Bagaimana jika tempat seharusnya menjadi ruang aman untuk menimba ilmu justru menjadi ladang basah tindak kekerasan?
Pendidikan seharusnya menjadi tempat yang aman dan nyaman bagi anak-anak untuk tumbuh, belajar, dan berkembang. Namun, realitas yang terjadi di Indonesia justru menunjukkan hal yang sebaliknya. Maraknya kasus kekerasan terhadap anak di lingkungan pendidikan telah menjadi alarm yang memekakkan telinga, menandakan adanya krisis serius dalam sistem pendidikan kita. Dari kekerasan fisik, psikis, perundungan (bullying), hingga pelecehan seksual, berbagai bentuk kekerasan ini tidak hanya merusak masa depan generasi penerus bangsa, tetapi juga mencerminkan kegagalan kita sebagai masyarakat dalam melindungi mereka yang paling rentan.
Fenomena kekerasan di sekolah bukanlah hal baru di Indonesia. Data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menunjukkan bahwa sejak 2011 hingga 2019, terdapat 37.381 pengaduan kekerasan terhadap anak. Dari angka tersebut, 2.473 kasus terjadi di ranah pendidikan. Menyikapi ribuan kasus kekerasan terhadap anak, pemerintah mengeluarkan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 36 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan.
Tapi, nyatanya, kebijakan ini belum berjalan optimal. Terbukti, dari data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI-PPA), per Juni 2024 saja sudah terjadi 638 kasus kekerasan terhadap anak di lingkungan satuan pendidikan dan pendidikan kilat. Tentu banyak faktor yang mendasari kurang efektifnya pelaksanaan peraturan, antara lain adalah kurangnya sosialisasi dan pemahaman yang mendalam di kalangan stakeholder pendidikan tentang isi dan spirit dari peraturan tersebut.
Di lapangan, banyak satuan pendidikan yang belum memahami sepenuhnya tentang mekanisme pencegahan dan penanganan kekerasan yang diatur dalam peraturan ini. Selain itu, pembentukan tim pencegahan dan penanganan kekerasan di banyak satuan pendidikan masih sebatas formalitas, tanpa diikuti dengan peningkatan kapasitas anggota tim dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Akibatnya, ketika terjadi kasus kekerasan, penanganannya seringkali tidak sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan dalam peraturan.
Tantangan lain dalam implementasi peraturan ini adalah masih kuatnya budaya “nama baik” di lingkungan pendidikan. Banyak kasus kekerasan yang tidak dilaporkan atau ditangani secara internal dengan alasan menjaga nama baik institusi. Hal ini tentu bertentangan dengan semangat transparansi dan akuntabilitas yang diusung oleh peraturan tersebut. Lebih lanjut, keterbatasan sumber daya, baik dari segi finansial maupun sumber daya manusia, juga menjadi hambatan dalam implementasi efektif peraturan ini. Terlampau banyak satuan pendidikan, terutama di daerah terpencil atau kurang mampu, mengalami kesulitan dalam menyediakan fasilitas dan program yang diperlukan untuk pencegahan dan penanganan kekerasan sesuai dengan standar yang ditetapkan dalam peraturan.
Peraturan ini belum sepenuhnya terintegrasi dengan sistem dan kebijakan pendidikan yang lebih luas. Misalnya, belum ada mekanisme yang jelas tentang, bagaimana peraturan ini bersinergi dengan kurikulum pendidikan karakter? atau bagaimana implementasinya akan mempengaruhi penilaian akreditasi satuan pendidikan? Jika kita menelisik lebih dalam, kasus kekerasan terhadap anak yang terjadi secara struktural nyatanya telah ditopang oleh aspek kultur dan ekosistem lingkungan pendidikan, seperti guru, stakeholder pendidikan, hingga orang tua. Tak jarang, stakeholder pendidikan justru menjadi pelaku kekerasan itu sendiri.
Sayangnya, kekerasan yang dilakukan oleh stakeholder pendidikan seringkali dibenarkan. Sebagai contoh, kekerasan yang dilakukan guru dengan cara memukul, melemparkan barang, atau bentuk-bentuk kekerasan psikis seperti melecehkan, mencela, atau melontarkan perkataan yang menghina kepada siswa sebagai dalih mendisiplinkan. Hal tersebut seakan dimaklumkan dalam masyarakat.
Padahal, bentuk-bentuk kekerasan ini tidak hanya gagal dalam mengubah perilaku anak secara positif dalam jangka panjang, tetapi juga dapat menyebabkan trauma psikologis yang berkepanjangan (Gershoff, 2017). Kekerasan psikis pun kendati tidak meninggalkan bekas fisik, dapat memiliki dampak yang sama destruktifnya. Bentakan, intimidasi, penghinaan, atau pengucilan sosial dapat merusak kepercayaan diri anak, menghambat perkembangan sosial-emosional mereka, dan bahkan menyebabkan depresi atau kecemasan kronis. Hal ini menunjukkan adanya permasalahan sistemik dalam budaya pendidikan kita ketika kekerasan seolah-olah telah dinormalisasi dan diterima sebagai bagian dari proses “mendidik”. Pada akhirnya kekerasan seakan direproduksi terus-menerus.
Budaya kekerasan yang terus dilanggengkan dalam lingkup satuan pendidikan merupakan hasil dari berbagai faktor yang saling berkaitan. Pertama, adanya warisan kolonial dalam sistem pendidikan Indonesia yang menekankan pada kepatuhan dan disiplin yang kaku, seringkali dengan mengorbankan kreativitas dan kebebasan berpikir siswa. Kedua, kurangnya pemahaman tentang metode pendidikan yang efektif dan berbasis hak anak di kalangan pendidik. Ketiga, adanya ketimpangan kekuasaan yang signifikan antara pendidik dan peserta didik yang sering disalahgunakan (Suryadi, 2014).
Keempat, kurangnya mekanisme pengawasan dan pertanggungjawaban yang efektif di institusi pendidikan. Banyak kasus kekerasan yang tidak ditindaklanjuti atau bahkan ditutupi demi menjaga “nama baik” institusi. Kelima, adanya tekanan sosial dan akademik yang berlebihan pada siswa, yang dapat menciptakan lingkungan yang penuh stres dan rawan konflik. Sistem pendidikan yang terlalu berorientasi pada hasil, seperti nilai ujian daripada proses pembelajaran holistik dapat mendorong perilaku kompetitif yang tidak sehat dan berpotensi memicu kekerasan (Santrock. 2011).
Tentu, mengakhiri budaya kekerasan di lingkungan pendidikan bukanlah tugas yang mudah atau dapat diselesaikan dalam waktu singkat. Ini membutuhkan komitmen jangka panjang, kesabaran, dan kerjasama dari seluruh elemen masyarakat. Namun, mengingat taruhannya yang sangat tinggi, yakni masa depan generasi penerus bangsa, ini adalah perjuangan yang tidak boleh kita abaikan. Setiap anak berhak atas pendidikan yang aman, berkualitas, dan membebaskan. Pendidikan yang tidak hanya mentransfer pengetahuan, tetapi juga membentuk karakter, mengembangkan potensi, dan mempersiapkan mereka menjadi warga negara yang bertanggung jawab dan berkontribusi positif bagi masyarakat.
Sudah saatnya kita memutus rantai kekerasan yang telah terlalu lama mencengkeram sistem pendidikan kita. Dengan tekad yang kuat dan tindakan yang nyata, kita dapat menciptakan lingkungan pendidikan yang benar-benar menjadi tempat di mana setiap anak dapat tumbuh, belajar, dan berkembang tanpa rasa takut. Hanya dengan demikian, kita dapat memastikan bahwa pendidikan benar-benar menjadi kunci pembebasan dan pemberdayaan, bukan instrumen penindasan dan trauma. (momo)
Referensi:
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. (2023). Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 36 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan. Jakarta: Kemendikbudristek.
Suryadi, A. (2014). Pendidikan Indonesia Menuju 2025. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Santrock, J. W. (2011). Educational psychology (5th ed.). New York: McGraw-Hill.
Gershoff, E. T. (2017). School corporal punishment in global perspective: prevalence, outcomes, and efforts at intervention. Psychology, Health & Medicine, 22(sup1), 224-239.