Tak bisa dipungkiri perkembangan teknologi di era digital membawa berbagai inovasi yang bisa memudahkan segala urusan manusia, namun juga perkembangan teknologi menimbulkan ancaman baru yang tak terduga Salah satu bentuk ancaman dari berkembangnya teknologi tersebut adalah deepfake. Dalam sebuah artikel yang membahas tentang teknologi, definisi dari deepfake adalah jenis kecerdasan buatan yang digunakan untuk membuat gambar, video, dan rekaman audio palsu yang meyakinkan.
Deepfake berasal dari kata deep learning dan fake yang berarti menggambarkan teknologi dan konten. Teknologi deepfake sering kali mengubah konten sumber yang sudah ada, di mana satu orang ditukar dengan orang lain. Deepfake juga menciptakan konten yang sepenuhnya asli, di mana seseorang digambarkan melakukan atau mengatakan sesuatu yang tidak mereka lakukan atau katakana (TechTarget, 2024).
Deepfake Sebagai Kekerasan Seksual dalam Dunia Digital
Dengan adanya kemajuan sebuah teknologi digital itu, kemudian muncul sebuah masalah dimana terjadinya kekerasan seksual baru melalui deepfake pornografi. Hal ini menunjukkan bagaimana alat yang awalnya diciptakan untuk hiburan dapat disalahgunakan untuk mengeksploitasi dan merugikan perempuan. Kekerasan seksual ini akhirnya berkembang luas. Umumnya motif kekerasan berbasis teknologi ini menjerat korbannya dengan cara memungkinkan manipulasi gambar dan video. Deepfake juga bisa menjadi bentuk kekerasan seksual yang merusak psikis korban karena memungkinkan memalsukan wajah korban yang dipalsukan dalam konten pornografi tanpa persetujuan mereka.
Pemanfaatan teknologi ini tentu berdampak panjang bagi korban, salah satunya adalah adanya objetifikasi perempuan tanpa izin mereka, menciptakan trauma psikologis yang mendalam bagi korban. Walaupun di Indonesia masih minim ditemukannya kasus ini namun ada beberapa kasus yang menunjukkan bahwa banyak perempuan yang menjadi target deepfake pornografi. Korban tidak pernah memberikan persetujuan untuk menggunakan gambar atau video mereka dan para oknum ini biasanya mengancam ataupun melakukan kekerasan.
Menurut laporan dari Komnas Perempuan, kasus kekerasan gender berbasis online (KGBO) di ranah publik, komnas perempuan mencatat terdapat 876 kasus kekerasan berbasis gender yang diadukan pada tahun 2022. Kasus tersebut termasuk perbuatan penyebaran foto/ video pornografi menggunakan teknologi deepfake. Adanya kasus deepfake ini, sudah sewajarnya jika pihak korban kekerasan seksual yang berbasis online sudah seharusnya berhak menerima perawatan, perlindungan, dan pemulihan sejak terjadi tindak pidana kekerasan seksual tersebut.
Sesuai dengan unsur kejahatan yang semestinya. Suatu kejahatan harus memenuhi unsur merugikan korban. Oleh karena itu, bukan hanya memberikan sanksi pidana bagi pelanggar dalam konteks perbuatannya, namun juga memperhatikan kepentingan pemulihan terhadap korban yang bukan hanya berupa rehabilitasi, psikologis, dan ganti kerugian, tetapi juga memberikan tindakan solutif terhadap korban yang memiliki ketakutan dalam bermasyarakat sosial yang mengganggu korban dalam aktivitas dalam pekerjaannya (Putra, 2023, p. 113).
Seiring dengan berjalannya waktu dengan berkembangnya deepfake pornografi ini, sudah sepatutnya jika korban dari kekerasan seksual di ruang digital ini diberikan perlindungan hukum yang memadai. Di Indonesia, hukum terkait kekerasan berbasis digital, seperti deepfake pornografi, masih belum memadai untuk melindungi korban secara efektif. Meskipun harus perlu di garis bawahi bahwa ada regulasi mengenai pornografi dan perlindungan privasi yang bisa menjerat pelaku yang melakukan kekerasan seksual dengan memanfaatkan teknologi deepfake ini. Namun, tentunya hal ini tidak bisa dikatakan maksimal karena Indonesia memang belum mempunyai aturan khusus yang mengatur eksploitasi melalui deepfake. Akibatnya, banyak korban kesulitan mendapatkan keadilan dan perlindungan hukum yang memadai untuk melawan penyalahgunaan teknologi ini.
Pada sisi yang lainya, apparat hukum juga kerap kali sulit mendeteksi kejahatan ini. Hal ini dikarenakan teknologi deepfake semakin sulit dideteksi karena kecanggihannya yang terus berkembang. Oleh karena itu, aparat penegak hukum juga menghadapi tantangan dalam hal mengidentifikasi pelaku yang membuat dan menyebarkan foto maupun video yang menggunakan deepfake pornografi. Aparat hukum juga sering kali mengalami hambatan karena pelaku biasanya menggunakan identitas anonym yang membuat penegak hukum susah mengidentifikasi identitas aslinya.
Perlu diakui bahwa deepfake adalah alat yang memudahkan pekerjaan manusia, baik itu sebagai hiburan atau keperluan manusia yang lain. Namun, seiring berjalannya waktu teknologi ini justru dipergunakan sebagai kejahatan bahkan senjata kekerasan seksual di era teknologi modern. Deepfake akhirnya menjadi deepfake pornografi, yang mucnul sebagai bentuk kekerasan seksual baru dalam dunia digital yang semakin sulit dikendalikan. Teknologi ini mengeksploitasi wajah dan tubuh korban tanpa persetujuan mereka. Dampaknya pun bisa tak main-main menyerang psikologis korban dan dampak sosial yang ditimbulkan Regulasi hukum di Indonesia juga masih belum memadai untuk memberikan perlindungan pada korban.
Oleh karena itu, harapannya apparat penegak hukum dan pemerintah harus bekerja sama untuk meningkatkan perlindungan bagi korban dari deepfake pornografi ini. Upaya untuk memperkuat regulasi juga harus dilakukan oleh pemerintah dengan menghadirkan regulasi tentang kekerasan baru ini dalam dunia digital. Selain itu, sosialisasi juga perlu dilakukan untuk meningkatan kesadaran masyarakat terhadap bahaya deepfake pornografi ini dan pemerintah juga harus mencari solusi yang bertujuan untuk memudahkan pendeteksian deepfake melindungi korban dan membasmi kekerasan seksual baru ini dalam dunia digital. (ernik)
Referensi
Tech Target. 2024. What is deepfake technology?. https://www.techtarget.com/whatis/definition/deepfake
PUTRA, I. H. P. I. H. (2023). Perlindungan Hukum Terhadap Korban Penyalahgunaan Artificial Intelligence (AI) Berupa Deepfake Pornografi Menurut Peraturan Perundang-Undangan. UNJA Journal of Legal Studies, 1(2), 110-128.
Sijabat, S. A. U., & Lukitasari, D. Konten Gambar dan Video Pornografi Deepfake Sebagai Suatu Bentuk Tindak Pidana Pencemaran Nama Baik. Recidive: Jurnal Hukum Pidana dan Penanggulangan Kejahatan, 13(2), 179-194.