“Dengan demikian, kemanusiaan adalah laki-laki dan laki-laki mendefenisikan perempuan bukan sebagai dirinya, namun sebagai kerabatnya; perempuan dianggap bukan sebagai makluk yang mandiri… Ia didefenisikan dan dibedakan dengan referensi laki-laki dan bukan laki-laki dengan referensi perempuan; ia merupakan makhluk yang tercipta secara kebutulan, mahluk tidak esensial yang berlawanan dengan makhluk esensial. Laki-laki adalah sang Subjek, sang Absolut–perempuan adalah Sosok yang Lain.”
Adalah kalimat dari tulisan seorang filsafat eksistensial yang terkenal dengan pemberontakannya meletakkan pilar-pilar utama dalam mempertanyakan posisi dan kondisi perempuan ditengah dominasi patriarki. Simone de Beavior mengajak pembaca dalam refleksi panjang tentang siapa sebenarnya perempuan, apa tujuan menjadi perempuan dan seperti apa kehidupannya dalam catatan sejarah dan anatomi manusia. Pikiran kritisnya tertuang dalam buku berjudul ‘Second Sex’ tahun 1949, lalu menyebar seperti kobaran api membakar kesadaran dan perjuangan perempuan hingga kini.
Puluhan tahun berlalu dan perjuangan perempuan telah berakar sampai ke seluruh belahan bumi. Perjuangan tersebut tumbuh dalam beragam bentuk untuk menyuarakan ketimpangan yang dialami tiap perempuan terutama perempuan kulit berwarna dengan ragam latar belakang. Perempuan-perempuan terpelajar kulit hitam di Amerika beberapa tahun kemudian, bersuara lantang mengulas tajam gerakkan pembebasan perempuan di Barat yang didominasi kepentingan lingkaran sosial tertentu. Mulai dari pendidik, penulis, hingga orator pun dipenuhi perempuan kulit hitam untuk menyadarkan ketimpangan berlapis yang tidak pernah menjadi perhatian feminis sebelumnya. Pada tahun 1989, pendidik perempuan kulit hitam yakni Kimberle Crenshaw mengeluarkan istilah baru dalam tulisannya ketika membongkar lapisan kekerasan yang dialami perempuan-perempuan Afrika-Amerika.
Selang beberapa tahun, istilah ‘Interseksionalitas’ pun meledak digunakan sebagai kerangka berfikir untuk menguraikan jenis-jenis ketidakadilan pada perempuan minoritas dan mendorong babak baru perjuangan perempuan dalam penegakkan hak. Kimberle Crenshaw menawarkan interseksionalitas atas dasar penemuannya pada pengalaman perempuan kulit hitam di Amerika, konsep tersebut telah mengalami adaptasi dan menjadi pegangan untuk perempuan di seluruh dunia. Interseksionalitas pertama kali digunakan untuk memetakan diskriminasi ras dan gender lalu meluas hingga ke berbagai lapisan. Crenshaw kembali menjelaskan interseksionalitas merupakan titik temu kelompok-kelompok sosial seperti ras, gender, kelas, dan seksualitas yang digunakan sebagai kacamata untuk membongkar kekerasan berlapis dalam sistem.
Perkembangan dalam perjuangan feminis membuktikan bahwa suara para perempuan semakin kritis dan lantang seiring perubahan zaman. Pencapaian kesetaraan gender dan penghapusan kekerasan tidak akan teraktualisasi tanpa pembebasan dari diskriminasi di berbagai kelompok sosial. Tokoh perempuan kulit hitam, seperti bell hooks gencar menyuarakan isu lintas kelompok sosial termasuk diskriminasi ras yang selalu menghantui perempuan kulit hitam. Permasalahan lapisan identitas perempuan minoritas sering tidak dihiraukan oleh gerakkan pembebasan, sehingga terkesan bahwa perempuan minoritas dan kulit hitam dimarginalkan atau pengalaman kekerasan mereka dianggap tidak penting.
Berdasarkan pengamatan dan riset panjang akan pengalaman perempuan kulit hitam, bell hooks (1982) memaparkan perempuan kulit hitam mengalami ketidakadilan baik dalam kesehariannya maupun dalam kelompok anti-diskriminasi. Perempuan kulit hitam dan minoritas secara historis mengalami kekerasan akibat dominasi kolonialisme, patriarki dan supermasi putih. Hal tersebut mengakibatkan status kedudukannya dalam hirearki sosial berada pada tempat paling rentan, dalam artian mudah menjadi target eksploitasi. Pada sisi lain, kelompok anti-diskriminasi masih sering melihat suatu isu dari kacamata personal yang ekslusif, seperti feminis kulit putih dan anti-rasis yang terpusat pada laki-laki. Akibatnya, perempuan kulit hitam terpaksa tidak melibatkan diri secara konsisten atau hanya fokus pada satu isu pembebasan.
Beberapa tahun kemudian perempuan kulit hitam hanya dihadapkan dengan dua pilihan yaitu; memilih atau mengorganisir kempok pembebasannya sendiri. Bersamaan dengan itu, peran gender dan stereotip masih terus menghantui langkah keputusannya saat berusaha membuktikan diri sebagai manusia. Stigmatisasi terhadap identitas tertentu di masyarakat begitu marak dan sistematis sampai memasuki alam bawah sadar secara kolektif, menonaktifkan daya berfikir kritis. Ketidakmampuan berfikir logis ini menguatkan realita yang sudah dikondisikan oleh golongan sosial tertentu, akhirnya membentuk suatu lingkaran ketimpangan yang kompleks. Dalam konteks ini lagi-lagi perempuan dengan identitas tertentu yang terperangkap dalam kekerasan interseksional. Bak jatuh tertimpa tangga, setelah secara historis mengalami persekusi, perempuan juga harus menanggung dampak psikologis.
Rantai pengucilan dan kekerasan menimbulkan sikap penyangkalan dan rendah diri pada perempuan. Dalam artikel mengenai kesenjangan diri dijelaskan bahwa seseorang rentan merasakan cemas, takut, marah dan putus asa ketika beban atau harapan terhadap diri sendiri tidak tercapai (Higgins, 1987). Ekspektasi yang dibebankan oleh lingkungan sosial tidak jarang diberlakukan dengan paksaan secara sistemik, beban tersebut menyingkirkan fakta bahwa tiap individu memiliki pengalaman dan impian berbeda. Moral standar untuk menyeragamkan masyarakat pun diterima dan jika seseorang tidak bisa memenuhi maka secara otomatis menerima konsekuensi. Higgins (1987) menyatakan semakin sering mengalami kesenjagan maka seseorang semakin rentan merasa bersalah, memojokkan diri, dan sulit menerima diri.
Perempuan cenderung dihantui perasaan bersalah dan dilemma karena dorongan untuk menginternalisasi moral dan standar secara intens–menyampingkan sifat autentiknya sebagai manusia. Perempuan mengalami alienasi dari keunikan identitas dan harapan personal untuk memenuhi peran gender sehingga tubuh dan identitasnya terikat kuat dengan kesejahteraan unit sosial, seperti keluarga. Pada sisi lain, perempuan dengan lapisan identitas tertentu bukan hanya mengalami alienasi dari satu sudut tapi juga lapisan lain karena masih dipandang inferior oleh masyarakat (Sokoloff, 2005).
Beberapa penelitian menemukan relasi antara kekerasan berbasis gender dengan permasalahan kesehatan mental berat seperti depresi, gangguan ingatan jangka pendek, dan masalah kognitif lainnya (Garcia, dkk 2021). Rikhotso, dkk (2023) turut menemukan perasaan tidak berguna, masalah regulasi emosi, dan bahkan perilaku mengisolasi diri. Mengenai perempuan dengan ragam identitas dalam kekerasan interseksional ditemukkan isu seperti malu dengan tubuh sendiri, gangguan pola makan, depresi dan tendensi bunuh diri (Forbes, 2023).
Perempuan Indonesia sendiri dengan beragam kultur, ras, kelas, dan identitas lainnya tentu menghadapi kekerasan gender yang relatif berbeda dari satu daerah ke daerah lain. Hamdy, dkk (2022) menjelaskan pemetaan kekerasan terhadap perempuan di Indonesia perlu menggunakan kerangka interseksonal supaya mendorong kesadaran yang bermakna. Perempuan di area pedesaan harus menghadapi budaya patriarki, ketimpangan sosioekonomi, dan tingkat pendidikan rendah. Sedangkan perempuan di wilayah urban mengalami ketimpangan dunia kerja, fasilitas kota tidak ramah gender, dan sebagainya.
Interseksionalitas dibutuhkan untuk menyatukan ragam isu sosial dan respon untuk menciptakan lingkungan inklusif, sebagai konsekuensi dari perubahan sikap dan nilai masyarakat. Dalam penerapannya perlu dilakukan penyadaraan kritis akan hak istimewa dan membuka membuka dialog untuk mendiskusikan isu di tiap sektor (Anggaun, 2012). Kerangka ini pun dapat diterapkan dalam dunia konseling untuk pendampingan korban dan pemulihan, dapat menciptakan ruang aman dan nyaman untuk korban kekerasan. Melatih sensitivitas dalam komunitas agar terus memperjuangkan akhir kekerasan berbasis gender. (christien)
Referensi
Beavior, de S. (2014). Second Sex: Fakta dan Mitos. Narasi: Yogyakarta
Crenshaw, K.(1989). Mapping the Margins: Intersectionality, Identity Politics, and Violence aganist Women of Color. Stanford Law Review. 43(6). 1241-1299.
Hooks, bell. (1982). Ain’t I a Woman: Black Women and Feminism. Pluto Press: London
Higgins, E. T. (1987). Self-Discrepancy: A Theory Relating Self and Affect. Psychological Review. 94(3). 319-340.
Sokoloff, J. Natalie & Dupont, I. (2005). Domestic Violence at Intersection of Race, Class, and Gender: Challenges and Contribution to Understanding Violence Against Marginalized Women in Diverse Communities. Sage Publication. 11(38). 39-64.
Torres García, A. V., Vega-Hernández, M. C., Antón Rubio, C., & Pérez-Fernández, M. (2021). Mental Health in Women Victims of Gender Violence: Descriptive and Multivariate Analysis of Neuropsychological Functions and Depressive Symptomatology. International journal of environmental research and public health, 19(1), 346. https://doi.org/10.3390/ijerph19010346
Rikhotso, R., Netangaheni, T. R., & Mhlanga, N. L. (2023). Psychosocial effects of gender-based violence among women in Vhembe district: A qualitative study. The South African journal of psychiatry : SAJP : the journal of the Society of Psychiatrists of South Africa, 29, 2012. https://doi.org/10.4102/sajpsychiatry.v29i0.2012
Forbes, N., Yang, L. C., & Lim, S. (2023). Intersectional discrimination and its impact on Asian American women’s mental health: A mixed-methods scoping review. Frontiers in public health, 11, 993396. https://doi.org/10.3389/fpubh.2023.993396
Hamdy, K. M & Hudri, M. (2022). Gender Based Violence: The Relationship of Law and Patriarchy in Indonesia. Empati: Jurnal Ilmu Kesejahteraan Sosial. 11(2). 73-85.
Anggaunitakiranantika. (2022). Memahami Intersektionalitas dalam Keberagaman Indonesia: Tinjauan dalam Siosiologi Gender. IJESED Indonesian Journal of Sociology, Education, and Development. 4(1). 48-55.