Advokasi Layanan Aborsi Aman bagi Korban Perkosaan

Secara legal, aborsi dapat diakses oleh perempuan yang menjadi korban perkosaan berdasarkan UU Kesehatan No. 36 Tahun 2009 Pasal 84. Namun faktanya korban perkosaan seringkali dipersulit karena sistem dan mekanisme operasional di tingkat daerah belum berjalan. Diduga ada persoalan komitmen dan political will yang kurang sehingga akses aborsi belum dibuka sepenuhnya untuk korban perkosaan.

PKBI DIY bekerjasama dengan Results in Health (RiH) Belanda dan Sentra Advokasi Perempuan, Difabel dan Anak (SAPDA) mendorongkan advokasi hak layanan aborsi aman bagi perempuan rentan (korban perkosaan dan difabel) yang mengalami Kehamilan Tidak Direncanakan (KTD). Kerja sama ini diawali dengan workshop Most Significant Change (MSC) di Hotel Arjuna, Selasa-Kamis (18-20/2).

Nur Rokhmah Hidayati dari RiH yang menjadi fasilitator pada workshop MSC menjelaskan bahwa MSC atau Most Significant Change adalah salah satu metode monitoring dan evaluasi yang mengukur perubahan sosial. MSC dapat mengungkap perubahan meski tidak ada indikator program, meskipun harus dipadukan dengan metode monitoring dan evaluasi yang lain.

“Saya kira MSC menjadi salah satu metode yang cocok untuk program advokasi aborsi aman bagi korban perkosaan karena metode ini dapat mengoptimalkan keterlibatan dari semua pihak. Apalagi kasus perkosaan ini merupakan kasus yang sensitif apalagi bagi korban,” kata Nur Rokhmah Hidayati.

Menurut Manager Klinik PKBI DIY, Kusminari, advokasi akan dijalankan bersama dengan strategi peningkatan kapasitas di sisi petugas layanan konseling KTD di Klinik Adhiwarga PKBI DIY dalam melayani perempuan rentan dan juga usaha peningkatan kapasitas perempuan rentan untuk memahami lebih dalam tentang Kesehatan Reproduksi dan Seksual.

“Klinik Adhiwarga PKBI DIY mendapati ada 5 klien korban perkosaan yang mengakses layanan konseling KTD pada 2012. Semua klien tidak ada yang dirujuk melalui mekanisme resmi Negara, yaitu SKPD yang membidangi soal perlindungan perempuan korban kekerasan, yakni Badan Pemberdayaan Perempuan dan Masyarakat (BPPM) DIY dan Kabupaten/kota,” tambah Kusminari.

Sri Lestari dari SAPDA mengatakan persoalan perkosaan adalah persoalan kritis yang menunjukkan ketimpangan gender yang akhirnya menempatkan perempuan dalam posisi rentan. Dalam situasi timpang, perempuan di manapun sebenarnya rentan untuk menjadi korban perkosaan. Tingkat kerentanan akan lebih besar terjadi pada perempuan difabel. Karenanya diperlukan suatu program sepesifik dalam perlindungan perempuan yang rentan terhadap perkosaan.

“Dan jika telah terjadi perkosaan dan mengalami KTD, harus ada dorongan advokasi hak mereka untuk mengakses layanan aborsi aman sebagaimana termandatkan dalam UU Kesehatan,” desak Sri Lestari. (Fita Purwantari)

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *