Proses Pemilu 2009 telah dimulai. Seluruh partai politik gencar melakukan kampanye menarik simpati pemilih. Membentuk pemerintahan yang baik dan bersih diperlukan para politisi yang baik dan bermoral. Kriteria politisi tidak bermoral, antara lain tercatat sebagai pelanggar hak asasi manusia, pelaku KKN (kolusi, korupsi, dan nepotisme), memiliki penyimpangan seksual, memakai narkotika dan obat-obatan terlarang, melakukan kebohongan publik, mencemari lingkungan, serta memiliki kecenderungan memperkaya diri sendiri. Demikian dijabarkan Budi Susanto, S.H., LL.M., dalam Dialog Publik Forum LSM DIY, Jumat (21/11) di kantor PKBI DIY, Badran, Yogyakarta.
Budi Santoso memaparkan perlu adanya suatu gerakan tidak memilih politisi yang a moral. Sayangnya, sat ini gerakan tidak memilih politisi bermasalah atau politisi busuk cenderung masih terkonsentrasi di kalangan penggiat gerakan masyarakat sipil dan belum mengarah ke masyarakat luas. Kelompok masyarakat di tingkat akar rumput dan di daerah belum banyak yang memahami gerakan ini. “Untuk itu sosialisasi di sejumlah daerah perlu ditingkatkan. Tokoh di daerah juga harus lebih banyak yang dilibatkan,” ujar Budi.
Apa yang dikritisi Budi tampaknya bukan isapan jempol belaka. Politisi busuk (tidak bermoral) masih tersebar di kalangan legislatif dan eksekutif. Diskusi persoalan ini merupakan kelanjutan isu Pemilu 2004. Dampak positif maupun dampak negatif dari pemilihan wakil rakyat dan presiden secara langsung. “Ini tidak akan terhenti di sini. Kita akan melebarkan sayap untuk membuat gerakan yang cukup efektif untuk mengajak masyarakat lebih paham tentang politik,” tutur Rani, salah seorang Dewan Pengurus Forum LSM DIY.
Selain Budi Santoso, hadir Irsyad Tamrin, Direktur LBH Yogyakarta dan Otto Lampito, Pemimpin Redaksi Harian Umum Kedaulatan Rakyat.
Desi