Dalam kesadaran tertentu, mitos seringkali
dimaknai sebagai cerita takhayul yang tidak perlu dipercaya kebenarannya bagi
orang tertentu, dan bisa juga dipercaya bagi kelompok yang lain. Tapi, bagi
Paulo Freire, kata ‘mitos’ menjadi tidak sederhana. Pasalnya, kata ini
merupakan bagian alat untuk melakukan penindasan dan penjinakkan kaum tertindas.
Kebodohan rakyat, kelompok miskin dan terpinggirkan, merupakan salah satu mitos
yang sangat berbahaya. Karenanya, para penggerak perubahan sosial, tidaklah
layak untuk turut serta menggunakan mitos ini dalam mengembangkan strategi dan
menjalankan agenda-agenda pendidikan kritis.
Manakala seorang penggerak perubahan
mempercayai dan apalagi menggunakan mitos ‘kebodohan kaum tertindas’, maka ia sedang
menempatkan dirinya sebagai ‘yang serba tahu’ terhadap apapun, termasuk hendak
ke mana mesti dibawa kaum tertindas ini. Memang sebuah realitas, para penggerak
perubahan memiliki pengetahuan yang berbeda dibandingkan dengan pengalaman empiris
yang dimiliki kaum tertindas. Tetapi keperbedaan ini sudah sepantasnya untuk
tidak dijadikan sebagai keabsahan para penggerak perubahan untuk melakukan apa
saja, termasuk memaksakan pengetahuannya untuk dijadikan panduan dalam
menjalani hidup kaum tertindas.
Bagi Freire, situasi ini seharusnya dijadikan
amunisi untuk melakukan upaya-upaya dialog bersama. Dari interaksi inilah,
pengalaman empiris rakyat dan pengetahuan kritis para penggerak perubahan
bekerja untuk melahirkan sebuah teori baru perubahan sosial yang lebih berpihak
kepada kaum tertindas. Sebuah pengetahuan yang lahir dari realitas-realitas
yang dihadapi oleh kaum tertindas itu sendiri. Teoritisasi pengalaman kaum
tertindas, pada akhirnya, akan menjadi kekuatan tak tertandingi untuk melakukan
perubahan, karena pengetahuan itu lahir dari sebuah kesadaran tentang ‘adanya
diri’ dan kesadaran akan kesejarahan, bahwa seseorang hidup tidak dalam sebuah
tabung ‘hampa’. Tidak ada sebuah netralitas, obyektivitas, sebagaimana
diteriakkan oleh para pioner pengetahuan ‘positivistik’ yang terbuai dalam
kerangka nalar ilmu pengetahuan alam.
Dominasi, lantas menjadi sebuah kata yang
harus benar-benar dihindari oleh para penggerak perubahan. Sebab kata ini yang
selalu digunakan oleh kaum penindas, untuk melakukan penjinakkan dan
penaklukan, sehingga kaum tertindas benar-benar terpuruk dalam situasi yang
sama sekali tidak manusiawi. Pengetahuan, merupakan bagian terpenting dari
seluruh kursif yang melanggengkan dominasi kaum penindas atas kaum tertindas.
Terbebasnya kaum tertindas dari dominasi
kelompok elit pengetahuan, kecuali sebuah dialog kritis yang terjadi, memberikan
kesempatan untuk terjadinya sebuah proses refleksi kriitis, yang mengantarkan
pada sebuah cita-cita besar akan perubahan dalam diri mereka sendiri. Pada
titik inilah, yang disebut Mansour Faqih, aktor perubahan sosial adalah rakyat
tertindas itu sendiri. Kelompok-kelompok elite pengetahuan, hanyalah dan
mestinya memang, semata-mata sebagai pendorong, munculnya daya gerak kaum
tertindas itu sendiri. Ia hanyalah seorang ‘fasilitator’ tidak lebih dan tidak
kurang.[]