Mendapatkan pendidikan merupakan hak semua warga Negara yang sudah diamanatkan dalam Undang-undang Dasar 1945. Tetapi ternyata sampai saat ini kita masih menemukan adanya diskriminasi dalam pemenuhan hak tersebut.
Seperti yang baru-baru ini dikeluarkan oleh Dinas Pendidikan Jawa Timur, DPRD dan Walikota Jawa Timur, yaitu larangan mengikuti Ujian Nasional bagi siswi yang hamil. Dasar pelarangan tersebut adalah bahwa siswi hamil dianggap telah melanggar norma, mencemarkan nama baik sekolah dan juga dianggap sebagai tindakan kriminal. Bahkan beberapa Kepala sekolah dengan tegas menyatakan bahwa siswi hamil dapat dianggap tidak lulus karena salah satu kriteria kelulusan adalah penilaian budi pekerti.
Jelas sekali bahwa argumentasi pelarangan tersebut hanya mendasarkan pada logika moralitas yang sempit dan diskriminatif, menganggap seolah-olah siswi yang hamil terlepas dari sistem pendidikan dan pengajaran yang ada di sekolah. Padahal semua perilaku pelajar pasti terkait dengan pola pendidikan dan pengajaran yang diterima.
Selain itu pelarangan keikutsertaan dalam UN pada siswi hamil juga seringkali hanya ditujukan pada korban, sedangkan pelaku yang menghamili akan lolos dari larangan tersebut. Sehingga, tidak hanya melanggar hak pendidikan siswa, larangan mengikuti Ujian Nasional juga syarat dengan diskriminasi terhadap perempuan.
Larangan mengikuti Ujian Nasional bagi siswi hamil tidak hanya terjadi di Jawa Timur, namun juga masih banyak ditemukan di daerah lain. Di DI Yogyakarta sendiri, data yang dikumpulkan oleh PKBI DIY tercatat ada dua pelajar SMA yang dilarang mengikuti Ujian Nasional tahun 2012 ini karena hamil. Dan data yang riil pasti lebih banyak lagi seiring angka pernikahan dini yang disebabkan kehamilan tidak diinginkan yang terus naik di DIY dan selama ini solusi yang ditawarkan bagi pelajar yang mengalami kehamilan tidak diinginkan adalah menikah. Solusi tersebut tentu saja memaksa remaja untuk menjadi dewasa sebelum waktunya dan memutus hak pendidikan remaja tersebut.
Data Susenas dari Badan Pusat Statistik Propinsi DIY tahun 2009 menunjukkan perempuan yang menikah usia di bawah 16 tahun di Daerah Istimewa Yogyakarta sekitar 8,74% dengan prosentase terbesar di Kabupaten Gunungkidul (15,40%) diikuti oleh Kabupaten Sleman (7,49%). Prosentase tersebut meningkat pada tahun 2010 menjadi 10,81% dengan prosentase terbesar di Kabupaten Gunungkidul (16,24%), diikuti oleh Kabupaten Kulonprogo (10,81%) dan Kabupaten Sleman (9,12%). Data dari Kantor Pengadilan Agama Bantul juga menunjukkan permohonan dispensasi nikah di Bantul tahun 2008 mencapai 70 pasangan, tahun 2009 sebanyak 82 pasangan, tahun 2010 meningkat menjadi 115 pasangan, dan sampai bulan Oktober 2011 sudah melonjak menjadi 135 pasangan. Di Kabupaten Kulon Progo, data dari Kementrian Agama menunjukkan jumlah pasangan yang menikah karena hamil terus mengalami peningkatan. Pada tahun 2006 angkanya 9,9 %, tahun 2007 meningkat menjadi 13,32%, tahun 2008 kembali turun menjadi 10,24 persen dan pada 2009 mengalami peningkatan tajam mencapai 13,45%.
Kasus siswi hamil atau kehamilan tidak diinginkan di kalangan pelajar tidak dapat dilihat secara sempit hanya persoalan moralitas, tetapi harus dilihat secara komprehensif dari segala aspek. Kehamilan tidak diinginkan mayoritas disebabkan oleh diabaikannya hak kesehatan reproduksi remaja oleh Negara. Negara tidak memberikan akses pada remaja untuk mendapatkan informasi yang benar mengenai kesehatan reproduksi dan seksual sehingga remaja akhirnya mendapatkan sendiri informasi tersebut dari sumber yang tidak tepat. Juga sistem pendidikan yang belum menempatkan siswa sebagai subyek juga membuat pelajar tidak memiliki konsep diri dan tidak mampu membuat keputusan-keputusan yang tepat dan bertangungjawab. Dan jangan juga menutup mata bahwa banyak kasus Kehamilan Tidak Diinginkan (KTD) juga disebabkan oleh faktor kekerasan seksual, seperti perkosaan.
[dropcap]D[/dropcap]isinilah pentingnya pendidikan kesehatan reproduksi dan seksual komprehensif diajarkan di sekolah, tidak semata-mata untuk mencegah perilaku seksual berisiko, namun juga untuk menciptakan remaja yang memiliki konsep diri dan mampu mengambil pilihan yang tepat dan bertanggungjawab serta mendorong adanya perspektif kesetaraan sehingga kekerasan seksual dapat dihindarkan.
Dengan melihat hal tersebut, maka Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Propinsi DIY menyatakan:
- Mendesak agar siswi hamil tetap diperbolehkan mengikuti Ujian Nasional, karena pendidikan adalah bagian dari Hak Asasi Manusia yang harus dipenuhi tanpa diskriminasi.
- Mendesak Kementrian Pendidikan mengeluarkan kebijakan untuk tetap memberikan hak pendidikan bagi siswi hamil tanpa diskriminasi.
- Menuntut diberikannya pendidikan kesehatan reproduksi dan seksual di sekolah sebagai pemenuhan hak remaja dan pencegahan perilaku seksual berisiko.
- Menuntut dilibatkannya remaja dalam setiap pengambilan keputusan.