53 – 55 Perempuan meninggal karena Aborsi yang tidak aman sehingga menyumbang tingginya Angka Kematian Ibu (359/100.000 kelahiran) sehingga Indonesia gagal mencapai target MDGs sebesar 102/100.000 kelahiran. Hal tersebut disampaikan oleh ibu Dewi Haryani Susilastuti dari Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM dalam diseminasi hasil penelitian tengang Kebijakan safe Abortion di Indonesia yang dilakukan oleh PKBI DIY di PSKK (30/9).
“Di Indonesia itu, 11%- 14% AKI disebabkan oleh unsafe abortion, berarti ada 43 – 55 perempuan yang meninggal karena aborsi yang tidak aman per 100.000 kelahiran hidup. Studi yang lain ada 37 aborsi diantara 1000 perempuan yang berumur 15 -49 tahun”, ujarnya.
PKBI DIY melakukan penelitian tentang “Pendapat dan Sikap Pengambil Kebijakan dan Tenaga Kesehatan Profesional tentang Layanan Aborsi Aman bagi Kasus KTD, Termasuk KTD pada Perempuan Penyandang Disabilitas (WPD)” sebagai respon atas terbitnya PP no 61 tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi yang hingga satu tahun berlalu belum ada sebuah kebijakan operasional. Tercatat belum ada Peraturan di tingkat Menteri maupun Peraturan Daerah atau peraturan operasional lainnya yang mengatur lebih detail akses perempuan ke layanan aborsi yang aman.
Purwantingtyas FK Wuri dari PKBI DIY manyampaikan penelitian kualitatif yang dilakukan pada bulan Desember 2014 – Maret 2015 ini mengambil data dari wawancara semi terstruktur dengan Pengampu kebijakan dan tokoh masyarakat ditingkat Provinsi (DIY) dan kabupaten (Gunung Kidul dan Kota Yogyakarta) dan tenaga kesehatan dengan topik Kesehatan Seksual dan Reproduksi dan Aborsi aman.
“Hasil penelitian yang didapat adalah nalar dan sikap tokoh masyarakat, pembuat kebijakan dan tenaga kesehatan terhadap fenomena aborsi dan isu terkait lainnya cenderung bersifat normatif karena ketidakpahaman atau salah persepsi terhadap isu Kesehatan Seksual dan Reproduksi, khususnya aborsi. Keraguan yang ditemukan dari para praktisiatau aparatur negara yang bertugas dalam bidang kesehatan reproduksi untuk menjalankan amanat yang telah diberikan oleh UU Kesehatan dan Peraturan Pemerintahnya”, ujarnya.
Anastasia Sukiratnasari dari Jaringan Perempuan Yogyakarta yang menjadi salah satu pembahas hasil riset menekankan agar Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi merupakan hak yang harus dilindungi dan dipenuhi oleh negara. Dari 32.739 perempuan yang mengakses layanan pemulihan haid dari tahun 2014, 83% dari jumlah tersebut merupakan perempuan yang sudah menikah dan sebanyak 17% dari jumlah total diakibatkan terbatasnya alat kontrasepsi. Menurutnya, pencegahan kehamilan tidak diinginkan harus dilakukan dengan pencegahan melalui pendidikan kesehatan reproduksi bagi remaja dan memperluas layanan kontrasepsi bagi remaja yang sudah seksual aktif.
“Menyelamatkan perempuan yang mengalami kehamilan tidak diinginkan dari kematian merupakan kewajiban negara dalam perlindungan dan pemenuhan hak kesehatan seksual dan reproduksi”, tegasnya.
Masalah tanpa solusi Menurut Dewi Haryani Susilastuti, permasalahan yang dihadapi dalam penyusunan kebijakan tentang layanan aborsi dikarenakan di Indonesia ada 2 sisi, gerakan aktivis HAM
(pro choice) dan pro life. Namun, belum menemukan solusi karena kebijakan layanan aborsi aman karena pertentangan tersebut.
“Pendekatan berbasis hak, ongkos sosial dan politiknya sangat tinggi, di sisi lain yang pro life tidak mampu memberikan solusi bagi kasus aborsi sehingga mampu mengurangi angka kematian ibu”, tegasnya.
Sementara itu, tidak adanya pendidikan kesehatan seksual dan reproduksi dan layanan kesehatan reproduksi yang diberikan hanya pada pasangan yang menikah tidak mampu memberikan solusi pada remaja yang yang seksual aktif dari kehamilan tidak diinginkan.
“Fakta risiko reproduksi dan seksual remaja yang sudah melakukan seksual aktif tidak diikuti dengan pendidikan kesehatan reproduksi dan layanan alkon (alat kontrasepsi) sebagai upaya pencegahan kehamilan tidak diinginkan, menyebabkan meningkatnya angka aborsi yang tidak aman”, tegasnya.