Ilustrasi menunjukkan pekerja perempuan yang sedang kebingungan dan sedih

“Sebenarnya saya tidak merokok. Saya merasa harus merokok hanya ketika turun lapangan untuk dapat diterima dan dihargai narasumber,” papar seorang teman perempuan, ketika saya bertanya apakah dia termasuk dalam salah satu kelompok perokok—perokok sosial, perokok aktif, atau perokok pasif.

Miris, mengingat kerja-kerja lapangan kerap lekat dengan sesuatu yang dianggap jantan dan sangat “pria”. Sayangnya, pada beberapa daerah tertentu, tak jarang langgeng budaya hidup patriarki, sehingga pekerja lapangan perempuan harus menawarkan ‘nilai lebih’ dengan mengubah sebagian dari dirinya untuk dapat menghimpun data secara lancar. Belum lagi permasalahan mengenai ketidakmumpunian akses lapangan dalam memenuhi kebutuhan sebagai pekerja lapangan perempuan, seperti pemenuhan ruang aman, perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS), dan sanitasi.

Pekerja lapangan sendiri dapat dimaknai sebagai pekerja yang melakukan komunikasi dengan partisipan dan biasa disebut juga sebagai pewawancara komunitas, asisten riset, dan penghimpun data (Molyneux dkk., 2013). Tidak hanya berhenti pada definisi pekerja lapangan serupa peneliti, hemat saya, pekerja lapangan perempuan di Indonesia dapat berupa mitra ojek online, fasilitator kegiatan sosial, penyuluh kesehatan, buruh tani, tukang parkir, jurnalis, dan sebagainya.

Kembali pada penggaungan mengenai hak pekerja perempuan, hal tersebut telah diupayakan melalui Pasal 83 UU Ketenagakerjaan yang berbunyi: Pekerja/buruh perempuan yang anaknya masih menyusui harus diberi kesempatan sepatutnya untuk menyusui anaknya jika hal itu harus dilakukan selama waktu kerja. Sedangkan, aturan mengenai cuti haid dimaktubkan dalam UU Ketenagakerjaan Pasal 81 ayat (1) dengan bunyi: Pekerja/buruh perempuan yang dalam masa haid merasakan sakit dan memberitahukan kepada pengusaha, tidak wajib bekerja pada hari pertama dan kedua pada waktu haid.

Melalui media Deutsche Welle (DW), Vina, karyawati perusahaan swasta mengaku bahwa di tempat kerja lama ia pernah mengalami diskriminasi di tempat kerja karena izin ketika dismenore (nyeri haid). Penghormatan atas kebutuhan biologis perempuan acap kali hilang dalam ruang-ruang kerja–utamanya kerja lapangan. Lebih lagi ketika kita mengingat bahwa sangat mungkin terjadi bentuk kelalaian dalam ketiadaan pengawasan dalam kerja lapangan.

Menurut data yang dihimpun oleh International Labour Organization (ILO) dan Never Okay Project pada Laporan Hasil Survei Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja Indonesia 2022, sebanyak 832 penyintas menjawab bahwa 69,83% kekerasan terjadi dalam ruang kerja; 39,06% terjadi di ruang daring; 21,88% terjadi di lapangan dan luar kantor; 14,42% terjadi di ruang ruang publik tempat kerja lainnya; 12,74% terjadi pada perjalanan kerja atau dinas dan pelatihan; 10,46% terjadi pada perjalanan berangkat dan pulang kerja; 4,93% terjadi di akomodasi yang disediakan oleh pemberi kerja (contoh: asrama, hotel); dan 3,25% kekerasan terjadi di fasilitas sanitasi, cuci dan ganti pakaian. Tidak hanya sekadar angka-angka, persentase tersebut menjadi fakta bahwa kekerasan, tidak hanya langgeng di ruang-ruang kerja, namun juga pada lapangan lahan bekerja.

Salah satu kasus kekerasan yang dapat dijumpai di lapangan adalah kekerasan terhadap pekerja jurnalis perempuan. Menurut Wulandari dalam Stellarosa dan Silaban (2019), penyediaan ruang laktasi yang nyaman dan memadai sering kali tidak dijumpai dalam perusahaan media. Selain itu, menurut Luviana dalam Stellarosa dan Silaban (2019), pekerja jurnalis perempuan menerima perilaku pelecehan dari narasumber ketika turun lapangan untuk peliputan, ajakan kencan, hingga pelecehan kerika peliputan di kantor kepolisian oleh aparat. Ketiadaan fasilitasi dari perusahaan dalam memberikan ruang aman untuk pekerjanya ketika para pekerja perempuan diharuskan untuk turun lapangan ini menjadi sebuah kondisi diskriminatif–di mana seharusnya seluruh pekerja, terlepas dari apapun gendernya, harus mendapatkan ruang aman dalam kegiatan kerja.

Pemenuhan ruang aman, PHBS, dan sanitasi dapat dilakukan oleh pemberi kerja dengan memberikan pendampingan dan pemahaman bagi narasumber, partisipan, maupun objek penyuluhan sebelum kegiatan kerja dilakukan. Tidak hanya itu, pembimbingan pascakerja juga seyogianya dapat diberikan oleh pemberi kerja untuk menanggulangi dampak dari hal-hal yang tidak diinginkan. Ruang aman dan nyaman diupayakan supaya pekerja lapangan perempuan, di manapun ia dipekerjakan, dapat mendapatkan hak-hak yang setara sebagai manusia dan pekerja tanpa harus mengubah suatu apapun dari dirinya. (Atha)

REFERENSI

International Labour Organization. (2022). Laporan Hasil Survei Kekerasan dan Pelecehan di Dunia
Kerja Indonesia.

Molyneux, S., Dorcas, K., Madiega, P. A., Chantler, T., Angwenyi, V., dan Geissler, P. W. 2013. Field
Workers as the Interface. Developing World Bioethics, 13(1), ii–iv. ISSN 1471-8731 (print);
1471-8847 (online).

S., C. Andhika. 2023. Cuti Haid: Hak Pekerja Perempuan yang Seolah Ada dan Tiada. Deutsche
Welle. Diakses melalui https://www.dw.com/id/cuti-haid-hak-pekerja-perempuan-yang-seolah-ada-dan-tiada/a-64443863.

Stellarosa, Y., dan Silaban, M. W. 2019. Perempuan, Media, dan Profesi Jurnalis. Jurnal Kajian
Komunikasi, 7(1), 97–109.

Undang-Undang Ketenagakerjaan Pasal 81 Tahun 2003.
Undang-Undang Ketenagakerjaan Pasal 83 Tahun 2003.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *