Pendidikan merupakan aspek penting dalam pertumbuhan dan perkembangan anak, mulai dari intelektual, emosional, spiritual, sosial, hingga karakter. Artinya, sekolah merupakan tempat latihan anak untuk menjadi apa yang mereka inginkan dan menghargai perbedaan. Namun, nyatanya, sekolah hanya menjadi tempat diskriminasi terhadap anak.
Kekerasan Anak dalam Perspektif Budaya
Anak adalah manusia pada umumnya, mereka memiliki hak untuk bermain dan belajar, serta mengekspresikan dirinya untuk mewujudkan impian yang ia miliki (Koesnan, 2005). Namun, masyarakat tidak melihat hak anak secara kompleks karena konteks sosial, budaya, dan ekonomi. Pandangan ini melahirkan sebuah paradigma dan cara berpikir masyarakat dalam melihat anak, seperti “anak bagaikan kertas putih” dan “anak bagaikan gelas kosong” yang harus diisi oleh orang yang lebih dewasa (Krisbiyantoro, 2008). Pandangan ini sangat merugikan anak sebagai seorang manusia karena anak hanya ditempatkan sebagai objek pembelajaran hidup, tanpa melihat kondisi, keinginan, keunikan, dan ide anak.
Pemosisian anak sebagai objek turut membenarkan segala praktik kekerasan terhadap anak dengan dalih “kebaikan untuk anak”. Terlebih lagi, objektifikasi anak semakin terlegitimasi dengan adanya seperangkat ‘aturan’ yang direpresentasikan oleh nilai dan norma budaya bahwa anak harus menurut kepada orang yang lebih tua (ibid). Sebut saja dalam sistem stratifikasi kelompok dalam budaya Jawa, dimana penghormatan terhadap kelompok yang lebih atas—dalam hal ini adalah umur—masih sangat kental. Dampaknya menempatkan anak sebagai kelompok umur paling bawah yang tidak memiliki otoritas dan kendali apapun atas tubuhnya. Mereka hanya bisa “sendiko dawuh” atas segala bentuk pengaturan dari orang yang lebih tua. Pada titik ini, anak tidak pernah didengarkan pendapat dan aspirasinya.
Anak tidak punya pilihan lain selain menerima. Apabila mereka tidak patuh terhadapnya, segala bentuk sanksi labeling negatif siap disematkan kepada mereka, misalnya nakal, durhaka, pemberontak, pembangkang, mbeling, dan lain sebagainya. Bahkan, demi “kebaikan untuk anak” orang yang lebih tua tidak segan-segan untuk melakukan tindakan kasar, baik secara fisik maupun non-fisik, sebagai bentuk “kepedulian dan kasih sayang” terhadap anaknya. Tanpa mereka sadari, tindakan emosional ini hanya memberikan luka batin terhadap anak, dimana hal ini akan mengganggu tumbuh kembang anak yang menjadikan mereka sebagai seorang penakut dan/atau pendendam, yakni pelaku kekerasan terhadap anak di masa depan.
Sekolah, Tempat Diskriminasi Anak
Sekolah merupakan salah satu tempat paling berpengaruh terhadap tumbuh kembang anak. Tempat untuk menimba ilmu ini berupaya dalam memgembangkan potensi dan bakat anak. Tentu saja, demi mencapai tujuan ini, anak memerlukan uluran tangan dari orang dewasa di sekolahnya, mulai dari guru, kepala sekolah, karyawan, satpam, seksi kebersihan, hingga penjual di kantin, karena merekalah yang berinteraksi dengan anak selama di sana dan merekalah yang akan memberikan pengaruh terhadap anak dalam artian “membangun” atau “mengecewakan” (Krisbiyantoro, 2008).
Penting untuk disadari bahwa anak perlu dibantu dalam mengekspresikan dirinya. Artinya, masyarakat tidak boleh melihat anak sebagai individu yang tidak mampu dan tidak memiliki kekuasaan untuk mengambil keputusan atau bertindak secara mandiri. Pandangan dan tindakan tersebut justru “mematikan” kemampuan kognitif dan keterampilan anak. Sayangnya, pandangan tersebut adalah realita sosial yang terjadi selama ini. Bahkan, sekolah juga menganggap anak sebagai objek ilmu, sedangkan guru adalah subjeknya. Hubungan seperti ini sangat berisiko bagi tumbuh kembang anak karena gaya pendidikan seperti ini cenderung menunjukkan sikap guru, sebagai pemilik wewenang struktural yang lebih tinggi, yang otoriter, terutama dalam memberikan ilmu itu sendiri. Gaya pendidikan seperti ini dijelaskan oleh Paulo Freire sebagai “pendidikan gaya bank”, dimana anak akan menerima seluruh informasi dan ilmu dari guru sesuai keinginannya, tanpa adanya proses interaksi yang intens (antidialogis).
Tanpa disadari, kondisi ini telah mendiskriminasi anak di sekolah. Pembelajaran antidialogis seperti ini hanya akan melahirkan anak yang miskin imajinasi, tumpul kreativitas, dan hilang keterampilannya untuk melihat perkembangan dunia secara kritis. Tak hanya itu, sistem kompetisi (ranking) dalam pendidikan juga turut memberikan dampak negatif terhadap anak. Tidak semua anak dapat mendapatkan ranking yang baik, bahkan banyak dari mereka berada di bawah standar nilai yang diberikan oleh kampus. Dampaknya, anak terus mengalami labeling negatif, seperti malas, bodoh, dungu, tolol, koclok, dan lain sebagainya. Pasalnya, atribusi seperti ini tidak hanya diberikan oleh guru saja, tetapi juga oleh teman sebayanya.
Anak yang semestinya dapat mengaktualisasi dan mengekspresikan diri pun tidak dapat melakukannya lagi akibat tekanan dan kekerasan psikis dari label negatif yang tersemat pada dirinya. Gaya pembelajaran yang telah menjadi budaya ini telah menimbulkan permasalahan mental pada anak, dimana anak cenderung akan menjadi seorang yang pemalu, pendiam, tidak ekspresif, tidak terbuka, bahkan lebih sering mengurung diri.
Selain diskriminasi tersebut, selama 5 tahun terakhir, data kekerasan terhadap anak yang dilaporkan kepada Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) terus mengalami kenaikan tajam, dimana pada laporan terakhir tahun 2023, jumlah korban mencapai 24.158 kasus (multiple case). Sedangkan, Komnas Perempuan menyebutkan bahwa lingkungan sekolah menjadi lokasi kedua paling banyak terjadi kekerasan terhadap anak (30%), setelah keluarga (35%). Sangat banyak kasus yang dilaporkan, mulai dari seksual, fisik, mental, hingga simbolik, dengan pelaku yang beragam pula, seperti teman sebaya dan guru. Data ini merupakan tamparan keras bagi institusi pendidikan.
Kurikulum Pendidikan, Relevankah?
Selama ini, negara berpikir bahwa kekerasan anak merupakan produk dari nihilnya peran negara terhadap institusi pendidikan. Pernyataan ini memang benar, tetapi tidak sepenuhnya benar. Negara telah mengesahkan pelbagai aturan hukum untuk melindungi hak-hak anak, khususnya di lingkungan sekolah, dari tindakan kekerasan yang mengancam. Tak hanya itu, negara juga mengubah bentuk kurikulum dengan cepat sesuai dengan tuntutan zaman, seperti peralihan kurikulum KTSP 2006, K13, dan Kurikulum Merdeka (Kurmer) yang berganti dalam waktu kurang dari dua dekade.
Tidak dapat dipungkiri bahwa kurikulum—mestinya—memiliki relevansi yang signifikan terhadap upaya dalam mengurangi tindakan kekerasan terhadap anak serta memberikan kepastian hak anak untuk mengekspresikan dirinya dengan bebas dan bertanggung jawab. Termasuk Kurmer yang berupaya dalam mendefinisikan ulang anak sebagai “kertas putih dengan tulisan samar”, dimana upaya ini telah memberikan sedikit otoritas anak terhadap aktualisasi dirinya. Akan tetapi, guru masih berperan sebagai subjek dominan dalam ruang kelas karena perannya “menebalkan tulisan samar” tersebut, bukan anak yang memainkan peran tersebut. Hal ini tentu saja menjadikan ruang belajar tetap terasa tidak menyenangkan, tidak kondusif dan sangat membosankan.
Realitas ini menjadi kritik terhadap institusi pendidikan bahwa perubahan kurikulum bukanlah jawaban yang benar terhadap permasalahan yang dihadapi oleh anak di sekolah. Kepala Bidang Advokasi Guru P2G, Iman Zanatul Haeri, menyebutkan bahwa implementasi Kurmer sampai sekarang hanya mengorbankan kebebasan guru dan anak, dimana guru dibebankan oleh tugas-tugas administrasi mandiri yang menyebabkan kelelahan dan kejenuhan atas beban profesi yang dipinggulnya, sedangkan anak dibingungkan dengan sinkronisasi Kurmer dengan keberlanjutan studi pasca kelulusan dari SMA/sederajat, fleksibilitas yang berdampak pada ketidakjelasan materi, dan dampak lain yang berimplikasi pada karakter anak. Hal ini menunjukkan adanya ketidaksiapan dari pihak pemangku kebijakan dalam realisasi Kurmer.
Alih-alih mengubah ulang kurikulum, negara perlu membuat sebuah ekosistem pendidikan yang menyenangkan, inklusif, humanis, anti diskriminasi dan kekerasan dengan menempatkan anak sebagai subjek dalam pendidikan itu sendiri, yakni melalui dialog dan interaksi interpersonal dengan berada dalam pengawasan guru. Dengan demikian, pembacaan dan riset mengenai pedagogi pendidikan naturalis-humanis perlu segera dikaji agar negara dapat segera melakukan evaluasi terhadap dinamika pendidikan di Indonesia. Penerapan pedagogi pendidikan naturalis-humanis melalui pembelajaran komprehensif dan holistik dapat mengembangkan pengetahuan dan keterampilan beserta karakter anak yang berlandaskan pada nilai-nilai sosial, emosional, dan lingkungan; tidak hanya berfokus pada tuntutan globalisasi dan dunia kerja.
Negara tidak perlu membuang-buang anggaran untuk membuat kurikulum baru karena melalui pendekatan pembelajaran yang naturalis, humanis, dan inklusif, masa depan pendidikan anak akan terbebas dari kekerasan dapat terjamin. Pendidikan mesti menjadi sarana menyenangkan dan menginspirasi bagi anak, bukan tempat yang membatasi, menekan, mengeksploitasi, bahkan menjadi lingkungan traumatis bagi anak. (Rindik Sentrup)
REFERENSI
Koesnoen, R. A. (2005). Susunan pidana dalam negara sosialis Indonesia. Jakarta: Sumur Bandung.
Krisbiyantoro, J. (2008). Kekerasan terhadap anak dalam perspektif pendidikan. Forum Ilmu Sosial, 35(1): 10-18.