Keterlibatan perempuan dalam panggung politik masih terlalu sedikit. Kuota 30% perempuan dalam parlemen belum terpenuhi hingga saat ini. Masih banyak peraturan dan perundang–undangan yang belum memihak kaum perempuan. Lalu mungkinkah kuota 50% perempuan di parlemen dapat tercapai pada Pemilu 2009?
“Data yang ada menunjukkan angka di bawah 20% perempuan yang duduk di dewan perwakilan rakyat. Saat ini panggung politik masih dikuasai kaum laki-laki,” ujar Esti Wijayanti, seorang anggota DPRD DIY yang menjadi pembicara dalam diskusi publik bertemakan Kuota 50% Perempuan: Mungkin atau Tidak?, pekan silam.

Esti menambahkan, dalam Undang-undang Pemilu No. 10 Tahun 2008 pasal 53 menyebutkan ‘Daftar bakal calon sebagaimana dimaksud pasal 52 memuat paling sedikit 30% keterwakilan perempuan’. Selain itu, juga disebutkan dalam Undang-undang Politik No.2 Tahun 2008 pasal 2 ayat 2 ‘Pendirian dan pembentukan partai politik harus menyertakan 30% keterwakilan perempuan’. “Sayangnya, tidak ada pasal yang memuat mengenai sanksi terhadap partai politik yang tidak bisa menyertakan 30% keterwakilan perempuan dalam kepengurusan partainya padahal banyak partai politik yang tidak memenuhi ketentuan pasal tersebut,’ lanjut nya.

Sementara itu, Anik Setyawati Saputri, mengemukakan, tidak masalah bila kuota 30% perempuan belum terpenuhi di parlemen asalkan perspektif yang dibangun oleh pengambil kebijakan tidak menindas kaum perempuan. “Saat ini hanya pembangunan fisik yang bisa diakses oleh semua pihak. Masih banyak peraturan yang merugikan dan mengekang kebebasan kaum perempuan,” ujar Putri.

Dalam budaya patriarki yang telah mengakar kuat, posisi perempuan masih mendapatkan diskriminasi. Perempuan masih dianggap kelas kedua yang tidak perlu tampil di depan publik dan cukup mengurusi masalah domestik rumah tangga. “Ketika seorang perempuan menjadi pemimpin dalam sebuah pemerintahan, pasti selalu muncul pertanyaan, bagaimana Anda mengatur urusan negara dan rumah tangga? “, lanjutnya.

Ini menjadi tantangan bagi perempuan untuk mengubah paradigma di masyarakat patriarki. “Tetapi dalam diri perempuan sendiri masih ada persepsi, politik merupakan permainan kotor dan kurangnya percaya diri perempuan itu sendiri,” tutur Neni, seorang aktivis perempuan.

Desi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *