Ponari, bocah kecil usia 11 tahun itu,
tiba-tiba begitu kondang. Pasalnya, batu yang ia temukan, sesaat
setelah petir menyambar, konon bisa menyembuhkan berbagai penyakit.
Ponari, si bocah pelajar SD itu pun, tak lagi bisa belajar. Ribuan
orang berbondong-bondong meminta air berkah yang sudah dicelupi batu
temuan itu. Media menyiarkan dengan besar-besaran. Sebuah penberbit
buku di Jawa Timur, memanfaatkannya, dengan meluncurkan sebuah buku
tentang Ponari. Bahannya, rajutan dari berbagai berita di media.
Semacam Kliping yang dibesut, sedemikian rupa.
Mengapa fenomena Ponari begitu meledak,
dan memancing keinginan banyak orang untuk memanfaatkan air celupan
batu temuan Ponari? Nama besar dan legendaris, Ki Ageng Sela, dalam
cerita Jawa, menurut penduduk Jombang, yang tinggal berdekatan dengan
rumah Ponari, menjadi bagian yang turut menyepuh dan membesarkan
fenomena Ponari. Secara historis dalam konteks Jawa, mekanisme
pengobatan non-medis, memang masih menjadi milik masyarakat
kebanyakan. Kepercayaan semacam inilah yang menjadikan Ponari menjadi
begitu fenomenal dan membumbungkannya.
Kita tidak sedang mentertangkan
kepercayaan tradisi dengan perkembangan cara-cara pengobatan modern.
Kritisisme justru mesti diarahkan pada berbagai kebijakan sistem
kesehatan di negeri ini, yang menganut demikian kuat arus
neo-liberalisme. Menurut Dennis Altman, neo-liberalisme dipahami
sebagai kebijakan-kebijakan yang di atasnamakan pasar bebas dan
kompetisi yang lebih fair, mengakhiri seluruh aturan yang membatasi
investasi asing, program-progam privatisasi perusahaan-perusahaan
milik pemerintah, penciutan sektor publik, deregulasi hukum, dan
potongan-potongan pengeluaran untuk sektor publik, seperti kesehatan
dan pendidikan.
Dalam bidang kesehatan, setelah
diberlakukannya otonomi daerah—yang tidak sempurna benar dipahami
secara operasional—pengelolaan diserahkan ke daerah masing-masing.
Akibatnya, terjadi proses privatisasi pengelolaan bidang kesehatan.
Biaya menjadi sangat mahal dan tidak terjangkau. Masyarakat miskin,
tidak memiliki pilihan lain untuk melakukan perawatan pengobatan,
kecuali lari pada kepercayaan lama mengenai penyembuhan penyakit.
Pada saat yang sama, ketidakpercayaan terhadap PUSKESMAS, semakin
menjauhkan masyarakat miskin pada layanan pengobatan berbasis ilmu
modern. Situasi seperti inilah, yang menjadikan Ponari menjadi
fenomenal.
Kita mesti memulai melakukan koreksi
atas kebijakan-kebijakan pemerintah dalam bidang kesehatan.
Setidaknya mengingatkan kembali, bidang kesehatan merupakan faktor
mendasar yang akan bisa menopang sektor-sektor lain. Bidang ini harus
dijauhkan dari nalar-nalar kapitalistik, sehingga tetap bisa diakses
oleh seluruh masyarakat.
Sudah lama kita menyampaikan pandangan,
bidang kesehatan, seharusnya tidak menjadi sektor yang turut
diotonomisasikan, seperti juga bidang pertahanan dan keamanan. Bidang
kesehatan tetap harus menjadi tanggung jawab pemerintah pusat,
sehingga terhindar dari keputusan-keputusan pada level daerah, yang
mencoba melirik bidang ini sebagai sektor yang bisa menghasilkan
uang, untuk mendongkrak Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Jika tidak segera dilakukan pembenahan,
masyarakat miskin akan semakin terancam kehidupannya, karena
ketidakmampuan mereka mengakses layanan kesehatan yang baik, tetapi
dengan biaya yang terjangkau oleh mereka. Tentu saja, jika ini terus
menerus diabaikan, masyarakat bisa menuduh negara telah melakukan
pelanggaran hak asasi manusia, karena tidak menunaikan hak warga
negaranya dalam bidang kesehatan, sebagai salah satu hak dasar yang
dijamin dalam berbagai dokumen hak asasi manusia.[]