Ilustrasi menunjukkan kondisi kelas. Anak anak sedang belajar dengan berbagai perlengkapan mengajar seperti buku dan globe. Terdapat guru perempuan yang menerangkan sesuatu ke mereka dengan buku dan papan tulis.

“Tolong dimaklumi ya Nassher dan teman-teman, mereka begitu karena keluarganya broken home” ucapan wali kelas saya di bangku SMA masih terus teringat hingga usia saya menginjak 23 tahun. Penyampaiannya pelan, sembari mengelus punggung tangan saya, dengan kata lain saya diminta memaklumi perilaku menyimpang dari segerombolan anak laki-laki yang sedang pubertas.

Barangkali saya tak sendiri, ada banyak peristiwa sama di mana guru-guru sebagai dewasa yang memiliki kuasa serta kemampuan untuk mengurai kekerasan justru melakukan pembiaran. Kemungkinan untuk melihat bahwa anak laki-laki “wajar” berbuat nakal saya pikir seperti tumor yang menempel pada banyak kepala-kepala tenaga pendidik lainnya. Kemampuan saya mencerna apa yang dilakukan gerombolan berandal berseragam putih abu-abu itu dulu sebatas bullying, hingga masa pendewasaan menyadarkan saya bahwa hal tersebut adalah bentuk kekerasan.

Berdasarkan data real time yang diakses pada website Kementerian Perlindungan Perempuan dan Anak dalam SIMFONI-PPA yang diinput sejak 1 Januari 2024 mendapati pelaku kekerasan dengan gender laki-laki sebanyak 88,8%. Dan pulau Jawa menempati angka yang tinggi dibuktikan dengan angka peta yang berwarna orange gelap.

Gambar peta menunjukan persebaran kekerasan di Indonesia yang merujuk dari SIMFONI-PPA. Data menunjukkan pulau jawa, pulau sumatera, dan daerah Indonesia timur memiliki tingkat kekerasan yang tinggi

Data persebaran kekerasan di Indonesia. Sumber : SIMFONI-PPA

Faktor kultural yang mengakar dalam bidang pendidikan tidak sejalan dengan jaminan yang diberikan negara dalam  Undang-undang nomor  20  tahun  2003  tentang  Sistem  Pendidikan Nasional,  bahwa  pendidikan  adalah  usaha  sadar  dan  terencana  untuk  mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan   spiritual   keagamaan,   pengendalian   diri,   kepribadian,   kecerdasan,   akhlak   mulia   dan keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat,  bangsa dan negara.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Hazler (2001) menemukan bahwa guru-guru kurang memperhatikan bentuk agresi yang sifatnya memberikan kerugian secara sosial dan emosional dibandingkan dengan kerugian fisik. Meski begitu, bentuk bullying dan kekerasan tak hanya dalam bentuk perilaku yang memberi luka fisik saya, psikis juga termasuk di dalamnya.

Walau saya sendiri tak mengalami cedera fisik, tidak mungkin apa yang saya alami kurang lebih 2 tahun tak berdampak apa-apa. Tentu rasa ini juga dialami oleh banyak anak lainnya sebagai korban di usia pelajar dari kekerasan rekan sebaya bahkan kakak tingkatnya. Hingga hari ini, saya masih marah. Marah pada gerombolan laki-laki tersebut dan guru-guru saya yang tak berarti apa-apa saat saya menjadikan mereka tempat mengadu. Sosok dewasa tempat pulang untuk menjadi sandaran saat proses belajar dimulai dan berakhir, menjadi benteng paling kuat untuk melanggengkan perilaku semena-mena.

Dalam kasus ini, guru memiliki banyak kelemahan seperti ketidakmampuan untuk melihat akar masalah dan normalisasi, bahkan pengetahuan yang minim mengenai kekerasan mendorong korban terpukul dua kali lebih berat. Sebagai proses pembentukan seseorang menuju humanisasi, pendidikan harus peka terhadap hal-hal yang berpotensi bahkan nampak jelas menyakiti. 

Setelah saya pernah menjalani pekerjaan sebagai tenaga pendidik selama satu tahun, tentu saja saya sempat berpikir. “Memang mungkin para guru-guru saya dahulu tak tahu bagaimana menangani kekerasaan, karena mereka sendiri adalah korban kekerasan sistem, beban berat dalam kantor, hingga tuntutan sosial yang tinggi untuk dapat digugu dan ditiru” begitu batin saya mencoba berdamai dengannya. Tetapi, meski usaha saya untuk dapat mengerti posisi berat sebagai tenaga pendidik, prasangka tersebut tak dapat melepaskan sebuah kemampuan dasar yang wajib dipahami oleh seorang guru. 

Keterampilan guru untuk dapat menganalisa hingga menangani adanya kekerasan dan bullying pada anaknya adalah hal yang perlu ditingkatkan, terlebih angka kekerasan yang dilakukan pada anak di bawah umur terus merangkak naik. Walau faktor adanya bullying dapat dikarenakan banyak hal seperti keluarga, pergaulan, hingga lingkungan, pendidikan tentu punya peran strategis untuk membentuk karakter anak. Sifat agresif anak sendiri sudah dapat terlihat sejak anak-anak, pembentukan dan pengawasan yang baik harus ketat dilakukan, khususnya mengenai apa yang anak anggap benar atau salah di titik ini menuju pendewasaan. Sedangkan penelitian (Damba & Luh, 2022) menghasilkan temuan bahwa pengetahuan guru di jenjang Taman Kanak-kanak berada di angka 40% mengenai bullying. Angka tersebut masih jauh dari harapan setelah dukungan penelitian pada guru-guru di jenjang Sekolah Dasar cenderung setuju dan mendukung perilaku bullying (Andi & Karisma, 2018).

Masalah utamanya barangkali bukan mengenai profesinya, melainkan apa yang juga sudah diwarisi pada guru-guru dari orang tuanya sendiri, pengajarnya di masa lalu, hingga lingkungan yang membabi buta mengurung kesetaraan. Sosok yang tumbuh dewasa dengan struktur sosial timpang, kini berkarir dan mendidik anak-anak. Kira-kira sampai kapan warisan ini diturunkan untuk mencapai generasi emas? (firdha)

REFERENSI

Andi & Karisma (2018). Gambaran Tentang Sikap Guru Terhadap Bullying di Kota Depok. Biopsikososial. 2 (1). 80.

Damba & Luh (2022). Survei Pengetahuan Guru Mengenai Tindakan Bullying di Taman Kanak-Kanak. Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini Undiksha. 10 (2). 3-7.

Republik Indonesia. 2003. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Sekretaris Negara Republik Indonesia. 2003. Jakarta. kekerasan.kemenppa.go.id. 1 Januari 2024. Diakses pada 18 Oktober 2024. https://kekerasan.kemenpppa.go.id/ringkasan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *