Ketika melihat anak kelas 4 SD yang masih kesulitan membaca, bahkan kesusahan untuk membedakan huruf ‘d’ dan ‘b’. Atau masih sering terbalik membedakan angka ‘9’ dan ‘6’, kira-kira, apa yang akan dikatakan oleh masyarakat? ‘Anak bodoh’ dan ‘malas’, mungkin adalah label yang akan mereka berikan kepada anak tersebut.
Padahal, jika ditelisik lebih jauh. Anak ini bisa saja mengalami disleksia, yang menyebabkan ia kesulitan dalam mengenal bentuk-bentuk huruf dan angka. Anak yang menderita disleksia, seharusnya mendapatkan perhatian lebih dari lingkungannya. Namun, stigma ‘anak bodoh’ kepada penderita disleksia justru sering kali dilontarkan yang malah memperparah keadaan sang anak. Padahal, banyak penelitian ilmiah yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara IQ dengan disleksia. Artinya, anak yang mendertia disleksia tidak bodoh, seperti stigma masyarakat kebanyakan.
Profesor Odegard, yang merupakan seorang psikolog kognitif di Middle Tennessee State University, menyebutkan bahwa ia masih terus berjuang untuk meningkatkan kesadaran dan stereotip negatif masyarakat tentang disleksia. Ia menyebut bahwa stereotip dan stigma tersebut masih ada hingga sekarang.
Pandangan buruk terhadap anak disleksia membuat anak merasakan dirinya sebagai seorang yang ‘aneh’ dan ‘berbeda’ dari teman sebayanya. Pandangan negatif tersebut juga bisa memicu bullying di sekolah karena keyakinan bahwa ‘ada sesuatu yang salah dengan mereka’ terus terinternalisasi. Hal ini berdampak pada kesulitan sosial-emosional yang dapat berlanjut hingga dewasa. Selain itu, stigma buruk tersebut juga berkontribusi terhadap harga diri yang rendah pada anak-anak disleksia.
Perasaan tertinggal dari teman sebaya pada anak disleksia semakin diperburuk dengan adanya stigma yang memicu kekerasan verbal. Anak-anak disleksia merasa rendah diri di sekolah dan sangat membutuhkan dukungan dari orang tua mereka. Namun, karena kurangnya pemahaman di masyarakat tentang gangguan disleksia pada anak, membuat para orang tua turut melakukan kekerasan. Mereka ikut menjadi pelaku yang melabeli sang anak dengan kalimat-kalimat yang semakin memperburuk kondisi mental anak.
Wolf, dalam makalahnya yang berjudul Annals of Dyslexia (2024), menyebut bahwa anak-anak disleksia sama berbakatnya seperti teman sebayanya yang lain. Namun, mereka menjadi disabilitas hanya dalam konteks lingkungan yang melumpuhkan (Tanaka, 2011).
Oleh sebab itu, dukungan lingkungan sangat penting bagi anak penderita disleksia. Stereotip dan stigma negatif terhadap anak yang kesulitan membaca di masyarakat harus ditiadakan agar anak berkembang sesuai dengan fitrah mereka. Kondisi pada anak disleksia bukanlah sesuatu yang fatal, sehingga banyak intervensi yang bisa dilakukan untuk meningkatkan kemampuan membaca anak-anak disleksia.
Melabeli anak disleksia sebagai anak yang ‘berbeda’ dari teman sebayanya akan memperparah kondisi mental anak. Mereka bisa merasakan cemas dan juga depresi akibat kekerasan verbal yang terus didengar. Anak disleksia juga layak mendapatkan dukungan seperti anak-anak lainnya agar harga diri dan motivasi mereka juga meningkat. Dengan demikian, mereka akan keluar dari kondisi sulit dan tumbuh menjadi anak yang berprestasi dengan cara mereka sendiri. Hal tersebut tentunya akan terwujud dibarengi dengan kesadaran masyarakat tentang kondisi anak disleksia dan memberikan dukungan pada mereka. (yeni)
Referensi
Annals of Dyslexia (2024 )
Emily Sohn, Untangling dyslexia myths and misconceptions, Vol. 55 No. 6, 2024
Haft, SL, et al., Journal of Learning Disabilities , Vol. 56, No. 3, 2023
Schwartz, AE, et al., Journal of Policy Analysis and Management , Vol. 40, No. 2, 2021
Tanaka, H., et al., Psychological Science , Vol. 22, No. 11, 2011