Sanitasi Bukan Hanya Tentang Toilet dan Buang Air, Tapi Lebih Dari Itu

Sanitasi Bukan Hanya Tentang Toilet dan Buang Air, Tapi Lebih Dari Itu

Andaikan sekelompok Homo Sapiens laki-laki dan perempuan pergi ke Mars untuk melakukan riset tentang kehidupan sosial alien. Di Mars, mereka melihat banyak anak Alien melakukan kegiatan di suatu tempat mulai dari pagi sampai sore. Hampir sebagian waktu mereka dihabiskan di tempat tersebut. Tak heran, fasilitas yang diberikan di tempat itu cukup lengkap; lapangan, ruang kelas, kantin, kamar mandi cuci kakus (MCK) dan unit kesehatan. Setelah melakukan pengamatan, salah seorang dari peneliti itu merasa menstruasi, pada saat menuju kakus, alangkah terkejutnya bahwa kakus untuk Alien sangat berbeda dengan apa yang ada di Bumi. Tidak ada pemisahan antara kakus laki-laki dan perempuan, kotor dan tidak ada pembalut cadangan. Pertanyaannya, berangkat dari pengalaman tadi, apakah peneliti tersebut akan membuat teori ketidaksetaraan gender?

Inilah duduk perkara tentang sanitasi yang ada di sekitar kita. Bahwa sanitasi tidak hanya tentang masalah hajat manusia untuk buang air, tapi tentang siapa yang bisa menggunakanya–konkritnya, siapa yang bisa mengakses “layanan kehidupan umat homo sapiens” ini. Tanpa keteraksesan ini, sudah barang tentu akan terjadi “kemacetan” dalam hidup manusia.

Tulisan ini tidak mengelaborasi term sanitasi. Apa yang akan saya tulis akan mengupayakan untuk memperjelas apa yang menjadi duduk perkara perihal sanitasi yang kita hadapi sehingga dapat membantu menemukan akar masalah dan alternatif kebijakan.

Apa itu sanitasi?

Biasanya, orang orang berpikiran sanitasi cuma sebatas pada MCK, padahal pengertian umum dari sanitasi menurut organisasi kesehatan dunia (WHO) adalah usaha untuk mengawasi faktor lingkungan fisik non-abiotik yang berpengaruh kepada manusia, terutama terhadap hal-hal yang memberi dampak negatif terhadap kelangsungan hidup. Singkatnya, sanitasi adalah upaya yang dilakukan untuk mengendalikan faktor faktor negatif dari lingkungan meliputi tanah, air dan udara.

Kalau ngomongin inklusifitas, sanitasi yang ideal di lingkungan sekolah seperti ketersediaan air, kelayakan MCK dan pembuangannya tentu harus berbasiskan kesetaraan baik gender, kelompok dan kelas sosial. Artinya, segala fasilitas tersebut harus bisa aksesibel dan berdampak positif terhadap semua jenis Homo Sapiens. Manusia, saya, kita, dengan gender dan kelas sosial tertentu, mau pakai stratifikasi apapun, tentu ingin hidup dengan terfasilitasi dan memastikan bahwa kebersihan dan keberlanjutan hidupnya terjaga. Makanya, kebutuhan akan sanitasi harus membersamai dan ramah terhadap seluruh gender dan kelompok maupun kelas sosial.

Yang Terjadi di Indonesia

Masih banyak sekolah dasar (SD) yang memiliki sistem sanitasi yang belum layak. Kementerian pendidikan dan kebudayaan (Mendikbud) setidaknya melaporkan bahwa terdapat 15% SD yang tidak memiliki akses air yang cukup, lalu 54% mempunyai toilet yang tidak terpisah untuk siswa perempuan dan siswa laki laki. dan sebagian besar toilet dalam kondisi rusak. Padahal, studi UNESCO menyimpulkan bahwa terdapat korelasi antara kualitas sanitasi dan angka melanjutkan sekolah dan absensi siswa, terutama perempuan.

Sebenarnya nggak usah jauh-jauh dari UNESCO, coba kita refleksikan ulang. Saat anda masih sekolah dasar, pernah nggak merasa jijik untuk pergi ke toilet dan memilih untuk pulang ke rumah daripada harus pup di sekolah. Jika kalian tidak pernah merasakannya, selamat! Sekolah kalian layak mendapat predikat adiwiyata nasional. Jika Selamat juga! Selamat sudah merasakan buruknya sanitasi sekolah di indonesia. Permasalahan ini sangat sistematis dan pasti eksis setiap tahun. Padahal, masalah ini bisa berdampak banyak pada prestasi akademik. Siswa laki laki yang terpaksa pulang karena fasilitas sanitasi yang tidak mendukung tentu mengalami ketertinggalan materi, untuk mengatasi ketertinggalan tersebut, mereka harus belajar dua kali lipat lebih lama.

Sama halnya dengan siswa laki laki, lack of accessibility ini juga terjadi pada siswa perempuan, malah bisa jadi lebih parah. Studi yang dilakukan smeru institute menemukan bahwa siswa  perempuan akan memilih untuk pulang dan tidak masuk pada keesokan harinya apabila mengalami menstruasi karena merasa cemas, merasa takut dan kotor.

Selain itu, fasilitas sanitasi seperti kamar mandi yang dicampur juga mengakibatkan murid perempuan merasa tidak nyaman karena terdapat perbedaan penggunaan: murid laki laki cenderung menggunakan kamar mandi untuk buang air kecil dengan berdiri, sementara perempuan dengan duduk. Tentu jika fasilitas ini kotor, akan menyebabkan masalah kebersihan dan kesehatan bagi murid perempuan.

Sepanjang tahun 2024 saja, terdapat 10,885 laporan kekerasan di sekolah dasar dan 9,489 merupakan korban perempuan. Implikasi dari preseden itu adalah siswa perempuan rawan terhadap kekerasan dibanding siswa laki laki, sehingga, perempuan cenderung ditempatkan sebagai subordinat dalam akses kamar mandi.

Kesadaran tentang sanitasi juga masih sangat rendah. Riset lain yang dilakukan smeru institute juga menemukan bahwa beberapa murid  perempuan sekolah dasar di daerah Nusa Tenggara Timur, masih beranggapan bahwa membuang pembalut dengan cara mengubur supaya tidak terkena bala, sebagian lagi juga ada yang membakar pembalut. Kearifan lokal ini tentu merusak lingkungan karena pembalut yang ditanam bisa jadi mencemari air tanah dan berpengaruh pada sumber air tanah yang pada akhirnya kita minum lagi.

What is to be done

Apakah arti semua ini? Sudah seharusnya bagi kita untuk terus mendorong agenda kelayakan sanitasi. Sanitasi yang layak tentu akan berdampak positif pada siswa untuk melakukan kegiatan belajar mengajar. Kita bisa mendorong pemerintah untuk melakukan standarisasi sanitasi yang berbasis gender dan kelas untuk tiap sekolah dasar di Indonesia. Selain itu, sekolah sebagai aparatus pendidikan dapat mentransmisikan kesadaran kesetaraan gender melalui pembelajarannya. Selain itu, pelibatan komunitas lokal untuk membangun kesadaran tentang pentingnya kesetaraan gender dalam pembangunan sanitasi.

Masalah masalah yang saya sebutkan di atas tentu tidak akan muncul ketika pembangunan sanitasi berbasis kesetaraan gender dilakukan. Ketidaksetaraan yang terjadi hanya akan terus mensubordinasikan pihak marjinal yang terdampak dari ketimpangan ini. Dengan itu, sebuah keniscayaan bahwa kejadian yang terjadi sama alien tadi, tidak terulang kembali. (atilla)

Referensi

Air, Sanitasi dan Kebersihan (WASH). (2023, March 10). Www.unicef.org. https://www.unicef.org/indonesia/id/air-sanitasi-dan-kebersihan-wash

Haris, R. (2023). Fungsi Gender Terhadap Sanitasi Lingkungan Sekolah Anak. Bunga Rampai: Jagai Anakta, 1, hal. 13-42.

Media, K. C. (2022, March 29). Sanitasi: Pengertian dan Tujuannya. KOMPAS.com. https://www.kompas.com/skola/read/2022/03/29/120000569/sanitasi–pengertian-dan-tujuannya

Pramana, R. P. (2018, October). Sanitasi Sekolah dan Gender. Smeru.or.id. https://smeru.or.id/id/event-id/sanitasi-sekolah-dan-gender

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *