Kebijakan-kebijakan
yang dibuat pemerintah belum sepenuhnya mampu melindungi dan memenuhi segenap aspek kebutuhan masyarakat terutama kelompok perempuan dan anak. Angka putus sekolah pada remaja perempuan relatif tinggi dibanding angka putus sekolah pada remaja laki-laki. Berdasarkan data IPG (Indeks Pembangunan Gender)Kabupaten Sleman (diterbitkan Bappeda dan BPS Sleman, 2008) terkait Bidang Pendidikan, angka putus sekolah pada remaja perempuan kelompok umur 16-18 tahun 2006 sekitar 35,75% (remaja laki-laki sebesar 11,41%). Di samping itu, data menunjukkan perempuan yang menikah di bawah usia 16 tahun (9,88%), pada usia 17-18 tahun (17,98%), dan pada usia 19-24 tahun (51,06%). Dari data tersebut dapat dianalisis bahwa tingginya angka putus sekolah pada remaja perempuan disebabkan oleh pernikahan usia dini. Remaja perempuan yang menikah pada usia dini mempunyai risiko yang tinggi terkait dengan kesehatan reproduksinya, seperti rentan terkena kanker serviks, kehamilan yang tidak dikehendaki, maupun belum adanya kesiapan secara psikologis.
Sehubungan dengan hal tersebut, PKBI Sleman berpendapat, masyarakat sendiri yang menjadi agen perubahan dalam berbagai aspek kehidupan. Untuk itu PKBI Sleman mengadakan pelatihan dan pendidikan politik bagi kader komunitas desa dengan tema ‘Memperjuangkan Kebijakan
Pencegahan dan Penanganan Masalah-masalah Kesehatan Reproduksi-HIV&AIDS oleh Komunitas Desa di Kabupaten Sleman’ yang diselenggarakan pada Senin-Selasa (16-17 Februari) di Kantor Dinas Nakersos-KB, Kabupaten Sleman. Peserta pelatihan adalah para kader komunitas desa yang menjadi dampingan PKBI Sleman. Bertindak sebagai fasilitator, Dra. Budi Wahyuni, M.M, M.A., (Pengurus Harian Daerah PKBI DIY).
Pelatihan ini bertujuan untuk memetakan persoalan-persoalan di komunitas desa terkait dengan permasalahan kesehatan reproduksi (kespro) dan HIV&AIDS serta menyusun rencana tindak lanjut
advokasi kebijakan-kebijakan yang pro terhadap kebutuhan komunitas desa terutama kelompok perempuan dan anak. Demikian dijelaskan oleh Harry,Direktur Pelaksana PKBI Cabang Sleman. Lebih lanjut Harry mengatakan, diharapkan setelah selesai pelatihan ini peserta mampu memahami hak-haknya dan menyadari perannya dalam memperjuangkan kebijakan-kebijakan yang memihak terhadap isu-isu dan kebutuhan komunitas desa.
Peserta sangat antusias dalam mengikuti setiap sesi. Muncul banyak pertanyaan sehubungan dengan kesehatan reproduksi antara lain penggunaan alat kontrasepsi, siklus menstruasi, pengaruh alat kontrasepsi hormonal, dan HIV&AIDS. Dalam diskusi tentang permasalahan yang ada di masing-masing desa, banyak kasus mengenai pernikahan usia dini, perselingkuhan, kekerasan
terhadap perempuan dan anak, serta pemerkosaan. Pelaku kekerasan justru biasanya orang dekat korban, seperti keluarga, saudara, atau tetangga. Pernah ditemukan kasus seorang laki-laki menghamili adik iparnya sampai tiga kali.
Menurut salah seorang peserta, masih adanya anggapan membicarakan masalah seksual merupakan hal yang tabu menjadi kendala bagi para kader untuk menggali persoalah yang ada. Misalnya saja masalah perselingkuhan dianggap masalah pribadi di mana orang lain tidak berhak untuk ikut campur. Bahkan masih ada yang menganggap bahwa kesediaan untuk dipoligami adalah suatu ibadah.
“Melihat masih banyaknya persoalan yang ada di komunitas desa, maka perlu upaya lebih keras dari para kader dan PKBI dalam memperjuangkan kebijakan-kebijakan yang pro komunitas,” tegas Budi Wahyuni.
Desi