Tulisan ini merupakan refleksi Rasyel Adzril Saputri selama magang di PKBI DIY 

         Permasalahan yang berkaitan dengan hukum tidak hanya menimpa orang dewasa, tetapi terkadang juga anak-anak. Anak-anak yang tersandung kasus hukum biasanya disebut dengan Anak Berhubungan dengan Hukum (ABH). ABH ini bisa meliputi korban, saksi, maupun pelaku. Menurut Pasal 1 ayat (3) UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA),  ABH didefinisikan sebagai anak yang telah berusia 12 tahun, tetapi belum berusia 18 tahun yang diduga melakukan tindak pidana. Tindak pidana yang dilakukan bisa bermacam-macam, mulai dari tindak pidana ringan (perusakan ringan, pencurian ringan, dan sebagainya) sampai  tindak pidana berat (penganiayaan berat, pembunuhan, dan sebagainya). 

Menariknya, dalam tindak pidana yang melibatkan anak-anak, terdapat perbedaan penanganan di dalamnya. Perbedaan penanganan dalam kasus anak dan orang dewasa ini menjadi alasan yang melatarbelakangi Saya untuk mengikuti program magang mandiri selama 1 bulan 5 hari di PKBI DIY pada Bidang Inklusi. Bidang Inklusi ini berfokus pada penanganan ABH (Anak Berhadapan dengan Hukum). ABH yang menjadi fokus penanganan adalah ABH pelaku yang kerap kali hanya dilihat sebagai pelaku, bukan sebagai korban juga. Melalui program magang mandiri tersebut, Saya dapat belajar lebih lanjut mengenai penanganan kasus hukum serta dinamika yang dialami ABH dalam proses hukumnnya, khususnya bagi ABH pelaku.

Penanganan hukum yang melibatkan anak-anak tentu berbeda dengan pelaku dewasa. Kasus hukum yang melibatkan anak-anak diselesaikan melalui pengadilan restoratif dengan diversi. Pengadilan restoratif dengan diversi adalah pengalihan dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana dengan tujuan agar ABH terhindar dari stigmatisasi negatif serta dapat kembali berbaur di lingkungan sosialnya. Untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya, ABH akan menjalani masa pembinaanya di lembaga pembinaan. Salah satu contoh lembaga pembinaan untuk anak adalah Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA). Di Provinsi D.I Yogyakarta, 

 Dari lima kali kunjungan yang Saya lakukan di LPKA bersama dengan Tim Inklusi PKBI DIY, terlihat bahwa di LPKA ABH dibina dengan baik melalui berbagai kegiatan serta proses asesmen untuk memantau perkembangan ABH. Dengan pembinaan mental, spiritual, dan keterampilan yang diterima ABH di LPKA, ketika kembali ke masyarakat ABH dapat kembali dengan versi dirinya yang lebih baik dari sebelumnya.

         Di Yogyakarta, tercatat kurang lebih 20 anak terjerat kasus hukum sehingga harus menjalani pembinaan di LPKA Kelas 2 yang berlokasi di Gunungkidul, Yogyakarta. Seperti yang telah dipaparkan di atas, LPKA adalah lembaga yang melaksanakan pembinaan kepada anak di bawah Umur karena kasus tindak pidana (Pangestika dan Nurwati. 2020). LPKA menjalankan fungsinya sebagai pembina kemandirian serta kepribadian ABH melalui pelatihan keterampilan dan pembinaan budi pekerti. Dari hasil beberapa kunjungan yang Saya lakukan ke LPKA Kelas 2A Yogyakarta menunjukan bahwa LPKA tersebut melakukan berbagai kegiatan untuk meningkatkan keterampilan ABH seperti: pelatihan bengkel,  pelatihan gamelan, mengurus tanaman dan hewan, memasak, dan sebagainya. Sementara itu, pembinaan budi pekerti dilakukan dengan petugas yang selalu mengingatkan anak untuk ibadah wajib, mewajibkan anak membaca kitab suci, serta pendampingan psikologis bagi ABH.  

Di masyarakat, ABH khususnya pelaku kerap kali mengalami stigmatisasi negatif, pengucilan, bahkan penolakan. Hal tersebut menyebabkan ABH pelaku kerap kali kurang mendapatkan dukungan ketika akan, sedang, atau sudah menjalani hukumannya. Masyarakat memandang ABH pelaku sebagai seseorang yang harus dihindari karena kesalahannya di masa lalu. Padahal, tindakan yang dilakukan anak tidak bisa dikatakan kejahatan karena anak-anak masih memiliki emosi yang labil sehingga kerap kali melahirkan sikap kritis, agresif, serta menunjukan perilaku yang cenderung mengganggu ketertiban hukum (Pribadi, Dony. 2018).  Di samping kondisi emosional yang tidak stabil, kondisi keluarga yang disfungsional, kondisi sosial yang tidak mendukung, serta kondisi ekonomi yang menjadi masalah struktural ikut dirasakan anak mendorongnya untuk melakukan tindak kenakalan. Dengan demikian, tindakan yang memaksa ABH melakukan tindakan hukum dilatarbelakangi oleh kondisi ABH yang berada di usia pencarian jati diri, emosi yang belum stabil, serta kondisi struktur sosial yang tidak mendukung. Oleh karenanya,  sudah sepantasnya ABH pelaku juga diposisikan sebagai korban dan pelaku yang harus diberi dukungan. Alih-alih mengucilkan ABH pelaku, mereka seharusnya diberi dukungan, motivasi, dan kesempatan untuk kembali beraktivitas di masyarakat. Berbekal ilmu spiritual, keterampilan, dan kontrol mental yang didapatkannya di LPKA ditambah dengan dukungan yang diberikan masyarakat, ABH tentu dapat kembali beraktivitas dan berkontribusi bagi masyarakat. 

Kasus hukum yang melibatkan anak-anak seringkali menimbulkan ketimpangan di dalamnya. ABH pelaku seringkali menerima perlakuan buruk dari lingkungannya selama menjalani proses hukum bahkan setelah menjalani proses hukum. Hal tersebut menyebabkan tidak terpenuhinya beberapa hak anak seperti: hak untuk memperoleh dukungan dari lingkungannya ketika ABH sedang menjalani masa pidana, hak  untuk kembali beraktivitas di lingkungannya setelah selesai menjalani masa pembinaan karena ditolak masyarakat, dan sebagainya. Memahami keresahan ABH tersebut, PKBI DIY berkolaborasi dengan berbagai pihak berusaha membuka akses bagi ABH untuk dapat mengembangkan minat dan bakatnya serta mengolah spiritual dan mentalnya secara bebas dan mandiri. Dengan demikian, ABH dapat melanjutkan kehidupannya di masa depan. Oleh karenanya,  sudah sebaiknya ABH mendapatkan dukungan untuk kembali ke masyarakat bukannya penolakan. 

Melalui program magang mandiri yang saya jalani di PKBI DIY,  Saya memahami proses hukum yang dijalani ABH pelaku serta dinamika yang dialami ABH pelaku selama proses berjalannya hukum serta setelah proses pembinaan. Selain itu, program magang mandiri ini memberikan saya insight baru mengenai upaya yang dilakukan berbagai pihak, khususnya LSM, dalam mewujudkan terpenuhinya hak-hak anak khususnya ABH yang kerap kali terampas ketika mereka harus menjalani proses hukum.   

Daftar Pustaka:

Astuti, D. E. (2022, Mei 24). ABH dalam Sistem Peradilan Pidana Anak. Direktorat Jenderal Pemasyarakatan. https://www.ditjenpas.go.id/abh-dalam-sistem-peradilan-pidana-anak 

Pangestika, A.W., Nurwati, N. (2020, Juni). FUNGSI LEMBAGA PEMBINAAN KHUSUS ANAK DALAM MELAKSANAKAN PROGRAM PEMBINAAN BERBASIS BUDI PEKERTI PADA ANAK DIDIK PEMASYARAKATAN. SOSIOGLOBAL: Jurnal Pemikiran dan Penelitian Sosiologi, 4(2), 99-116 .

Pribadi, D. (2018). PERLINDUNGAN TERHADAP ANAK BERHADAPAN DENGAN HUKUM. Jurnal Hukum Volkgeist, 3(1), 15-27.

Sumadi. (2023, Juni 5). Restorative Justice Untuk Anak, Apakah Menjadi Solusi? Direktorat Jenderal Pemasyarakatan. https://www.ditjenpas.go.id/restorative-justice-untuk-anak-apakah-menjadi-solusi 

Wardiasyah, J. A. (2022). PERAN LEMBAGA PEMBINAAN KHUSUS ANAK (LPKA) DALAM PENGEMBANGAN KARIER ANAK THE ROLE OF CHILD SPECIAL DEVELOPMENT INSTITUTIONS (LPKA) IN THE CAREER DEVELOPMENT OF THE CHILDHOOD. Al-Isyraq: Jurnal Bimbingan, Penyuluhan, dan Konseling Islam, 5(1), 29-38.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *