Stigma “Malas Mandi” Sebagai Awal Refleksi Kritis pada Ketimpangan Akses Sanitasi dan Kekerasan Anak

Stigma “Malas Mandi” Sebagai Awal Refleksi Kritis pada Ketimpangan Akses Sanitasi dan Kekerasan Anak

Tak dapat dipungkiri, penampilan rapi yang disertai berbagai peralatan sekolah unik dengan karakter kartun kesukaan anak-anak ikut mendorong semangat bersekolah dan berkontribusi pada pengalaman belajar yang menyenangkan dan menarik bagi mereka. Di sisi lain, muncul stigma “malas mandi” yang sering kali disematkan kepada anak-anak yang terlihat kurang bersih atau rapi di sekolah. Ironisnya, tidak sedikit individu atau keluarga yang mengalami kesulitan dalam memperoleh air bersih mungkin tidak dapat mandi secara teratur seperti yang diharapkan dalam norma-norma sosial. Hal ini dapat membuat mereka dianggap sebagai “malas” mandi, padahal masalahnya sebenarnya adalah aksesibilitas terhadap sumber daya. 

Kebutuhan dasar manusia akan air harus dipenuhi untuk mencapai keberlanjutan kehidupan sesuai dengan prioritas. Oleh karena itu, prinsip ekonomi harus diterapkan secara lebih intensif dan andal untuk penggunaan air dan pengelolaannya harus mengupayakan  sistem pasokan air yang fleksibel dan efisien secara maksimal. Menurut laporan dari UNICEF (2020), jutaan anak di seluruh dunia masih menghadapi tantangan besar dalam mengakses air bersih dan fasilitas sanitasi. Di Indonesia, data dari Badan Pusat Statistik (2021) menunjukkan bahwa sekitar 15% rumah tangga di daerah pedesaan tidak memiliki akses terhadap fasilitas sanitasi yang memadai. Kondisi ini menyebabkan anak-anak dari keluarga kurang mampu sering kali datang ke sekolah tanpa mandi atau membersihkan diri dengan baik, bukan karena mereka malas, tetapi karena keterbatasan sumber daya yang mereka miliki.

Stigma “malas mandi” ini tidak hanya menciptakan rasa malu dan isolasi sosial bagi anak-anak, tetapi juga dapat berkontribusi pada kekerasan verbal dan fisik di sekolah. Penelitian oleh Save the Children (2019) menemukan bahwa anak-anak yang tampak kurang rapi atau bersih lebih mungkin menjadi target bully oleh teman sebaya mereka. Kekerasan ini dapat berdampak negatif pada kesehatan mental dan perkembangan psikososial anak. Ketimpangan akses sanitasi ini juga berhubungan erat dengan kesehatan fisik anak-anak. Studi yang diterbitkan di Journal of Public Health (2020) menunjukkan bahwa anak-anak yang tidak memiliki akses ke sanitasi yang baik lebih rentan terhadap penyakit menular seperti diare dan infeksi kulit. Penyakit-penyakit ini dapat menghambat kehadiran dan prestasi akademik mereka di sekolah, yang pada akhirnya memperburuk siklus kemiskinan dan ketidaksetaraan.

Partisipasi dan prestasi akademik anak-anak yang menurun tentu berimplikasi pada kemampuan mereka saat akan masuk dan bersaing di dunia kerja. Partisipasi anak-anak di sekolah tentu akan meningkatkan angka melek huruf yang mana kemampuan membaca dan menulis tersebut dapat menjadi kemampuan yang mendukung produktivitas mereka untuk mencari penghasilan sehingga dapat menurunkan kesenjangan pendapatan, kemiskinan, dan memberi dampak positif lain secara sosial (Budiono & Purba, 2020). Adanya persepsi mengenai “malas” mandi ini memang terkesan “sepele” dan menjadi hal biasa pada keseharian masyarakat. Pada titik ini menjadi penting itu menggunakan langkah kritis dalam melihat persepsi ini untuk menekankan sensitivitas berbagai kondisi dan konteks individu dalam masyarakat. 

Kita dapat mulai mengatasi ketimpangan akses sanitasi dan mengurangi kekerasan anak di sekolah dengan melihat stigma “malas mandi” sebagai titik awal refleksi kritis untuk mendorong perubahan positif yang berkelanjutan dalam masyarakat kita. Program pendidikan dan kesadaran harus ditingkatkan untuk menghilangkan stigma “malas mandi” dan menggantinya dengan pemahaman yang lebih empatik dan suportif. Edukasi mengenai pentingnya kebersihan dan akses sanitasi yang baik harus disampaikan tidak hanya kepada anak-anak, tetapi juga kepada orang tua dan komunitas secara keseluruhan. Salah satu upaya nyata telah dilakukan oleh PKBI DIY yang secara aktif melakukan berbagai inisiatif dan kegiatan holistik yang menargetkan penghentian kekerasan di tingkat individu, tetapi juga berusaha untuk menciptakan perubahan dalam budaya sekolah dan masyarakat yang mendukung di lingkungan belajar yang aman dan inklusif serta ketersediaan air bersih melalui program Peace for All. (marsya)

Referensi

Budiono, S, & Purba, JT (2020). Memerangi kemiskinan melalui partisipasi pendidikan dan air bersih pada kabupaten dan kota di indonesia. Media Ekonomi, e-journal.trisakti.ac.id. 

Badan Pusat Statistik. (2021). “Persentase Rumah Tangga dengan Akses terhadap Fasilitas Sanitasi yang Memadai.”

Save the Children. (2019). “Bullying in Schools: The Impact on Children’s Mental Health and Wellbeing.”

UNICEF. (2020). “Progress on Household Drinking Water, Sanitation and Hygiene 2000-2020: Five Years into the SDGs.”

Journal of Public Health. (2020). “Impact of Poor Sanitation on Child Health: A Study in Developing Countries.”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *