“Kenapa harus aku yang menjadi korban? Aku, kan, jelek tidak pernah menggunakan make-up. Aku, kan, tidak pernah menggoda dia. Aku selalu berpakaian tertutup. Aku malu dengan semuanya.”
Demikian kutipan pernyataan korban pemerkosaan yang dilakukan oleh Subchi Azal Tsani, alias Bechi, berdasarkan artikel Project Multatuli (2022). Korban merupakan santriwati yang mengemban pendidikan di Ponpes Shiddiqiyyah, Jombang. Ada lima santriwati lainnya yang mengalami kekerasan seksual oleh pelaku yang sama. Korban mengalami pelecehan seksual, kekerasan psikologis (pemaksaan, ancaman), pemerkosaan hingga demonisasi. Tidak hanya berhenti sampai sana, tak sedikit orang yang mendukung Bechi dan justru merepresi korban, melabelinya dengan sebutan pelakor dan hinaan-hinaan lainnya (Project Multatuli, 2022). Kasus Bechi yang mencuat di media merupakan puncak gunung es dari kekerasan seksual yang bercokol dalam sistem pendidikan di Indonesia. Satu dari sekian banyak kasus lain, yang mana lainnya terpaksa harus diam dalam ratap dan penderitaan sebagai korban kekerasan seksual.
Sepanjang tahun 2015-2020 kekerasan seksual menjadi kategori dalam jenis-jenis kekerasan pada anak dengan jumlah kasus tertinggi. Kekerasan yang muncul sebagian besar terjadi di lingkungan pendidikan (Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan, 2020). Data ini juga didukung berdasarkan dokumen dari Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA), yang mana terdapat 3.547 aduan kasus kekerasan terhadap anak yang telah diterima. Lebih dari setengahnya, yaitu 1.915 kasus, merupakan kasus kekerasan seksual. Sebanyak 30% kasus kekerasan terhadap anak dari total aduan kasus terjadi di lingkungan sekolah (Muhamad, 2023).
Menurut Komnas PA (2020), data yang diperoleh hanya sebagian kecil dari realita jumlah kasus yang terjadi di lapangan. Hal ini disebabkan oleh kasus-kasus kekerasan di lingkungan pendidikan yang umumnya tidak diadukan/dilaporkan. Kondisi ini menghadirkan pertanyaan besar atas bagaimana sistem pendidikan kita bekerja sementara terus mereproduksi kekerasan dan menempatkan siswa menjadi kelompok rentan.
Sebanyak 72,1% korban kekerasan seksual yang diselesaikan di pengadilan berusia 6-18 tahun, sebagian besar korbannya adalah perempuan. Kekerasan di ranah publik, termasuk di sekolah, menempati posisi pertama dalam jumlah kekerasan terhadap perempuan (Indonesia Judicial Research Society, 2022). Relasi kuasa yang timpang baik dalam aspek gender maupun jabatan struktural memperburuk situasi ini. Kondisi ini selaras dengan sistem pendidikan di Indonesia yang mengadopsi struktur hirarkis, menempatkan siswa pada bagian terbawah dari piramida. Siswa menjadi objek yang terjebak dalam komunikasi satu arah di ruang kelas, menjadi aktor pasif yang wajib mematuhi perangkat sekolah. Siswa menjadi kelompok yang tak berdaya dalam struktur yang memiliki otoritas untuk mengarahkan tindakannya. Sayangnya, struktur tersebut dikerjakan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab, dalam hal ini adalah sekolah-sekolah yang melanggengkan bentuk kekerasan dalam praktiknya, termasuk kekerasan seksual
Struktur sekolah yang mengkerdilkan siswa mempersempit angka pelaporan kekerasan seksual di sekolah. Sebanyak 93,4% korban kekerasan seksual tahu kemana mereka harus melapor. Meskipun demikian, hanya terdapat 42,6% yang melakukan pelaporan. Sebanyak 33,5% menyatakan bahwa mereka merasa takut untuk melapor sedangkan lainnya merasa malu (29%), tidak tahu melapor kemana (23,5%) dan merasa bersalah (18,5%) (Indonesia Judicial Research Society, 2022). Kondisi ini tentu tidak mengejutkan ketika melihat bagaimana sikap masyarakat terhadap korban kekerasan seksual. Serupa dengan kasus Bechi, sebagian besar pelaku kekerasan seksual akan menyangkal kekerasan yang mereka lakukan dan justru menyerang korban. Menempatkan korban kekerasan dalam posisi yang kian rentan dalam tekanan berlapis.
Kekerasan seksual dalam sistem pendidikan di Indonesia merupakan kanker yang bersifat korosif terhadap masa depan bangsa ini. Patologi yang mengendap-endap di antara bangku generasi penerus bangsa yang tak kunjung diracik obatnya. Proses para siswa untuk bermimpi, mengeksplorasi dan berjuang atas pendidikan mereka justru menjadi sasaran empuk bagi pelaku kekerasan seksual di sekolah. Aktor skala mikro dari level sekolah hingga Kementerian Pendidikan nampak enggan menuntaskan persoalan yang terjadi berdasarkan jumlah kasus kekerasan seksual yang terus bertambah. Sanksi terhadap pelaku kekerasan seksual di sekolah cenderung diberikan ketika atensi publik turut mengawal penyelesaian kasus. Institusi pendidikan tak berpihak kepada korban karena sebagian besar pelaku ditindak setelah korbannya yang kesekian.
Angka kekerasan seksual di sekolah merupakan indikator gagalnya sistem pendidikan di Indonesia untuk memberikan akses pendidikan yang layak pada warganya. Angka ini juga menunjukkan kegagalan aktor-aktor yang ditengarai tengah mendidik generasi penerus bangsa tetapi justru menjadi pelaku kekerasan seksual. Angka ini adalah bukti bahwa negara tengah menjegal peradaban bangsa, menghancurkan masa depan generasi yang akan melanjutkan estafet perjuangannya. Angka kekerasan seksual di sekolah mengungkap persoalan struktural yang mengakar pada sistem pendidikan negara ini. Hal ini menunjukkan bahwa sistem hanya bekerja bagi mereka yang mendominasi, menempatkan siswa sebagai aktor utama pendidikan dalam kerentanan yang berkepanjangan.
Kesadaran atas gentingnya kondisi dunia pendidikan saat ini seharusnya menjadi katalisator atas perombakan struktur yang tidak berpihak pada siswa. Masalah ini adalah persoalan struktural. Mulai dari sistem pendidikan, lembaga pendidikan, aktor pendidikan hingga budaya dan praktiknya. Dibutuhkan keseriusan dari semua pihak untuk menyelesaikan persoalan ini. Gerakan lintas sektor yang terkonsolidasi diperlukan untuk menyelesaikan kekerasan seksual di sekolah sampai ke akar-akarnya. Meskipun penulis merekognisi masalah ini sebagai masalah struktural, penulis tidak menegasikan fakta bahwa masalah ini juga dapat diselesaikan di level yang lebih mikro. Individu, perangkat sekolah, komunitas siswa, hingga aktivitas belajar-mengajar itu sendiri dapat menjadi awal mula dari pengentasan kekerasan seksual di sekolah. Setiap lembaga, setiap kelompok hingga setiap individu dapat menjadi aktor dalam memerangi kekerasan seksual. Pembentukan lembaga pendampingan bagi korban kekerasan seksual, sosialisasi, sex education, kampanye anti kekerasan seksual, hingga pemberian sanksi tegas terhadap pelaku merupakan upaya nyata yang memiliki dampak signifikan untuk mewujudkan sistem yang adil dan memiliki keberpihakan. Selama pelaku kekerasan seksual masih ada, ratap penyintas masih bergema, dan keadilan terus dikoyak, maka tulisan-tulisan seperti ini akan tetap ada, upaya untuk melawan hal itu akan tetap lestari. (gloria)
References
Ihsan, D. (2023, February 21). 10 Kekerasan Seksual Terjadi di Sekolah pada 2023, 86 Anak Jadi Korban. KOMPAS.com. Retrieved July 18, 2024, from https://www.kompas.com/edu/read/2023/02/21/060400271/10-kekerasan-seksual-terjadi-di-sekolah-pada-2023-86-anak-jadi-korban
Indonesia Judicial Research Society. (2022, Maret). Data dan Fakta Kekerasan Seksual di Indonesia 2021. Retrieved Juli 18, 2024, from https://ijrs.or.id/wp-content/uploads/2022/04/Data-dan-Fakta-Kekerasan-Seksual-di-Indonesia-2021-8-Apr-2022.pdf
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan. (2020, Oktober 27). Lembar Fakta. KEKERASAN SEKSUAL DI LINGKUNGAN PENDIDIKAN.
Muhamad, N. (2023, December 29). Komnas PA: Ada 3.547 Kasus Kekerasan Anak 2023, Terbanyak Kekerasan Seksual. Databoks. Retrieved July 18, 2024, from https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2023/12/29/komnas-pa-ada-3547-kasus-kekerasan-anak-2023-terbanyak-kekerasan-seksual
Project Multatuli. (2022, November 4). ‘Saya adalah Korban Bechi. Kasus ini Seharusnya Menjadi Kasus Kekerasan Seksual Sistemik Ponpes Shiddiqiyyah’. Project Multatuli. Retrieved July 18, 2024, from https://projectmultatuli.org/saya-adalah-korban-bechi-kasus-ini-seharusnya-menjadi-kasus-kekerasan-seksual-sistemik-ponpes-shiddiqiyyah/
Sugandi, A. T. (2022, Juli 12). Korban Bechi: Disiksa, Diperkosa, Disekap, Dituduh PKI. detikNews. Retrieved July 18, 2024, from https://news.detik.com/x/detail/investigasi/20220712/Korban-Bechi:-Disiksa,-Diperkosa,-Disekap,-Dituduh-PKI/