“Denger-denger Rara hamil di luar nikah, loh”, kalimat tersebut beberapa kali saya dengar di sekolah maupun lingkungan sekitar. Ketika remaja mengalami kehamilan yang tidak diinginkan, ia akan disalahkan, dihakimi, serta dianggap tidak bermoral. Tetangga menjadi sinis, kasihan, dan menganggap anak perempuan tersebut nakal dan tidak bisa menjaga diri.
Kehamilan yang tidak diinginkan pada remaja itu terjadi karena tidak adanya pendidikan seksualitas komprehensif di keluarga dan di sekolah. Sudah seharusnya orang dewasa merasa bersalah ketika mendengar ada remaja yang mengalami kehamilan yang tidak diinginkan (KTD). Pendidikan seksualitas telah luput mereka berikan. Orang dewasa yang dimaksud di sini bukan hanya orang tua dan guru, melainkan kita semua.
Anak yang mengalami KTD bisa juga karena ia merupakan korban kekerasan seksual dan pemerkosaan. Hubungan seksual yang mereka lakukan bisa tidak karena keduanya menginginkan, melainkan karena dipaksa dan diancam.
Edukasi mengenai pentingnya alat kontrasepsi seperti kondom masih dianggap tabu. Apabila ada yang terlihat membeli kondom di minimarket atau apotek, ia masih dicap sebagai orang yang nakal dan hina, padahal orang tersebut sudah sadar dan bertanggung jawab terhadap kesehatan seksual dirinya dan pasangannya. Kondom sebagai alat kontrasepsi ini selain mencegah kehamilan yang tidak direncanakan dan penyakit menular seksual. Edukasi tentang persetujuan (consent) dan batasan (boundaries) pun langka didapatkan oleh remaja.
Sudah jatuh, tertimpa jagat raya. Itu kalimat yang pantas menggambarkan keadaan remaja perempuan yang mengalami KTD, kemudian ia dikeluarkan atau disuruh mengundurkann diri dari sekolah. Hak remaja tersebut untuk mendapatkan pendidikan tinggi dan berkualitas pun dihilangkan. Demi nama baik sekolah, katanya. Padahal, apabila sekolah mampu memberikan pendidikan seksualitas dan risiko berhubungan seksual yang tidak aman, hal tersebut akan mencegah kehamilan yang tidak diinginkan. Bahkan, kalau sekolah tetap mengajar anak yang mengalami KTD, itu tidak membuat nama baik sekolah jadi buruk, justru banyak yang menaruh respect.
Ancaman perkawinan anak, penelantaran, pemaksaan aborsi, dan kematian ibu dan bayi pun terus membayangi apabila rantai kemiskinan dipelihara dengan menabukan pendidikan seksualitas.
Pendidikan seksualitas perlu dinormalisasi, tenaga pendidik pun perlu mendapatkan peningkatan kapasitas. Selama ini, pendidikan kesehatan reproduksi di sekolah itu hanya tentang bentuk dan bagian akat reproduksi yang dijelaskan terpisah antara laki-laki dan perempuan. Hal ini melanggengkan tabunya pendidikan seksualitas yang membuat anak malu dan tidak memahami tubuh memahami tubuh mereka dengan jujur dan seutuhnya.
Pendidikan seksualitas komprehensif meliputi gender, kesehatan reproduksi dan HIV, hak seksual dan Hak Asasi Manusia (HAM), kepuasam, kekerasan, keragaman, dan hubungan manusia yang perlu didapatkan di rumah maupun di sekolah.
“Pendidikan seksualitas masih tabu untuk dibicarakan, tapi tidak tabu untuk dilakukan”, kata Inez Kristanti yang merupakan psikolog klinis dan pendidik seksualitas. Hal tersebut terjadi karena belum ada keterbukaan untuk bercerita tanpa dihakimi. Keterbukaan adalah kunci bagi orang tua dan remaja untuk mengkomunikasikan isu sensitif, seperti seksualitas.
Obrolan bisa dimulai dengan remaja orang tua menceritakan pengalamannya di usia remaja, bertanya apakah teman si remaja sudah mulai berpacaran, kriteria pasangan romantis yang disukai anak, apakah anak sudah memiliki pacar, dan bagaimana pandangan anak mengenai hubungan romantis.
Pendidikan seksualitas bukan hal yang kotor dan menjijikkan, melainkan berkaitan dengan rasa hormat, keamanan, dan kenyamanan. Pendidikan seksualitas dan pendidikan berkualitas merupakan Hak Asasi Manusia. Mari berhenti menyalahkan korban dan berhenti menganggap pendidikan seksualitas itu tabu, jorok, bahkan tidak penting. Remaja bisa memiliki pilihan dan bertanggung jawab dengan seksualitasnya. (Lena)