Pada suatu malam di sebuah kota di Pulau Sulawesi, lampu sirine mobil polisi bersinar membutakan pandangan warga sekitar. Anggota aparat keamanan berbondong-bondong datang untuk mencegah upaya sebuah kejadian yang dapat membekas di kota tersebut; mereka telah datang untuk menggagalkan upaya tindak kekerasan siswa, akrab disebut tawuran. Ketika ditelusuri kembali, alasan dari eskalasi konflik antar siswa tersebut tidaklah sepenting nyawa mereka yang bisa saja diregang karena kekerasan yang hampir terjadi. Ternyata terjadi perlawanan dari korban pemalakan ke pelaku pemalakan.
Kejadian di Sulawesi yang dilansir dari Tribun (2024) tersebut merupakan salah satu dari banyak kasus kekerasan yang terjadi di lingkungan sekolah. Salah satu kekerasan yang terjadi di atas, pemalakan, dapat dikategorikan sebagai tindak kekerasan ekonomi. Dan, walaupun tidak terjadi, tawuran juga dapat dikategorikan sebagai tindakan kekerasan di lingkungan sekolah. Dari kutipan berita di atas, tidak perlu ditegaskan lagi bahwa kekerasan di lingkungan sekolah tidak bijak semisalnya dibiarkan saja. pemalakan dapat saja terus terjadi, dan Rp5.000 ataupun tawuran yang batal tergelar bukanlah tolak ukur atas parahnya kekerasan tersebut. Sebuah solusi yang tidak semena-mena mitigatif harus diberikan untuk menghilangkan ancaman terhadap keamanan dan kenyamanan kegiatan belajar mengajar (KBM). Namun, untuk memberikan sebuah solusi atas sebuah permasalahan, diperlukan pula penelusuran atas akar dari masalah itu sendiri.
Jika kita memahami konteks sekolah sebagai institusi di mana kekerasan seperti—namun tidak terbatas pada—tawuran dan pemerasan terjadi, maka kita bisa mulai menelaah akar kekerasan tersebut. Dalam sekolah, tentu saja murid dititipkan untuk belajar dan berkembang. Perkembangan yang dibutuhkan oleh murid semasa mengenyam pendidikan tidaklah seharusnya terbatas pada perkembangannya sebagai individu. Murid juga seharusnya dituntun untuk berkembang sebagai seseorang yang berada di dalam sebuah kelompok sosial; dalam kata lain sebagai makhluk sosial. Dalam konteks pencegahan kekerasan antar murid di sekolah, pihak berwenang yang berada di sekolah semestinya bisa mengayomi murid-muridnya untuk mempelajari lebih lanjut hal-hal yang bisa membekali mereka untuk menjadi makhluk sosial yang lebih empatis sehingga kasus kekerasan tidak terjadi lagi.
Namun, akar permasalahan daripada pendidikan bagi perkembangan murid tidak dititikberatkan kepada pihak berwenang seperti tenaga pengajar sekolah. Melainkan, dengan lebih seksama, kita bisa memahami bahwa praktik pendidikan yang sayangnya belum bisa menjamin tercegahnya kekerasan antar murid. Hal ini lantaran persamaan model pendidikan yang ada sekarang dengan yang ada dari zaman penjajahan Belanda. Menurut Museum Pendidikan Nasional (2021), pendidikan yang diberikan oleh Belanda melalui program Politik Etis (Ethische Politiek) pada tahun 1899 merupakan embrio dari model pendidikan yang kita saksikan di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari tiga tingkat pendidikan—dasar, menengah, tinggi—yang terdapat juga di zaman Hindia Belanda. Lantas, apa benang merah yang dapat ditarik dari pendidikan Politik Etis dan kekerasan antar murid yang terjadi sekarang?
Fenomena kekerasan antar murid sendiri tercatat pertama kali di salah satu sekolah tinggi yang ada di Hindia Belanda pada saat itu, yaitu Sekolah Tinggi STOVIA. Dalam bukunya Bunga Rampai dalam Sejarah (1983), Mohamad Roem menceritakan pengalaman senioritas atau perpeloncoannya semasa belajar di STOVIA. Walaupun menurut Roem saat itu belum ada aspek perpeloncoan yang dilakukan dengan kekerasan, ia bercerita bahwa ia disuruh menghafalkan aksara jawa dalam urutan terbalik, lambat laun perpeloncoan memiliki unsur kekerasan dalamnya. Hal ini dimulai dari penggundulan siswa baru saat zaman penjajahan Jepang, hingga kekerasan verbal antar mahasiswa yang terjadi di salah satu Perguruan Tinggi Negeri (PTN) pada tahun 2022 (Isnaeni, 2015; Kompas, 2022).
Fenomena kekerasan—terlepas terjadi saat perpeloncoan atau tidak—di ranah pendidikan lintas generasi dapat terjadi ketika pendidikan masih berlandaskan relasi kuasa. Hal persis inilah benang merah dari permasalahan pendidikan dari zaman ke zaman.. Di era Hindia Belanda, senior yang mempelonco Mohamad Roem menyuruhnya menghafalkan aksara jawa terbalik, mahasiswa PTN di tahun 2022 menjadi korban kekerasan verbal, dan seorang anak di Sulawesi menjadi korban pemalakan. Semua ini dapat terjadi karena ada relasi kuasa di dalam interaksi antar murid; entah itu antara senior dan junior, siswa Belanda dengan pribumi, atau antara murid sekolah dengan teman sebayanya. Bahkan, relasi ini dapat kita lihat dari hal sesederhana dinamika guru–murid. Dalam kelas, tentu saja murid datang dan mengikuti aturan yang sudah ditentukan oleh sekolah dan guru-gurunya. Mulai dari jadwal pelajaran, apa yang dipelajari, dan—yang terpenting—metode penyampaian informasi saat belajar.
Metode penyampaian saat belajar sejauh ini memiliki corak mendongeng. Metode ini meliputi seorang tokoh (guru) yang menyampaikan informasi kepada pendengar (murid) seakan-akan sedang mendongeng. Hal ini dianggap filsuf asal Brazil Paulo Freire dalam bukunya Pendidikan Kaum Tertindas (1985) sebagai “pendidikan gaya bank.” Pendidikan gaya bank pada intinya adalah metode pendidikan yang diselenggarakan untuk melestarikan relasi kuasa yang ada antara penindas dan yang tertindas. Salah satu caranya adalah dengan membangun model pendidikan dengan peran-peran yang kaku dan tidak dapat diubah. Di konteks ini, hal ini dapat berwujud pendidikan yang bercorak mendongeng di mana ada peran-peran yang wajib diikuti oleh guru dan murid. Selain itu, pendidikan gaya bank juga bergantung pada anggapan bahwa ada pengajar yang pintar dan murid yang bodoh, sehingga kegiatan pembelajaran merupakan sebuah kondisi di mana si bodoh bergantung pada si pintar. Cara-cara yang disebutkan Freire ini mengembangbiakkan relasi kuasa di mana murid diharapkan untuk patuh pada gurunya. Tentu saja, apa yang disampaikan guru dapat saja dibantah murid. Namun, selain ada resiko guru memberikan sanksi kepada murid, peran guru pada akhirnya tidak bisa diganggu gugat.
Jika kita membandingkan karya Freire dengan wacana pemerintah dalam transisi menuju Kurikulum Merdeka, kita dapat melihat bahwa setidaknya sudah ada konsiderasi untuk menempatkan murid sebagai “pelaku aktif pembelajaran” dan bukan hanya “penerima pasif” (Kemendikbudristek, 2024). Namun, membandingkannya lagi dengan kenyataan lapangan di mana masih terlihat kekerasan yang dilakukan murid yang masih berada di bawah naungan lembaga pendidikan, menandai adanya suatu permasalahan. Dalam catatan kebijakan yang ditulis oleh Smeru Research Institute (2024) menyimpulkan bahwa proyek Kurikulum Merdeka belum bisa diimplementasi secara efektif. Salah satu temuannya adalah keinginan guru-guru untuk tetap mengajar berdasarkan metode yang melandasi kurikulum sebelumnya.
Pendidikan gaya bank, menurut Freire, melestarikan sifat penindasan dan kekerasan. Hal ini karena relasi kuasa yang dibentuk pada model pendidikan tersebut, sehingga murid (yang tertindas) merasa bersalah ketika mereka ‘melanggar’ nilai-nilai yang telah diajarkan sepihak oleh sang pengajar. Dan, yang lebih penting, pendidikan gaya bank terbuat sedemikian rupa sehingga internalisasi nilai-nilai yang diajarkan secara sepihak tersebut dapat diulang terus. Dalam artian, jika merujuk kepada Freire, pendidikan yang tidak membebaskan hanya membuat yang tertindas ingin menindas kembali. Untuk mengatasi hal ini, Freire menyarankan pembaruan model pendidikan yang lebih inklusif kepada murid. Hal ini paling utama berarti bahwa murid tidak dapat terjebak dalam lingkaran penindasan dalam struktur dan model pendidikan sehingga kekerasan di luar proses pembelajaran pun dapat dilazimkan. Untuk mencapai model baru ini, Freire mengutarakan pentingnya nilai kesetaraan antara peran guru dan murid; tidak ada yang secara wajib mengajar dan diajar, hanya saling belajar satu sama lain. Jika kita ingin mengacu pada Kurikulum Merdeka, maka hal yang perlu dilakukan adalah penelitian lebih lanjut terkait implementasi kurikulum baru yang efektif. Jika relasi kuasa di dalam institusi pendidikan lenyap, maka diharapkan pula kekerasan yang berdasarkan relasi kuasa dapat juga lambat laun lenyap. (arkan)
REFERENSI
Freire, P. (1985). Pendidikan Kaum Tertindas (1st ed.). LP3ES. (Original work published 1968)
Isnaeni, H. F. (2015, July 28). Kisah Plonco Sejak Zaman Londo. Historia – Majalah Sejarah Populer Pertama Di Indonesia. https://historia.id/kultur/articles/kisah-plonco-sejak-zaman-londo-P9j8l/page/1
Kompas. (2022, October 6). Kasus Perpeloncoan Maba, Universitas Jember Temukan Adanya Kekerasan Verbal Halaman all – Kompas.com. KOMPAS.com; Kompas.com. https://regional.kompas.com/read/2022/10/06/163704078/kasus-perpeloncoan-maba-universitas-jember-temukan-adanya-kekerasan-verbal?page=all
Museum Pendidikan Nasional. (2021, March 4). PENDIDIKAN MASA KOLONIAL BELANDA – Museum Pendidikan Nasional. Museum Pendidikan Nasional UPI. https://museumpendidikannasional.upi.edu/pendidikan-masa-kolonial-belanda/
Roem, M. (1983). Bunga Rampai dalam Sejarah.Tribun . (2024, January 25). Gagal Memalak saat di Sekolah, Siswa SMP Bawa Rombongan Serang Lingkungan Warga di Malam Hari. Tribunjateng.com; Tribunjateng.com. https://jateng.tribunnews.com/2024/01/25/gagal-memalak-saat-di-sekolah-siswa-smp-bawa-rombongan-serang-lingkungan-warga-di-malam-hari#google_vignette