“Bukan hanya orang tertentu saja yang bisa mengalami Post Abortion
Syndrome (PAS), tetapi semua orang berpeluang menghadapinya. Baik perempuan
maupun laki-laki, dengan efek sindrom yang nyaris seragam dan akan menjadi
berbahaya jika sudah mengganggu kelangsungan hidup dan keselamatan diri,” kata Grace dari Samsara, sebuah lembaga nirlaba yang peduli pada
PAS pada Kamis (7/8) di forum Kemisan PKBI DIY.
Post Abortion Syndrome
tidak selalu muncul seketika, bisa beberapa bulan bahkan bertahun-tahun
setelahnya. Merasa bersalah terhadap bayi
yang gugur, trauma rasa sakit saat tindakan, legal atau illegal,
menyebabkan beberapa kasus menjadi berbeda antara satu dan lainnya. Memang sulit
menemukan laki-laki yang mengakui mengalami PAS, walaupun laki-laki turut andil
dalam tindakan dan merasakan efek aborsi.
Pertanyaan, sampai titik mana PAS hilang? “Ketika
seseorang dapat memahami dan memberikan respon terhadap emosinya sehingga
teratasi, dan dia mampu membicarakan secara umum. Mungkin PAS tidak akan bisa
hilang, tetapi seseorang bisa dikatakan berhasil jika bentuk trauma itu bisa
berubah menjadi lebih positif” kata Ina Hudaya, dari Samsara.
Ina menambahkan, aborsi dan efeknya tidak
akan bisa terlepas dari segi fisik dan psikis, Penanggulangan efektif,
penyatuan keduanya secara holistik. Faktor spiritual juga berperan
dalam pembentukan nilai. “Yang tidak boleh terlupakan ialah dukungan
keluarga dan nilai-nilai yang tertanam dalam keluarga dan masyarakat,” katanya.
(surya)