Catatan Tahunan Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Catahu Komnas Perempuan) hampir selalu menunjukkan tren yang sama, bahwa kekerasan berbasis gender jamak terjadi di ranah personal. Dengan kata lain, sebagian besar korban mendapatkan kekerasan dari keluarga, pasangan, dan teman; orang-orang dari lingkungan terdekat yang seharusnya memberikan perlindungan.
Kekerasan ranah personal, seperti kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) atau kekerasan oleh pasangan, adalah fenomena yang gemuk akan nilai berita; dan karenanya hampir tidak pernah absen mendapatkan sorotan media. Perhatian media akan semakin tinggi ketika salah satu dari korban atau pelaku kebetulan adalah selebriti, influencer, pesohor internet, atau siapapun yang dikenal secara publik.
Saat tulisan ini dibuat misalnya, dinding internet sedang dipenuhi dengan pemberitaan terkait dugaan penganiayaan yang dialami selebgram, Afifah Riyad, oleh pasangannya. Belum lama, sepanjang September 2024 lalu, kasus KDRT terhadap influencer Cut Intan Nabila juga sedang menarik banyak perhatian publik.
Baik Afifah Riyad maupun Cut Intan Nabila, ramainya kasus mereka sama-sama bermula ketika korban menyebarkan bukti kekerasan yang ia alami di media sosial. Setelah postingan keduanya mencapai viralitas, portal media daring seketika ramai-ramai memberitakannya. Namun sayangnya, dalam meliput kekerasan yang mereka alami, media tampaknya terlalu latah dalam melahirkan pemberitaan yang bernada sensasionalisme.
Mengenal Sensasionalisme
Di dalam konteks kerja jurnalisme, sensasionalisme sendiri merujuk pada praktik editorial yang melebih-lebihkan liputan peristiwa dengan tujuan mendapatkan lebih banyak jangkauan audiens (penonton, pembaca, pendengar). Sensasionalisme tidak hanya berlaku di dalam topik pemberitaan yang ringan dan sepele, tetapi juga sering digunakan untuk melaporkan peristiwa serius, tentunya dengan cara yang sensasional.
Corak pemberitaan yang diproduksi menurut logika sensasionalisme bisa diidentifikasi lewat beberapa ciri, seperti adanya dramatisasi; bersifat cepat, dangkal, dan terlalu sederhana; biasanya berfokus pada hal-hal personal dan keindahan fisikal; serta lebih mengutamakan hiburan daripada substansi. Beberapa diskursus menyebut pula sensasionalisme sebagai tabloisasi, sebab praktik ini memang mulanya lekat dengan tabloid sebelum ia ditiru oleh media massa yang bekerja untuk fakta.
Berkembangnya tren sensasionalisme juga tidak terlepas dari terintegrasinya media dengan sistem pasar, dimana pemilik modal harus mendapatkan sebanyak mungkin audiens untuk memperoleh profit. Semakin tinggi jumlah penonton, pembaca, dan pendengar, semakin tinggi pula keuntungan yang bisa terakumulasi. Sensasionalisme, kemudian menjadi salah satu cara ampuh untuk mendukung tercapainya tujuan tersebut.
Lantas, berkaca dari bagaimana media meliput Afifah Riyad, Cut Intan Nabila, dan selebriti lainnnya, bagaimana cara kerja sensasionalisme di dalam pemberitaan seputar kekerasan ranah personal yang mambawa nama pesohor atau selebriti?
Cara Pertama: Mengeksploitasi Kisah Kekerasan
Di dalam pemberitaan kekerasan ranah personal yang melibatkan pesohor, sensasionalisme salah satunya terjadi dalam bentuk eksploitasi terhadap cerita kekerasan. Hal ini dilakukan dengan cara memanfaatkan detail demi detail peristiwa kekerasan untuk menciptakan berita yang terlihat lebih “menarik” di mata pembaca.
Pada konteks KDRT yang dialami Afifah Riyad misalnya, jamak ditemukan berita dengan judul bombastis yang ketika dibaca lebih lanjut ternyata hanya menonjolkan ulang foto luka-luka fisik yang didapatkan korban pasca mengalami penganiayaan. Sementara dalam kasus KDRT yang dialami Cut Intan Nabila, banyak pemberitaan yang sampai mendeskripsikan secara detail bagaimana pelaku menganiaya korban dan bahkan menayangkan ulang rekaman saat korban mengalami kekerasan.
Sebelum itu, gaya pemberitaan yang tidak jauh berbeda pernah lebih dulu merundung Lesti Kejora, selebriti yang mengalami dugaan kekerasan oleh pasangannya. Serupa dengan Cut Intan Nabila, kekerasan yang dihadapi Lesti sebelumnya pernah terdokumentasikan di dalam rekaman CCTV yang entah bagaimana tersebar secara publik. Media yang latah kemudian ramai-ramai menyebarkan ulang rekaman tersebut.
Cara memberitakan KDRT pesohor seperti di atas menyimpan masalah. Kegemaran media dalam mengeksploitasi detail-detail kekerasan bukan hanya menunjukkan minimnya empati terhadap korban, tetapi juga ketidakpedulian perusahaan media pada dampak traumatik lanjutan yang sangat mungkin dialami oleh korban, keluarga, maupun pembaca.
Cara Kedua: Menghilangkan Fokus Terhadap Kekerasan
Perilaku lain yang juga cukup banyak dipraktikkan media untuk membangun sensasionalisme adalah menghilangkan fokus terkait kasus atau dugaan terjadinya kekerasan. Hal ini dilakukan dengan menyajikan informasi-informasi yang tidak relevan dengan peristiwa kekerasan.
Dalam dugaan kekerasan yang dialami Afifah Riyad misalnya, tak sedikit media yang berfokus mengorek informasi pribadi dan keluarga korban, serta mengobjektifikasi foto-foto “cantik” miliknya. Hal yang sama tak terkecuali juga terjadi pada Cut Intan Nabila. Di berbagai portal media yang berbeda, banyak pemberitaan yang mengungkit kembali kiriman-kiriman lama media sosialnya, hingga meromantisasi kisah percintaan korban dengan pelaku.
Kebiasaan buruk ini bukan hal yang baru. Media sudah terlihat melakoninya bahkan sejak 16 tahun yang lalu, saat KDRT yang dialami oleh pesohor Manohara Odelia Pinot membanjiri layar pemberitaan. Saat ini, masih dapat ditemukan berita-berita lampau tentang Manohara yang membahas rumor pernikahan dini korban dengan pelaku, sampai status kebangsawanan keluarga korban.
Memberitakan topik-topik pemanis di luar konteks kasus kekerasan jelas tidak relevan dengan upaya memperjuangan korban, serta jauh dari kepentingan publik manapun. Lebih lanjut, praktik semacam ini juga berpotensi melangkahi beberapa kode etik jurnalistik.
Pasal 3 dari kode etik jurnalistik misalnya, salah satunya mewajibkan wartawan untuk tidak mencampurkan antara fakta dan opini yang menghakimi. Kemudian, pasal 9 juga mengatur wartawan untuk menghormati hak narasumber akan kehidupan pribadinya. Dengan menuruti logika sensasionalisme, secara tidak langsung media turut membuka ruang penghakiman terhadap korban dan pelaku, serta tidak menghormati kehidupan pribadi mereka.
Cara Ketiga: Mendramatisir Kasus Kekerasan
Cara terakhir yang juga digunakan untuk membangun sensasionalisme adalah mendramatisir peristiwa kekerasan. Kebiasaan ini dilakukan dengan cara menggambarkan kasus kekerasan sebagai drama konflik antar sesama selebriti semata.
Dalam konteks dugaan kekerasan yang dialami Afifah Riyad misalnya, banyak pemberitaan yang membingkai kasus tersebut sebagai drama saling menyalahkan atau tuduh menuduh antara korban dengan pelaku. Selain itu, terdapat pula berita yang malah memberi panggung bagi narasi-narasi netizen cenderung yang menyalahkan korban.
Sementara dalam kasus KDRT terhadap Cut Intan Nabila, beberapa media menyoroti latar belakang pasangan korban sebagai tukang hutang dan penyuka video porno, alih-alih fokus secara akurat menggambarkannya sebagai seorang pelaku kekerasan. Selain itu, komentar-komentar yang dilemparkan oleh sesama selebriti dan pesohor internet turut diberikan ruang pemberitaannya sendiri.
Kebiasaan mendramitisir kasus kekerasan seperti di atas tentunya bermasalah karena hanya mengecilkan pengalaman korban serta membuatnya semakin berada dalam situasi rentan. Tak hanya itu, perhatian publik yang seharusnya ditujukan untuk membela korban dan menyalahkan pelaku, menjadi teralihkan kepada cerita-cerita dramatik yang tidak seharusnya menjadi konsumsi publik.
Fokus pada Fakta & Pelan-pelan Kurangi Sensasi
Kekerasan ranah personal bisa terjadi pada siapapun, tidak terkecuali mereka yang berstatus sebagai pesohor atau selebriti. Penggunaan logika sensasionalisme dalam memberitakannya bukan hanya merugikan khalayak dan kerja jurnalisme, melainkan korban itu sendiri.
Afifah Riyad, Cut Intan Nabila, dan para korban lain pada akhirnya mengalami reviktimisasi, atau dengan kata lain menjadi korban yang kedua kalinya. Mereka adalah korban kekerasan berbasis gender sekaligus korban objektifikasi dan komodifikasi oleh industri media.
Hanya karena salah satu dari korban atau pelaku adalah pesohor, bukan berarti media berhak menjadikannya sebagai komoditas untuk dieksploitasi lewat pemberitaan yang berlebih dan dangkal; apalagi kalau tujuannya hanya untuk mengundang lebih banyak klik. Sebaliknya, media harus lebih sering mempertimbangkan cara peliputan yang lebih berpihak pada korban, dengan kualitas pemberitaan yang juga mengedukasi dan memberdayakan khalayak.
Sebagaimana meliput kasus kekerasan pada umumnya, berfokus pada fakta adalah kunci untuk menghasilkan pemberitaan yang adil. Berfokus pada fakta di sini dapat diterjemahkan dengan cara fokus menaruh perhatian pada kekerasan yang terjadi, dampak yang dialami korban, dan kejahatan yang dilakukan pelaku.
Namun, hal tersebut bukan berarti mengulang terus-menerus detail terjadinya kekerasan. Sebagai bentuk dukungan dan keberpihakan kepada korban, sekaligus bentuk pertimbangan atas dampak psikologis pembaca, gaya pemberitaan semacam ini justru perlu dibatasi.
Selain itu, fokus pada fakta juga berarti tidak mencampuradukan kasus kekerasan dengan berbagai cerita lain yang tidak berelasi dengan semangat melindungi korban dan penanganan kekerasan, terlebih jika kehadirannya hanya meramaikan dramatisasi dan berujung pada pelanggaran privasi terhadap orang-orang di sekitar lingkaran kekerasan. Kehidupan pribadi, cerita masa lalu, serta komentar-komentar dari sesama selebriti atau warganet yang tidak relevan lebih baik mendapatkan lebih sedikit ruang pemberitaan.
Kemudian, media juga perlu memanfaatkan pemberitaan kekerasan pada pesohor sebagai sarana pendidikan publik. Media dalam hal ini bisa mengkomunikasikan isu-isu yang sering terabaikan dalam wacana kekerasan berbasis gender, seperti tips mengakses dukungan pemulihan bagi korban, kebijakan penanganan kekerasan yang belum adil bagi korban, persoalan struktural yang melegitimasi terjadinya kekerasan, dan sebagainya.
Di sisi lain, akan sangat baik apabila perusahaan media juga menginisiasi standar pemberitaan yang adil dan inklusif untuk peristiwa kekerasan berbasis gender, diiringi dengan peningkatan kapasitas kepada sumber daya manusia terkait isu kekerasan dan perspektif gender. (mario)c