Normalisasi kelakar “autis” dan “idiot” dengan gestur tubuh yang menunjukkan disabilitas sering saya jumpai di tongkrongan-tongkrongan anak muda, bahkan sekolah formal pada umumnya. Ketika saya berjalan-jalan di beberapa sekolah, banyak yang menganggap bahwa kata tersebut merupakan suatu candaan atau humor belaka tanpa mengindahkan adanya tendensi bullying di dalamnya. Sebenarnya, istilah “idiot” memiliki berbagai arti dan persepsi. Secara medis, “idiot” mirip dengan “down syndrome” atau “Savant syndrome”, yaitu seseorang yang memiliki keterbelakangan mental dengan IQ yang rendah atau cacat secara intelektual (yankes.kemenkes, 2023). Namun, tetap memiliki perbedaan dengan “Savant syndrome” atau autisme, yaitu seseorang yang memiliki kesulitan dalam interaksi dan komunikasi akibat kelainan pada perkembangan saraf otak (WHO, 2023). Kedua definisi tersebut sangat jelas menggambarkan “keistimewaan” yang dimiliki oleh segelintir individu. Jengkelnya, masih banyak yang menggunakan “autis” dan “idiot” sebagai cemoohan, hinaan, dan candaan kepada sesama teman.
Biasanya, candaan “autis” dan “idiot” yang disertai dengan gestur kaki dan tangan yang tidak normal muncul ketika mereka sedang mengobrol mengenai hal-hal aneh atau atas tindakan asal yang dilakukan. Pada waktu SMA, saya melihat segerombolan teman yang sedang asik-asiknya bermain game, tiba-tiba ada seseorang yang selebrasi dengan melakukan gerakan kaku-kaku; kepala dimiringkan; dan bersuara “eeh eeh eeh” ke arah teman-temannya. Sontak hal tersebut menuai tawa diantara mereka dan menyorakinya dengan kata “idiot” dan “autis” sebagai penggambaran atas tindakan mereka. Tidak hanya itu, di sekolah, mereka yang melakukan gerakan tersebut dipanggil dengan sebutan “idiot”. Namun, mereka tidak marah karena memang sengaja melakukan hal yang dilakukan oleh anak berkebutuhan khusus sebagai bahan guyonan sehari-hari.
Kondisi menormalisasi adanya tindakan bullying menggunakan ciri-ciri difabel dengan dalih candaan menjadi salah satu kunci penting untuk menggambarkan sejauh mana inklusivitas yang ada dalam pendidikan itu diterapkan. Jika tindakan ini dibiarkan dan dianggap sebagai hal yang biasa, bahkan banyak yang ikut tertawa ketika ada yang menirukan anak autis atau idiot karena dianggap sebagai suatu hal yang lucu, artinya institusi pendidikan telah gagal untuk menciptakan lingkungan yang saling menghormati dan menanamkan nilai-nilai empati. Di sisi lain, perilaku menirukan atau membuat candaan dalam konteks disabilitas juga dapat masuk ke ranah verbal abuse and harassment, dimana para pelaku biasanya menggunakan kata-kata atau tindakan yang merendahkan fisik dan mental orang tertentu. Komisi Nasional (Komnas) Perempuan mencatat, sepanjang tahun 2022 terdapat 79 kasus kekerasan terhadap penyandang disabilitas (komnasperempuan, 2023). Namun, jumlah kasus tersebut dianggap belum dapat menggambarkan realitas sebenarnya. Sebab, kasus-kasus pelecehan verbal terhadap penyandang disabilitas, seperti bentuk “lelucon” atau “candaan”, biasanya tidak dilaporkan atau diselesaikan dengan serius dan berakhir pada pada penerimaan atau sebatas permintaan maaf. Ini menunjukkan bahwa perlindungan terhadap disabilitas, khususnya di lingkungan sekolah belum secara maksimal dilakukan.
Berbagai kondisi ini secara berkelanjutan membangun stigmatisasi yang buruk dalam ranah pendidikan. Anak autis dan idiot digambarkan sebagai orang yang tidak bisa melakukan apa-apa. Lebih parahnya lagi, autis dan idiot diidentikkan dengan lelucon-lelucon yang mengarah pada perilaku konyol dan bodoh. Padahal, banyak juga dari mereka yang memiliki keterampilan yang tidak semua orang miliki. Buktinya, sudah banyak teman-teman autis yang go internasional; atau teman-teman down syndrome (idiot) yang memiliki keterampilan lebih di bidang-bidang tertentu (Ansori, 2021). Bahkan, beberapa dari anak autis juga dikatakan sebagai orang yang jenius. Bisa jadi lebih jenius dari kita, loh! Makannya, kita tidak boleh mendiskriminasi melalui tindakan-tindakan bullying yang dapat membangun stigma buruk terhadap penyandang disabilitas. Semua anak itu memiliki hak yang sama atas interaksi sosial, perlindungan, dan juga infrastruktur, terlepas dari karakteristik masing-masing. Salah satu upaya nyata untuk mewujudkan sekolah yang inklusif adalah prinsip GEDDSI. GEDDSI sendiri merupakan kegiatan yang sensitif terhadap gender equality; disability; diversity; and social inclusion; serta safeguarding. Prinsip ini memungkinkan para siswa untuk peka terhadap keberagaman yang dimiliki oleh masing-masing siswa. Apabila dilakukan secara terus menerus, diharapkan dapat menumbuhkan kepekaan sosial yang ada dalam diri siswa secara keseluruhan. (najzeela)
REFERENSI
Ansori, Al. “Sempat Disebut Idiot, Penyandang Autisme Ini Ikuti Berbagai Karnaval UntukBuktikan Potensi Diri.” Liputan6.com, Liputan6, 13 July 2021, www.liputan6.com/disabilitas/read/4604176/sempat-disebut-idiot-penyandang-autisme-ini-ikuti-berbagai-karnaval-untuk-buktikan-potensi-diri. Accessed 3 Sept. 2024.
Kementerian Kesehatan. “Direktorat Jenderal Pelayanan Kesehatan.” Kemkes.go.id, 2023, yankes.kemkes.go.id/view_artikel/2040/kenali-tanda-dan-gejala-anak-dengan-retardasi-metal. Accessed 3 Sept. 2024.
Komisi Nasional Perempuan. “Siaran Pers.” Komnas Perempuan | Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, 2023, komnasperempuan.go.id/siaran-pers-detail/siaran-pers-komnas-perempuan-tentang-hari-disabilitas-internasional-2023#:~:text=Catatan%20Tahunan%20(CATAHU)%202023%20Komnas%20Perempuan%20mencatat. Accessed 3 Sept. 2024.World, World Health Organization. “Autism.” Who.int, World Health Organization: WHO, 15 Nov. 2023, www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/autism-spectrum-disorders?gad_source=1&gclid=CjwKCAjwiaa2BhAiEiwAQBgyHgoJdrkt2eCF07dPKzWLOJNlZOSepRFdB8G67FRMx5Jd70Swe790NBoCnDsQAvD_BwE. Accessed 3 Sept. 2024.