Gambar menunjukkan tiga orang, yaitu anak perempuan, ibu, dan ayah. Ibu dan ayah sedang memarahi anaknya yang menunjukkan wajah khawatir.

Kekerasan seksual adalah segala bentuk tindakan atau perilaku yang berbahaya dan mengakibatkan kerugian baik secara fisik, psikologis, maupun seksual yang bisa terjadi pada individu atau kelompok. Menurut Undang-Undang No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, kekerasan seksual adalah segala bentuk tindakan atau perilaku merendahkan, menghina, menyerang, atau perbuatan lainnya terhadap tubuh, hasrat seksual seseorang, dan fungsi reproduksi dan dilakukan secara paksa, tidak sesuai dengan kehendak seseorang yang menyebabkan seseorang yang mengalami tidak dapat memberikan persetujuan secara bebas dan sesuai dengan keinginannya karena dalam proses kekerasan tersebut terjadi relasi kuasa, relasi gender yang dapat berakibat penderitaan atau kesengsaraan fisik, psikis, seksual, ekonomi, sosial, budaya, hingga politik. 

Kekerasan seksual pada anak masih tercatat memiliki peningkatan kasus. Menurut WHO (2021) 1 dari 3 anak di dunia pernah mengalami kekerasan seksual, angka ini menyebabkan dampak yang tidak terbatas dan penurunan kualitas hidup anak yang signifikan. Menurut KPAI kekerasan seksual pada anak merupakan keterlibatan anak dalam segala bentuk aktivitas seksual yang terjadi sebelum seseorang mencapai batasan umur tertentu yang ditetapkan oleh hukum sebuah negara yang bersangkutan dimana orang dewasa atau anak lain yang usianya lebih tua dianggap memiliki pengetahuan yang lebih dari anak dan memanfaatkannya untuk kesenangan seksual atau aktivitas seksual. Ada empat kategori utama kekerasan pada anak yaitu pengabaian dan penelantaran terhadap anak, kekerasan fisik, pelecehan dalam ranah psikologis, dan pelecehan seksual terhadap anak. 

Faktor yang menyebabkan kekerasan seksual kerap kali terjadi pada anak adalah karena anak dinilai memiliki kedudukan yang lebih rendah dan lebih lemah (relasi kuasa), serta rendahnya moralitas pelaku kekerasan seksual pada anak menjadi faktor kuat yang menyebabkan terjadinya kekerasan seksual terhadap anak. Sangat disayangkan, khususnya di Indonesia masih kerap ditemukan kasus kekerasan seksual terhadap anak yang dilakukan oleh anggota keluarga anak itu sendiri. Kekerasan seksual pada anak dalam lingkup domestik merupakan kekerasan dalam lingkup rumah tangga yang dilakukan oleh keluarga atau orang terdekat seperti ayah, ibu, adik, kakak, paman, kakek, kekerabatan, perkawinan maupun relasi intim dengan penyintas.

Menurut Catahu (catatan akhir tahun) Komnas Perempuan tahun 2023, sepanjang tahun 2022 menunjukkan kekerasan seksual pada perempuan merupakan kekerasan yang dominan terhitung 2.228 kasus atau dengan presentasi 38,21 persen dan dalam ranah personal, kasus kekerasan terhadap anak perempuan terhitung mencapai 725 kasus. Dalam media sosial hampir setiap hari ditemukan kasus kekerasan seksual terhadap anak baik anak perempuan maupun laki-laki yang dilakukan baik oleh ayah, ibu, paman, ataupun kakek dari anak yang menjadi korban itu sendiri. Bentuk kekerasan seksual pada anak juga sangat banyak, mulai dari obrolan mesum, ngintip anak saat mandi atau ganti pakaian, meraba bagian vital anak, video kekerasan, hingga memperkosa anak. Contoh kasus kekerasan seksual pada anak dalam lingkup domestik adalah kasus ibu muda yang membuat video bersama anak laki-laki nya dengan tujuan mendapatkan uang (2024), dan kasus seorang laki-laki yang sudah bercerai dengan istrinya mencabuli ketiga anaknya (2021).

Rendahnya moralitas dan kesadaran pelaku kekerasan seksual terhadap anak membuat mereka tidak memikirkan dampak yang akan terjadi pada korban ketika mereka melakukan kekerasan seksual. Dampak yang akan terjadi diantaranya adalah traumatis dan depresi yang berkepanjangan sehingga dapat menghambat keberlangsungan hidup korban. Penanganan kekerasan seksual yang terjadi pada anak juga dinilai lebih sulit karena terjadinya relasi kuasa antara pelaku dan korban. Pelaku biasanya memiliki kedudukan lebih tinggi dari korban dan mempunyai kuasa terhadap korban seperti nafkah dan juga pengurusan terhadap korban, seperti ayah, ibu, kakek, kakak, paman, bibi atau bahkan adik yang memiliki kontrol atas korban. Korban diancam untuk tidak berbicara tentang apa yang terjadi dan jika berbicara sekalipun banyak orang yang meragukan karena dinilai omongan anak tidak benar dan hanya mengada-ada. Tidak sedikit yang melakukan victim blaming terhadap korban karena menganggap korbanlah yang memiliki andil paling besar terhadap kejadian kekerasan seksual yang menimpanya. 

Dampaknya, kekerasan seksual yang terjadi pada anak menjadi masalah yang kompleks, keluarga yang seharusnya menjadi garda terdepan perlindungan terhadap anak justru menjadi unit yang paling dihindari atau paling menakutkan untuk korban kekerasan seksual. Hal yang dapat dilaksanakan guna menanggulangi kekerasan seksual dalam lingkup domestik pada anak adalah meningkatkan kesadaran masyarakat terutama orang tua terhadap kekerasan seksual terhadap anak. Menuntut masyarakat yang berinteraksi dengan anak untuk lebih peka terhadap gerak-gerik keluarga anak yang dapat dinilai mencurigakan. 

Diperlukan juga penanganan serius oleh aparat dan penegak hukum untuk memproses segala bentuk kekerasan seksual terhadap anak sehingga dapat membuat efek jera terhadap pelaku, dan pendampingan terhadap korban untuk pemulihan psikologis dan perlindungan yang serius.

Meskipun sudah ditetapkannya UU TPKS tetapi menurut data dari Siaran Pers Komnas Perempuan dalam Merespon Dua Tahun Pelaksanaan UU TPKS yang dikemukakan oleh Maria Ulfah bahwa sepanjang hampir dua tahun pasca pengesahan UU TPKS, Komnas Perempuan masih mendapati hambatan korban TPKS dalam mengakses keadilan dan pemulihannya. Penanganan dan penyelesaian kasus TPKS yang tidak diselesaikan dengan menggunakan UU TPKS. Penyelesaian didorong dilakukan melalui penyelesaian di luar pengadilan, pemberian ganti kerugian dari pelaku menghentikan kasus TPKS, pelaku tidak diberhentikan di tempat kerja, tuduhan pencemaran nama baik, permintaan uang untuk transportasi pemeriksaan terlapor dan perlakuan yang tidak nyaman dalam pemeriksaan korban. 

Sebagai bagian dari masyarakat kita juga harus menjadi masyarakat yang peduli terhadap kasus kekerasan seksual terhadap anak, jangan menjadi masyarakat yang tidak peduli dengan keadaan menyimpang dan menganggap bahwa ini bukan kepentingan, memerangi dan peduli isu kekerasan seksual terhadap anak adalah salah satu bentuk penyelamatan generasi serta menyelamatkan banyak hidup anak-anak yang memiliki segudang potensi untuk membangun negeri. (shania)

References

Napitulu, S. P., & Sihotang, H. (2023). Dampak Kekerasan Seksual dalam Kehidupan SosialdanStrategi Penanganan Kasus Kekerasan Seksual. Jurnal Pendidikan Tambusai, 7(3), 31692-31702.

Probosiwi, R., & Bahransyaf, D. (2015). PEDOFILIA DAN KEKERASAN SEKSUAL: MASALAH DAN PERLINDUNGAN TERHADAP ANAK. Jurnal Sosio Informa, 1(1), 20-40.

Rahman, A., & Urbayatun, S. (2022). KAJIAN LITERATUR KEKERASAN SEKSUAL PADA ANAK LAKI-LAKI. Jurnal Sosio Informa, 8(2), 131-156.

Sarianti, B., & Hangabei, S. M. (2021). FAKTOR YANG MELATARBELAKANGI TERJADINYA KEKERASAN SEKSUAL PADA ANAK DALAM LINGKUNGAN KELUARGA. Jurnal IDEA, 16(41), 21-33.

Lembar Fakta. Catatan Tahunan Komnas Perempuan Tahun 2023. Kekerasan terhadap Perempuan di Ranah Publik dan Negara: Minimnya Perlindungan dan Pemulihan (https://komnasperempuan.go.id/download-file/949

Siaran Pers Komnas Perempuan dalam Merespon Dua Tahun Pelaksanaan UU TPKS Tahun 2024. Membangun Pengetahuan, Menyinkronkan Kebijakan dan Mendokumentasikan Pengalaman Perempuan Korban TPKS. (https://komnasperempuan.go.id/download-file/1094

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *