Hampir semua kalangan mengamini bahwa data kasus kekerasan seksual di Indonesia merupakan fenomena gunung es. Artinya data yang terlaporkan hanyalah merupakan sebagian kecil fakta dari realita yang sesungguhnya di lapangan. Hampir semua pihak juga dapat menjelaskan mengapa hal ini terjadi, yaitu karena kuatnya budaya aib di masyarakat yang (justru) ditanggung oleh korban pemerkosaan beserta keluarganya. Aib yang dimaksud antara lain bahwa korban telah ‘rusak’ kehormatannya, korban lalai menjaga keselamatan dirinya, korban kurang menjaga perilaku dan penampilannya, korban hanya mengarang cerita atau menfitnah. Singkat kata, budaya masyarakat dimana kita hidup dan menjalani kehidupan adalah budaya yang tidak membela korban justru mengevaluasinya.
Sebaliknya, pelaku pemerkosaan mendapatkan pemakluman (simpati?) yang luar biasa dari masyarakat seperti misalnya; khilaf karena kuatnya godaan dari korban, dibawah pengaruh minuman keras dan video porno, kebutuhan seksualnya tidak terpenuhi, kesepian atau pelaku merupakan ‘korban’ fitnah dari pihak yang ingin merusak nama baiknya. Kultur masyarakat yang condong membela pemerkosa dan memaklumi kekerasan seksual yang dilakukan pelaku inilah yang disebut sebagai rape culture (budaya pemerkosaan).
Menurut Geek Feminism Wikia, budaya pemerkosaan (rape cuture) adalah budaya dimana norma dan praktek yang ada menormalkan, memaklumi dan mendorong kekerasan seksual dialami oleh perempuan ataupun kelompok gender yang lain. Bentuk-bentuk perilaku yang merupakan wujud dari rape culture antara lain: menyalahkan korban, objektifikasi seksual, menganggap remeh perkosaan, lelucon tentang perkosaan, toleran terhadap aksi-aksi pelecehan seksual, mengajarkan perempuan (bukan laki-laki) untuk bertanggung jawab mencegah pemerkosaan.
Faktor-faktor seperti minuman keras dan video porno sebagai faktor diluar diri pelaku sering digunakan untuk menyangkal akar permasalahan yang sesungguhnya dan membelokkan solusi persoalan atas kejahatan perkosaan. Ini mencerminkan sejauh mana kita menunjukkan kedewasaan sebagai masyarakat dalam merespon isu-isu sosial kemanusiaan yang terjadi, adakah kesediaan untuk memeriksa kedalam diri sendiri daripada mencari kambing hitam.
Ada 2.734 kasus kekerasan dalam pacaran pada tahun 2015 yang didata oleh Komnas Perempuan. Kekerasan dalam pacaran dapat berbentuk kekerasan fisik, psikis, seksual dan ekonomi. Data tersebut kemudian dilanjutkan dengan data kekerasan terhadap istri sebanyak 6.725 kasus dan 930 kasus kekerasan terhadap anak perempuan di ranah personal/keluarga.
Komnas Perempuan juga mencatat data perkosaan sebanyak 2.399 kasus, pencabulan sebanyak 601 kasus dan pelecehan seksual sebanyak 166 kasus sepanjang tahun 2015 baik di ranah personal, komunitas maupun negara. Dapat disimpulkan, bahwa perempuan dan anak (khususnya anak perempuan) di Indonesia terancam mengalami kekerasan dengan segala bentuknya, dimulai dari pelaku yang sehari-hari tinggal seatap dengan perempuan, lalu dari pelaku dalam lingkungan sosial dimana perempuan berkegiatan dan berkarya, hingga kemungkinan mendapatkan kekerasan akibat dari produk-produk hukum, kebijakan dan sikap aparatur negara yang diskriminatif terhadap perempuan dan tidak berpihak pada korban khususnya korban kekerasan seksual.
Masifnya ancaman kekerasan terhadap perempuan (berbagai usia) khususnya kekerasan seksual, yang dapat berasal dari seluruh lini kehidupan perempuan di Indonesia, membuktikan adanya persoalan yang sifatnya sistemik dan dianggap wajar karena telah menjadi bagian dalam budaya masyarakat. Ketika budaya kekerasan dan rape culture telah menjadi bagian dari budaya masyarakat, maka konsekuensinya nilai-nilai dan prakteknya akan terus diproduksi oleh masyarakat dan diwariskan dari generasi ke generasi.
Bila kita bersepakat bahwa akar permasalahan kekerasan seksual adalah soal budaya pemerkosaan (rape culture) yang diterima sebagai kenormalan dalam masyarakat, maka harus dirumuskan sebuah strategi untuk membongkar dan melawan nilai-nilai kekerasan tersebut. Penanaman nilai-nilai baru tersebut tentu saja dilakukan melalui proses pendidikan. Seperti yang dikatakan J. J. Rousseau tentang tujuan pendidikan, yaitu mempertahankan sifat baik yang ada di dalam diri manusia untuk diajarkan ke anak didik sehingga menciptakan anak didik yang dapat tumbuh secara alami layaknya manusia dengan kebaikan yang mereka miliki.
Pendidikan seksualitas jelas bukan jurus tunggal menghapus kekerasan seksual. Namun dalam pendidikan seksual, kita mengajarkan anak-anak tentang otoritas diri atas tubuhnya serta menghormati hak dan tubuh orang lain. Pendidikan seksual juga meluruskan pandangan bahwa mendominasi, menguasai, memaksa dan mengatur, bukanlah wujud cinta apalagi romantisme.
Pendidikan seksualitas merupakan ruang yang paling memungkinkan untuk menanamkan nilai-nilai baru melawan budaya memperkosa dan kekerasan atas nama ‘cinta’. Lewat pendidikan kita memutus generasi pemerkosa dan menciptakan Indonesia baru.
( Venusia Ika P )
Sumber:
Geek Feminism Wiki. Rape Culture. http://geekfeminism.wikia.com/wiki/Rape_culture
Komnas Perempuan. Catahu 2016. http://www.komnasperempuan.go.id/wp-content/uploads/2016/03/Lembar-Fakta-Catatan-Tahunan-_CATAHU_-Komnas-Perempuan-2016.pdf
Taralite. Tujuan Pendidikan. https://www.taralite.com/artikel/post/tujuan-pendidikan-menurut-para-pakar-pendidikan-di-indonesia/