Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 2 Tahun 2025 menimbulkan banyak polemik di tengah masyarakat. Peraturan ini dinilai mengandung sejumlah pasal kontroversial dan diskriminatif, serta disusun tanpa partisipasi bermakna dari kelompok terdampak.
Menurut Aliansi Masyarakat Sipil untuk Layanan Kesehatan Adil dan Inklusi, beberapa ketentuan dalam peraturan tersebut berpotensi melanggar hak asasi manusia, khususnya hak kelompok disabilitas. Salah satu yang menjadi sorotan adalah Pasal 62 Ayat (5), yang dinilai mengabaikan hak otonomi tubuh perempuan dengan disabilitas. Alih-alih memberikan perlindungan, aturan ini justru memperkuat stigma dan menghilangkan kecakapan hukum bagi penyandang disabilitas, terutama mereka yang memiliki disabilitas mental dan intelektual.
Selain itu, penggunaan istilah “cacat” dalam Permenkes ini juga dianggap semakin memperkuat stigma negatif terhadap penyandang disabilitas. Kritik lain yang mencuat adalah bagaimana peraturan ini mengkategorikan orientasi seksual sebagai bentuk disfungsi atau gangguan. Padahal, Undang-Undang Kesehatan telah mengakui serta melindungi individu yang mengalami diskriminasi berdasarkan orientasi seksual dan identitas gendernya. Ketentuan ini dianggap bertentangan dengan prinsip non diskriminasi dalam layanan kesehatan.
Menyikapi hal tersebut, Direktur Eksekutif Daerah PKBI DIY, Fransiska, menyatakan tuntutan revisi terhadap Permenkes No. 2 Tahun 2025. “Aturan ini memiliki potensi besar untuk menghambat pemenuhan hak kesehatan reproduksi dan jauh dari semangat inklusivitas,” ujarnya.
Lebih lanjut, Fransiska menyoroti bagaimana aturan ini memperumit akses layanan aborsi bagi korban kekerasan seksual. “Persyaratan untuk melampirkan empat dokumen secara kumulatif jelas akan menghambat korban dalam mendapatkan layanan yang mereka butuhkan. Ini justru dapat memperburuk trauma yang mereka alami karena di dalam prosesnya korban harus berhadapan dengan berbagai pertanyaan yang bisa jadi tidak sensitif terhadap perspektif korban. Belum lagi korban harus berkejar-kejaran dengan waktu karena batas waktu yang diijinkan untuk layanan aborsi adalah 14 minggu usia kehamilan,” imbuhnya.
Sebagai informasi, Permenkes Nomor 2 Tahun 2025 mensyaratkan korban kekerasan seksual yang ingin mengakses layanan aborsi untuk melampirkan empat dokumen, yakni Surat Keterangan Penyidik, Surat Keterangan Dokter, Surat Persetujuan Tim Pertimbangan, serta Surat Keterangan Konselor. Persyaratan ini dinilai tidak realistis, mengingat banyak korban kekerasan seksual yang enggan atau tidak memiliki kesempatan untuk melaporkan kejadian yang dialaminya kepada pihak kepolisian.
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa tidak semua korban bersedia atau dapat melaporkan kasusnya ke kepolisian, sementara akses layanan kesehatan di Indonesia masih belum merata. Di banyak wilayah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar), keterbatasan tenaga medis akan menjadi kendala besar bagi korban yang membutuhkan layanan kesehatan reproduksi, termasuk layanan aborsi yang aman.
Dengan berbagai kritik yang mengemuka, desakan revisi terhadap Permenkes Nomor 2 Tahun 2025 semakin menguat. Kelompok masyarakat sipil dan organisasi kesehatan menilai bahwa regulasi ini harus segera dikaji ulang agar lebih berpihak pada kelompok rentan dan memastikan hak kesehatan yang inklusif bagi semua.