahun 2009 tentang Kepemudaan. Di Pasal (1) Ketentuan Umum, tercantum bahwa pemuda adalah “warga negara Indonesia yang memasuki periode penting pertumbuhan dan perkembangan yang berusia 16 (enam belas) sampai 30 (tiga puluh) tahun.” Entah apa yang menjadi landasan berpikir dari pembatasan umur tersebut. Tapi yang jelas, kelompok umur remaja semakin kabur dan tergerus dalam ranah hukum.
Apa akibat dari tergerusnya masa remaja di area hukum kita ?
Pertama, munculnya fenomena “hukum nir-pubertas”. Pubertas adalah masa transisi baik dalam dimensi fisik, psikologis maupun sosial dan budaya. Menurut Hurlock (2004; hlm. 188) selama pertumbuhan pesat masa puber, terjadi empat perubahan fisik penting dimana tubuh anak dewasa: perubahan ukuran tubuh, perubahan proporsi tubuh, perkembangan ciri-ciri seks primer dan perkembangan ciri-ciri seks sekunder. Bagi sebagian pakar, pubertas adalah masa menuju kematangan seksual dan reproduksi, bukan kematangan itu sendiri. Artinya, penduduk yang masuk dalam ketegori umur tersebut masih digolongkan dengan sebutan remaja. Akan tetapi, begitu mereka menikah, maka serta merta mereka secara sosial dan budaya akan beralih ke masa dewasa.
Kedua, dampak pada pendidikan remaja. Jika dikaitkan dengan tingkat pendidikan, maka mereka yang baru menyelesaikan tahap sekolah menengah pertama (SMP sederajat) bisa melangsungkan pernikahan. Masa remaja yang digadang-gadang untuk menempuh pendidikan sampai tingkat atas, bisa berhenti begitu saja ketika ijab qobul dilakukan.
Ketiga, dampak juga terlihat di konteks hubungan antar sebaya. Pernikahan di umur remaja bisa dengan serta merta mengusir remaja dari kelompok sebayanya. Dengan mengantongi Akte Nikah, maka secara sosial dia lantas berpindah kelompok, menuju kelompok penduduk dewasa. Maka tidak heran, ada guyonan miris di kalangan pegiat kesehatan reproduksi tentang masa transisi remaja yang berhenti mendadak karena perkawinan; “pagi hari masih bermain dengan teman sebaya remaja, siang melangsungkan pernikahan, dan sorenya sudah langsung diundang rapat Ibu-ibu PKK”.