Gambar menunjukkan dua orang perempuan sedang mengejek perempuan lain

Stigmatisasi masih menjadi problematika yang harus dihadapi oleh anak-anak dengan disabilitas. Laporan analisis yang dipublikasikan oleh UNICEF (2023) menyebutkan bahwa anak-anak dengan disabilitas di Indonesia, terlebih mereka dengan disabilitas psikososial, masih sering mendapat stigma di masyarakat. Anak-anak dengan disabilitas ini kerap dieksklusikan dengan penyematan label-label negatif yang mereduksi kemampuannya. Tak jarang juga, mereka dianggap sebagai sebuah ‘anomali’ oleh lingkungan sekitarnya sehingga membuatnya semakin terkucilkan dalam masyarakat. Praktik ini telah berjalan dalam jangka waktu yang panjang serta terjadi secara multi-level, mulai dari institusi sosial di tingkat mikro yaitu keluarga hingga yang makro seperti halnya pendidikan. Dengan kata lain bahwa produksi dan reproduksi wacana yang mendegradasikan kemampuan anak-anak dengan disabilitas merupakan masalah mengakar pada masyarakat kita. Stigmatisasi ini berimplikasi buruk pada kehidupan anak-anak dengan disabilitas secara luas dalam berbagai aspek.

Salah satu kerugian utama yang harus ditanggung oleh anak-anak dengan disabilitas atas stigmatisasi masyarakat adalah absennya pemenuhan hak-hak kehidupan yang seharusnya mereka dapatkan. Sebagaimana dengan hak-hak anak yang diatur secara yuridis oleh negara, anak-anak dengan disabilitas berhak untuk memperoleh akses terhadap fasilitas kesehatan, mendapat kesempatan untuk menempuh pendidikan di bangku sekolah, serta berpartisipasi di ruang-ruang publik. Adanya stigma-stigma ini membatasi ruang gerak anak-anak dengan disabilitas sehingga membuat mereka ada dalam posisi rentan di masyarakat. 

Di satu sisi, stigma ini melekatkan label tertentu yang kemudian berimplikasi terhadap konstruksi identitas pada anak-anak dengan disabilitas beserta keluarganya selaku lingkar terdekat dari anak. Kondisi ini tak jarang menghasilkan anggapan dari orang tua bahwa anaknya adalah ‘aib’ yang harus disembunyikan keberadaannya. Praktik pengurungan di rumah akibat keengganan keluarga untuk membawanya ke dunia luar membuat anak-anak dengan disabilitas kesulitan untuk mengakses fasilitas kesehatan maupun pendidikan. Di sisi lainnya, stigma ini menimbulkan diskriminasi dari masyarakat sehingga anak-anak dengan disabilitas tereksklusi secara sosial. “Kalau tidak bisa berjalan jangan sekolah”, perundungan verbal ini diterima Nana dari kakak kelasnya ketika ia duduk di bangku kelas 1 SD, peristiwa itu meninggalkan bekas mendalam dan memupus keinginan Nana untuk bersekolah karena dirinya merasa tersingkirkan (Project Multatuli, 2022). Alhasil, anak-anak dengan disabilitas terbentur oleh stigma-stigma yang kian menjauhkannya dari hak-hak untuk memperoleh kebutuhan dasarnya tersebut. Yang juga perlu digaris bawahi adalah perolehan akses ini berupa yang paling minimum sebab nyatanya fasilitas yang telah ada pun masih jauh dari mumpuni.  Dalam laporannya, UNICEF (2023) menyebutkan ada kemungkinan sebanyak 97% puskesmas terakreditasi yang belum memenuhi standar aksesibilitas bagi disabilitas. Pada laporan yang sama, UNICEF juga menyampaikan bahwa terdapat peningkatan jumlah sekolah inklusif di Indonesia sebanyak 29% dari tahun 2021 ke tahun 2022 tetapi sekolah-sekolah ini masih mengalami kekurangan guru bantu untuk mendukung anak.

Produksi serta Reproduksi Wacana yang Melanggengkan Praktik Stigmatisasi

Segala bentuk tindakan yang melestarikan produksi dan reproduksi wacana terkait stigma terhadap anak-anak dengan disabilitas menjadi persoalan bersama yang mesti dituntaskan. Bercokolnya stigma di benak masyarakat adalah produk dari misinformasi yang telah terkristalisasi menjadi kepercayaan. Pada masyarakat tradisional, keberadaan anak-anak dengan disabilitas dikaitkan dengan hal-hal berbau mistis. Mereka kerap dianggap sebagai sebuah ‘kutukan’ dari Tuhan yang membuatnya terkucilkan dari masyarakat. Meskipun dalam kehidupan kontemporer praktiknya kian memudar tetapi tafsir mistis tersebut masih membudaya di wilayah-wilayah seperti pedesaan hingga sekarang. Di samping itu, produk budaya seperti halnya film saat ini turut menjadi transmitter yang kerap kali memojokkan posisi anak-anak dengan disabilitas. Alih-alih merepresentasikan anak-anak dengan disabilitas justru kerap mereproduksi stigma melalui narasi yang dibangun. Stigmatisasi tersebut tidak boleh dinormalisasikan dalam kehidupan, sebaliknya masyarakat harus turut berupaya menjadi agen yang menghentikan siklus stigmatisasi terhadap anak-anak dengan disabilitas.

Stigmatisasi bukanlah praktik yang mudah diberhentikan tetapi tak berarti bahwa tidak ada upaya-upaya berarti yang bisa mereduksinya. Peran berbagai institusi lintas sektoral penting untuk meluruskan misinformasi terhadap anak-anak dengan disabilitas sehingga stigma-stigma yang membatasi kebebasan dan pemenuhan hak-hak hidup mereka dapat direduksi. Dalam hal ini, institusi pendidikan, kesehatan, serta pemerintah harus lebih dulu mewujudkan lingkungan aman yang tidak mentolerir stigmatisasi dan diskriminasi terhadap anak-anak dengan disabilitas. Institusi-institusi tersebut juga semestinya berperan aktif dalam menggiatkan upaya-upaya edukasi kepada masyarakat luas terkait klaim-klaim menyimpang yang mendegradasikan kemampuan anak-anak dengan disabilitas. Di samping itu, penyediaan fasilitas-fasilitas publik yang inklusif dan memadai pun krusial sehingga mereka tidak tereksklusi dari anak-anak seusianya (tjoksinta).

Referensi

Project Multatuli. (2022). Difabel Diaibkan Keluarga, Masih Diabaikan Negara. https://projectmultatuli.org/difabel-diaibkan-keluarga-masih-diabaikan-negara/.

UNICEF. (2023). Memberdayakan Setiap Anak: Merangkul Keanekaragaman dan Inklusi untuk Semua: Analisis Lanskap tentang Anak Penyandang Disabilitas di Indonesia.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *