Oleh: Agus T.
“Kesehatan itu mahal.“ sering kita mendengar satu kalimat ini. Berbicara tentang kesehatan yang mahal tidak bisa dipungkiri bahwa fakta dilapangan menunjukan biaya yang perlu dikeluarkan untuk mendapatkan layanan kesehatan tidak murah bagi beberapa kelompok masyarakat. Sehingga seringkali muncul permasalahan-permasalahan yang diakibatkan oleh hal tersebut.
Diantara kalian pasti pernah mendengar berita tentang permasalahan dalam pembiayaan rumah sakit. Seperti halnya pasien kabur dari layanan kesehatan karena tidak mampu membayar atau kasus penahanan bayi karena orang tua belum bisa melunasi biaya layanan yang dikeluarkan selama proses persalinan atau pasien terlantar karena tidak ada yang bertanggung jawab atas pembiayaan kesehatannya.
Pasal 28 H ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Dari sini sebenarnya sudah dapat dipastikan bahwa setiap warga negara Indonesia berhak atas pelayanan kesehatan.
Namun, hal ini seringkali dibenturkan bahwa anggaran negara terbatas, sehingga perlu ada pemakluman jika tidak semua warga negara mendapatkan hal tersebut. Hal ini kemudian menjadi tantangan besar ketika UU Nomor 24 Tahun 2014 tentang Otonomi Daerah Diterbitkan. Daerah dengan penghasilan yang besar dan berorientasi pada masyarakat tentu akan berusaha memenuhi kebutuhan kesehatan masyarakatnya, lalu bagaimana dengan daerah dengan pendapatan yang kecil atau terbatas?
Berbicara terkait Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), DIY memiliki Peraturan Gubernur Nomor 47 Tahun 2021 tentang Jaminan Kesehatan Semesta (Jamkesta). Jamkesta adalah system jamianan kesehatan di DIY yang diselenggarakan untuk memenuhi kebutuhan kesehatan dasar, suplemen dan komplemen yang layak diberikan kepada penerima manfaat.
Melalui dasar hukum ini setiap warga provinsi DIY dapat mendapatkan akses jaminan kesehatan yang dibiayai oleh negara. Penerima manfaat dalam peraturan ini mencakup setiap warga yang belum mendapatkan jaminan kesehatan apapun, disabilitas miskin/tidak mampu dan juga pemerlu pelayanan kesejahteraan sosial (PPKS) meliputi anak jalanan, gelandangan , korban kekerasan perempuan dan anak, korban trafficking, anak berhadapan dengan hukum dan juga orang dengan HIV.
“Lalu bagaimana bagaimana orang yang membutuhkan jamianan kesehatan ini dapat megaksesnya?” Dari kelompok penerima manfaat yang yang tercantum dalam kriteria diatas dapat menghubungi lembaga/organisasi negara sebagai pengampu pemberi rekomendasi. Untuk warga DIY tidak mampu/belum memiliki jaminan kesehatan apapun , gelandangan dan anak jalanan dapat mengakses rekomendasi dari Dinas Sosial setempat, kemudian untuk perempuan dan akan korban kekerasan dapat mengakses rekomendasi melalui Forum Perlindungan Korban Kekerasan (FPKK) sedangkan orang dengan HIV dapat mengakses Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) DIY untuk mendapatkan rekomendasi.
Senada dengan apa yang sudah dilakukan oleh pemerintah provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, hal serupa juga dilakukan oleh pemerintah kota Yogyakarta dengan terbitnya Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 27 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 69 Tahun 2018 Tentang Penyelenggaraan Jaminan Kesehatan Daerah. Kabupaten Bantul juga menyusul Kota Yogyakarta dengan menerbitkan Peraturan Daerah Kabupaten Bantul Nomor 4 Tahun 2020 tentang Pendampingan Pembiayaan Kesehatan. Dengan semakin banyaknya daerah yang menadaptasi peraturan serupa tentunya diharapkan derajat kesehatan masyarakat menjadi lebih baik, layanan kesehatan yang nyaman dan ramah yang bisa diakses oleh semua kalangan masyarakat.