Gambar menunjukkan tumpukan sampah di tong sampah

“Kita dapat belajar dari Tempat Pembuangan Sampah Akhir (TPA) yang merupakan puncak peradaban manusia […] Mereka akan berkumpul begitu saja untuk berseru tentang kapan waktu yang tepat untuk membunuh tuannya (manusia), entah kapan pun di saat kita mulai mengabaikannya begitu saja.” 

Kutipan dari Rangga Kala Mahaswa dalam “Hauntologi Sampah: Sebuah Pengantar Memahami Bumi Manusia” (2024).

Sampah dan Manusia

Secara definisi, sampah merupakan hasil akhir dari aktivitas manusia yang sudah tidak memiliki fungsi dan nilai guna. Dalam masyarakat modern, sampah merupakan entitas yang muncul dari proses produksi dan konsumsi. Hal ini menyatakan bahwa kemunculan sampah tidak dapat dihindarkan dari aktivitas manusia itu sendiri. Meskipun demikian, sering kali sampah tidak dianggap, dan dienyahkan begitu saja oleh manusia.

Permasalahan sampah di berbagai tempat selalu berfokus pada tumpukan sampah yang mengganggu aktivitas dan kesehatan manusia serta estetika ruang. Tanpa disadari, ketakutan akan tumpukan sampah tersebut dapat menimbulkan konflik antar masyarakat dengan munculnya ketegangan yang saling membatasi wilayah pembuangan sampah. Berawal dari hal tersebut, permasalahan sampah akan merambat ke berbagai aspek kehidupan, mulai dari kesehatan masyarakat, lingkungan, sosial, budaya, ekonomi, hingga politik.

Sampah dan manusia memiliki hubungan yang terikat dan saling memengaruhi satu sama lain. Permasalahan sampah beserta dampaknya tidak akan muncul akibat ulah manusia itu sendiri. Kerakusan sekelompok manusia dalam produksi dan konsumsi, tanpa memperdulikan kelestarian lingkungan dan kesejahteraan masyarakat lain, akan menghadirkan “kiamat” bagi dunia seisinya.

Ilusi Benda dan Konsumerisme

Dalam dunia modern hari ini, produksi yang dilakukan oleh berbagai perusahaan semakin mudah dengan adanya teknologi dan alat canggih. Perkembangan ini memungkinkan produksi suatu benda dengan jumlah produksi banyak dalam waktu singkat. Marx dalam “Capital: Volume 1” (1887) melihat hal ini sebagai strategi kapitalis dalam mengaburkan realitas sosial dengan nilai tukar dari komoditas yang dihasilkan. Kondisi ini menciptakan sebuah ilusi bahwa benda memiliki nilai yang terpisah dengan kerja-kerja manusia. Sedangkan dalam konsep konsumsi, fenomena ini dapat dilihat dari pola konsumtif masyarakat secara masif tanpa memperlihatkan ‘realitas sosial’, yaitu dampak lingkungan dan sosial dari konsumsi tersebut. Adapun, sampah yang lahir dari konsumsi ini sering kali diabaikan begitu saja, seolah-olah tidak memiliki dampak terhadap lingkungan dan masyarakat.

Konsumsi yang berlebihan sangat menguntungkan bagi kapitalisme dalam mendapatkan surplus dan akumulasi kapital. Di sisi lain, sisa produksi dan konsumsi dalam skala besar turut menciptakan sampah dengan volume besar pula, yang hal ini dibebankan kepada lingkungan dan kelompok masyarakat rentan (masyarakat miskin dan rural). Masyarakat rentan tersebut harus menerima konsekuensi dari tumpukan sampah yang timbul, mulai dari kenyamanan dalam menjalankan aktivitas, kesejahteraan sosial, penurunan kualitas kesehatan, hingga konflik antar masyarakat yang berdampak pada budaya dan politik.

Ilusi benda memperkuat pola konsumsi yang tidak berkelanjutan, di mana barang-barang diproduksi, dikonsumsi, dan dibuang dalam siklus yang cepat dan tidak bertanggung jawab. Sebagai contoh, semakin banyak produksi komoditas yang digunakan sekali pakai, yaitu barang-barang yang berbahan dasar plastik; botol, kantong, gelas, sendok, dan garpu plastik; bungkus stirofoam; dan lain sebagainya. Semua barang tersebut hanya digunakan satu kali demi terjaminnya higienitas. Padahal, sampah-sampah tersebut tergolong dalam sampah yang sulit terurai, yang menyebabkan menurunnya tingkat “higienitas” lingkungan. Tak hanya itu, meluapnya sampah akibat konsumerisme juga memperdalam ketimpangan sosial, dimana kelompok masyarakat rentan harus menanggung beban sampah yang dihasilkan dari konsumsi, yang kemungkinan tidak berasal dari barang yang mereka nikmati.

Fenomena krisis ini pernah diangkat dalam sebuah film animasi berjudul “Wall-E” (2008) yang menunjukkan kondisi bumi sudah tidak dapat ditinggali oleh manusia akibat aktivitas monopoli dan penciptaan ilusi benda oleh perusahaan bernama Buy N’ Large (BNL). Secara implisit, Axiom, sebuah kapal angkasa buatan BNL, menunjukkan upaya dalam memaksa praktik konsumerisme kelompok orang kaya yang telah memiliki privilese sejak lahir. Alur cerita ini tegas dalam menceritakan strategi kapitalisme mampu melakukan pengendalian terhadap konsumsi manusia serta melakukan penindasan melalui sistem dan narasi demi akumulasi modal dan keberlanjutan bisnis.

Kesadaran atas Kewajiban terhadap Sampah 

Film “Wall-E” (2008) memuat salah satu pesan yang sangat berarti bagi kesejahteraan masyarakat dan keberlanjutan lingkungan. Masyarakat perlu melawan pengendalian yang dilakukan oleh sistem kapitalisme perusak lingkungan, Axiom yang mendorong konsumerisme dan ketidakpedulian terhadap sekitar bagi penumpangnya. Spirit perlawanan ini perlu dihadirkan dalam diri masyarakat demi menyelamatkan bumi dari kehancuran akibat sampah. Tentu saja, spirit ini perlu didorong melalui aksi nyata, mulai dari pembatasan konsumsi barang sekali pakai, pemilahan dan pengolahan sampah, hingga perlawanan terhadap sistem kapitalisme yang overproduktif, eksploitatif, dan represif dalam konsumerisme tidak bertanggung jawab.

Permasalahan sampah tidak akan muncul jika setiap individu memiliki kesadaran dan tanggung jawab untuk mengelolanya. Minimnya peran dan apresiasi yang diberikan oleh pemerintah juga memberikan situasi keterasingan masyarakat terhadap pengelolaan sampah. Selama ini, pemerintah bertindak teknis dengan mengeluarkan berbagai kebijakan, seperti pembatasan sampah masuk TPA, penambahan kapasitas TPA, dan pemberian kuasa pada TPS untuk mengolah sampahnya secara mandiri. Pemerintah hanya berfokus pada mitra dalam pengolahan sampah, tanpa melihat masyarakat, atau setiap individu di dalamnya, sebagai subjek penting dalam pengolahan sampah. Hal ini yang menyebabkan setiap kebijakan mengenai pengelolaan sampah tidak berjalan dengan baik dan optimal.

Pemerintah perlu melakukan pembagian kekuasaan dan tanggung jawab kepada setiap individu dan kelompok masyarakat untuk ikut andil dalam pengelolaan sampah secara kolektif. Konsep ini menekankan bahwa setiap individu dan kelompok masyarakat memiliki peran aktif dan berdaya dalam pengambilan keputusan, pengawasan, dan pelaksanaan pengelolaan sampah. Strategi mikro seperti ini juga memerlukan seperangkat agenda makro, yaitu perubahan struktural dan sistemik melalui pendekatan yang lebih inklusif, demokratis, dan berkelanjutan. Selain itu, pengelolaan sampah harus mengedepankan aspek keadilan dan keberlanjutan lingkungan. 

Poin penting dalam pengelolaan sampah adalah, jangan biarkan hanya masyarakat rentan yang melakukan aktivitas sirkular dalam agenda mengubah sampah yang tidak bernilai menjadi komoditas kreatif dan baru secara sirkular. Sedangkan, masyarakat kaya tetap melakukan fetisisme produksi dan konsumerisme secara ugal-ugalan. Permasalahan sampah adalah krisis yang selama ini dipandang sebelah mata. Selama ini, pemerintah tidak serius dalam menetapkan regulasi tentang pengolahan sampah. Tidak ada pembatasan aktivitas produksi, yang mana hal ini sangat berdampak pada luapan sampah di TPA. Pemerintah hanya melakukan strategi teknis yang tidak berdampak terhadap intensitas sampah yang muncul. Langkah ini hanya memperburuk kondisi lingkungan dan sosial, khususnya kepada masyarakat rentan. Dengan demikian, sampah bukan hanya masalah teknis yang memerlukan solusi dalam bentuk teknologi atau infrastruktur, tetapi juga masalah sosial yang memerlukan pendekatan luas dan berkeadilan. Penyelesaian masalah sampah harus melibatkan semua pihak dan mempertimbangkan dampaknya secara keseluruhan, baik dari segi lingkungan, kesehatan, sosial, budaya, maupun politik. (rindiksentrup)

DAFTAR PUSTAKA

Marx, K. (1969). Capital: Volume 1. Moscow: Progress Publisher.

Mahaswa, R. K. (2024, Juli 12). Hauntologi Sampah: Sebuah Pengantar Memahami Bumi Manusia. Mahaswa’s Thought. https://mahaswa.wordpress.com/2024/07/12/hauntologi-sampah/

Pop Culture Detective. (2017, November 21). WALL·E as sociological storytelling. Pop Culture Detective. https://popculturedetective.agency/2017/wall-e-as-sociological-storytelling 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *