Merefleksikan kasus-kasus belakang
Mungkin kamu masih ingat dengan kasus yang terjadi pada akhir bulan Desember, 2023 lalu. Sebelas anak di bawah umur menjadi korban KBGO (kekerasan berbasis gender online) yang dilakukan oleh seorang laki-laki berusia 21 tahun. Dilansir dari Komisi Perlindungan Anak, modusnya dilakukan dengan menjanjikan 500 diamond (alat tukar di dalam game) melalui platform game online baik Mobile Legend maupun Genshin Impact. Seusai berkenalan melalui platform game online, tersangka mulai intense bertukar pesan melalui WhatsApp, mengirimkan video dan foto yang berbau pornografi, dan mengancam bahwa akan menghapus akun game milik korban tadi jika tidak mengirimkan balasan serupa. Korban akhirnya menuruti kemauan pelaku.
Kejadian lain juga dialami oleh seorang siswi dari Sorong pada 2023. Dikutip dari Tribun News, ia menjadi korban dari Non-Consensual dissemination of Intimate Images (NCII) atau persebaran konten intim tanpa konsen dalam bentuk video. Selain ancaman drop out di depan mata, ia juga harus menerima perundungan dari lingkungan sosialnya. Ia menjadi satu-satunya pihak yang menanggung masalah akibat tersebarnya video tanpa konsen tersebut. Sedangkan pelakunya bebas melenggang tanpa diusut lebih lanjut.
Intensitas korban anak dalam KGBO semakin lama semakin naik. Laporan Pemantauan Hak-Hak Digital di Indonesia untuk tahun 2024 yang dikeluarkan oleh SAFEnet memperlihatkan bahwa jumlah kasus KBGO di Indonesia selama triwulan pertama 2024 meningkat tajam dibandingkan periode yang sama di tahun lalu. Korban anak-anak usia di bawah 18 tahun menduduki peringkat kedua dengan jumlah 123 kasus atau menempati 26 persen dari jumlah aduan. Dari data yang dirilis, berdasarkan jenisnya, ancaman terhadap penyebaran konten intim yang paling marak terjadi. Di sisi lain, beberapa modus KBGO terhadap anak juga mengarah pada tindakan manipulatif terhadap anak. Selaras dengan itu, Laporan Refleksi 3 Tahun Task Force KBGO terkait Korban Anak yang menyatakan bahwa tiga tahun ini merupakan tahun yang berat karena intensitas korban KBGO anak semakin bertambah.
KBGO: dari Dependensi hingga Anonimitas Pelaku
Anonimitas (penggunaan akun tanpa nama atau biasa juga disebut dengan akun alternatif) yang tinggi di dalam dunia maya membuat para pelaku KBGO melakukan kejahatannya tanpa takut tertangkap. Anonimitas ini menyulitkan pengusutan pelaku, terlebih akses terhadap alat pelacakan atau digital forensik, serta kapasitas SDM milik aparat penegak hukum yang masih kurang terkait dengan penanganan kasus berbasis teknologi seperti KBGO. Kekerasan yang mulanya terbatas pada kontak fisik dan waktu kini menjadi tak terbatas. SAFEnet melihat betapa ragamnya pengalaman penyintas, mulai dari direkam diam-diam, peretasan, hingga pencurian gawai yang diikuti dengan ancaman dan pemerasan.
Dalam identifikasi kasus KBGO pada Anak, Anak sering kali tidak menyadari bahwa mereka adalah korban dari KBGO. Bahkan korban harus lebih dulu melakukan konfirmasi, “apakah yang aku alami adalah pelecehan seksual?” Terlebih ada banyak cara yang dilakukan pelaku dalam modus melakukan kejahatannya ditambah dengan gagapnya orang tua dalam mengikuti arus perkembangan teknologi. Realitas ini sering kali menyebabkan orang tua tidak tanggap dalam melihat potensi KBGO. Akibatnya, orang tua baru mengerti setelah KBGO muncul di permukaan dan diketahui oleh banyak orang. Di sisi yang lain, di tengah perluasan dan ketergantungan terhadap teknologi informasi komunikasi—bersisian dengan kebutuhan pergaulan, pendidikan, dan hiburan anak—membuat orang tua tidak bisa serta merta melakukan pengasuhan otoritatif dengan melalui kontrol total terhadap gawai anak.
Fitur pelaporan pada gawai maupun platform digital juga sering kali tidak efektif. Kebijakan moderasi atas konten yang masih lemah dalam menindaklanjuti kasus kekerasan berbasis gender ditambah dengan hingga sampai saat ini belum ada kerangka hukum yang secara spesifik mengatur mengenai kasus KBGO. Pengaturan terkait dengan KBGO tersebar dalam berbagai regulasi yang ada di Indonesia, bahkan muncul dilema penggunaan Undang-Undang Informasi Transaksi Elektronik (UU ITE) dan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). UU TPKS juga dinilai setengah hati dalam memberikan perlindungan hukum terhadap korban KBGO, pengaturan terkait Kekerasan Seksual Berbasis Elektronik (KSBE) sebagai terminologi dalam UU TPKS belum sepenuhnya mengakomodasi peristiwa-peristiwa KBGO yang ditemukan di masyarakat.
Kalis Mardiasih, dalam bukunya yang berjudul Luka-Luka Linimasa menuturkan bahwa sebagian besar KBGO berakhir menjadi kekerasan dalam ranah offline. Temuan dari SAFEnet juga memperlihatkan bahwa kekerasan yang terjadi lintas dan multi platform. Sehingga bukanya tidak mungkin bahwa pengancaman terhadap anak di ranah online juga akan diteruskan ke dalam dunia nyata atau offline. Ruang digital yang kemudian menjadi perpanjangan hidup manusia memiliki dimensi yang tak kasat mata kemudian masuk ke dalam ranah yang kasat.
Persepsi Keliru pada Korban
Perlindungan penyintas KBGO mengalami jalan yang begitu terjal. Penyediaan ruang aman dan dukungan korban menjadi sangat krusial bagi penyintas masih minim diberikan terutama dalam akses terhadap bantuan hukum. Anak yang bergantung dengan keberadaan orang tua dan keluarganya dalam menempuh usaha jalur hukum mengalami kerentanan berlapis. Sebab, alih-alih memberikan dukungan, keluarga menganggap kasus ini sebagai aib yang harus disembunyikan. Anak juga kerap takut untuk bercerita terhadap KBGO yang dialaminya oleh keluarga terdekat. Kondisi ini yang justru dimanfaatkan oleh pelaku untuk melakukan intimidasi agar lebih lanjut menuruti kehendak atau permintaan pelaku. Dalam kasus KBGO untuk anak dan pada umumnya, terdapat reaksi dinamis yang sangat tergantung dengan kondisi penyintas: luka yang tidak terlihat dan kesulitan bagi penyintas untuk mengartikulasikan luka.
Hak atas pendidikan korban KBGO sering kali diabaikan. Dengan alasan mempermalukan nama sekolah dan atas nama penodaan moral sosial, anak-anak kerap dikeluarkan dari sekolah. Padahal, sesuai mandat dari Permendikbud Ristek Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan, ada peran yang sangat krusial dari pihak sekolah untuk memberikan dukungan-dukungan yang dirasa perlu untuk mendukung penyintas, dan bukan merundungnya.
Ketika kasus KBGO diketahui oleh publik, dapat dibayangkan bagaimana stigma dan penghakiman publik yang diberikan kepada penyintas. Kultur menyalahkan korban tanpa menyorot pelakunya ditambah dengan jejak digital pada korban, yang kemudian membuka peluang korban untuk kembali menjadi korban terhadap kasus yang sama. Kondisi tersebut membuat the right to be forgotten atau hak untuk dilupakan milik korban menjadi sulit diterapkan. Terlebih Kasus-kasus yang berbalik kepada korban melalui ancaman dan pelaporan balik melalui penggunaan pasal-pasal karet dalam UU ITE.
Dengan kekompleksan persoalan KBGO pada anak, tentunya, permasalahan ini harus diselesaikan dengan pendekatan yang kompleks pula: kolaborasi antar stakeholder, rekonstruksi sosial masyarakat, dan meng-address tantangan pada lini maya dan nyata. Pendekatan ini penting karena KBGO tidak boleh disikapi sama dengan kekerasan konvensional. Banyak lintas kementrian dan lembaga yang terlibat dalam isu ini. Terlebih tadi, presepsi masyarakat yang masih memandang ‘korban’ bukan sebagai korban membuat permasalahan terkait KBGO semakin kompleks. Ingat juga, kerentanan yang dialami oleh anak menjadi berlapis ketika kita melihat bagaimaa anak masih sangat bergantung pada orang dewasa yang lain!
Jadi, apakah kamu sudah siap ambil bagian untuk menciptakan ruang aman bagi semua orang di dunia nyata maupun maya? (rama agung).
Daftar Pustaka:
Kalis Mardiasih, 2024, Luka-Luka Linimasa, Penerbit Akhir Pekan, Yogyakarta.
Pratiwi Agustin, Menteri PPPA: Perlu Literasi Digital untuk Cegah Kekerasan Gender Secara Daring, https://aptika.kominfo.go.id/2021/05/menteri-pppa-perlu-literasi-digital-untuk-cegah-kekerasan-gender-secara-daring/, diakses 10 September 2024
SAFEnet, Memahami dan Menyikapi Kekerasan Berbasis Gender Online, https://safenet.or.id/wp-content/uploads/2019/11/Panduan-KBGO-v2.pdf, diakses 12 September 2024.
CNN Indonesia, SAFEnet: Kekerasan Berbasis Gender Naik, Terbanyak Usia 18-25 Tahun, https://www.cnnindonesia.com/teknologi/20240509094321-192-1095678/safenet-kekerasan-berbasis-gender-naik-terbanyak-usia-18-25-tahun, diakses 12 September 2024.
SAFEnet, Laporan Pemantauan Hak-Hak Digital Triwulan Pertama 2024
Andrei Wilmar, Menilik Nasib Korban KBGO di Hadapan Institusi Pendidikan, https://magdalene.co/story/korban-kbgo-di-sekolah/, diakses 20 September 2024.
Syifa Maulida, Laporan TaskForce KBGO: Sekolah Masih Jadi Preparator Buat Korban KBGO Anak, https://magdalene.co/story/laporan-taskforce-kbgo/, diakses 20 September 2024.