Saya ingin mengawali tulisan ini dengan mengatakan bahwa remaja sebagai kategori budaya adalah sebuah subyek yang dibentuk sejarah. Artinya, ada suatu sejarah manusia di mana subyek remaja belum ditemukan dan dibentuk.
Kita lihat beberapa pendapat para pakar tentang remaja. Bagi Parson (1942, 1963) remaja adalah suatu kategori sosial yang muncul bersamaan dengan perubahan peran keluarga yang tumbuh dari perkembangan kapitalisme. Pada masyarakat pra-kapitalis, keluarga memiliki dan dapat memenuhi semua fungsi reproduksi sosial secara biologis, ekonomis, dan budaya. Transisi dari masa kanak-kanak ke usia dewasa ditandai dengan ritus peralihan. Seiring dengan munculnya peran orang dewasa dalam masyarakat kapitalis yang terspesialisasi, universal dan rasional berdasarkan pekerjaan, ada satu keterputusan antara keluarga dan masyarakat yang lebih luas yang perlu diisi oleh suatu masa transisi dan pelatihan bagi orang-orang yang masuk usia muda.
Bagi Barker (2000 : 334 ), masa transisi Ini menandai bukan hanya kategori remaja namun juga suatu moratorium dari tiadanya ‘tanggungjawab yang terstruktur’ antara masa kanak-kanak dengan masa dewasa yang memungkinkan munculnya kebudayaan transisional yang fungsinya adalah sosialisasi dan penyiapan. Dalam nalar ini, remaja dipandang sebagai masa persiapan meninggalkan rumah dan bergabung dengan orang dewasa. Remaja mendapatkan lebih banyak tanggung jawab daripada anak-anak namun masih terikat pada kontrol orang dewasa.
Sebagai istilah inggris, adolescence, remaja sudah muncul di Inggris sejak abad ke-13 dan di Perancis abad ke-16. Dalam tahapan sejarah awal tersebut, kata ’adolescence’ sudah mulai mempunyai sebuah makna ’transisional’ yang berarti ia harus mempunyai dan mengusahakan sebuah ’persiapan’ untuk masa depannya. Dan dari sinilah mulai dikenal istilah ’career’ bagi remaja dengan pendidikan sebagai prasyarat untuk kehidupan kerja masa mendatang. Pelembagaan ini terjadi pada awal abad ke-20 dengan istilah vocational guidance yang kemudian berubah menjadi career guidance (bimbingan karir) yang kemudian menjadi sebuah tugas yang inhern dalam bimbingan dan konseling di sekolah. (Villareal, 1998: 1-2)
Pada masa yang hampir sama dengan munculnya ’sekolah modern’, psikologi mengenalkan sebuah konsep life span psychology (psikologi perkembangan) yang berusaha mengilmiahkan sebuah ’pengetahuan’ (connaissance) bahwa remaja adalah sebuah masa yang unik dan harus diberi perhatian khusus. Perhatian khusus inilah yang mengilhami sebuah turunan pengetahuan yang disebut psiko-patologi sosial yang melahirkan istilah terkenal ’jouvenil delinquency’ (kenakalan remaja). Di sisi yang lain, biologi juga mempunyai andil besar dalam membentuk makna ’remaja’ ini, yakni dengan mengelaborasi secara klinis tentang arti ’puberty’.
Biologi dan psikologi secara bersama menandai sebuah masa baru yang disebut remaja dengan sebuah sebutan ’transisi’ yang di dalamnya dipenuhi dengan segala ketidakpastian. Muncullah teori-teori remaja seperti ’storm and stress’, ’identity seeker’, ’rule confusion’ dan lain-lain.
Apa yang bisa kita catat dari sedikit diskusi di atas ? Bagi saya, munculnya istilah remaja, selain mengindikasikan suatu masa transisi juga memuat penekanan tentang posisi remaja sebagai “masalah” tinimbang potensi dalam kehidupan. Cara pandang ini pada akhirnya menjadi mainstream sosial yang melulu meihat remaja sebagai masa bagi kenakalan, dan keakraban dengan dunia pelanggaran norma.
(Maesur Zacky)