Di antara kumpulan anak-anak yang antusias mengikuti kegiatan, seorang anak hilang dari pandangan. Hilir mudik mengitari sudut-sudut sekolah, seorang murid berkata, “Dia ada di kamar mandi, Kak”. Meskipun sedikit memaksa membuka pintu salah satu bilik kamar mandi, akhirnya aku menemukannya. Mukanya merah padam dan pipinya sedikit basah, ia menolak untuk mengikuti kegiatan dan bergabung dengan teman-temannya. Tidak akan salah tebakan di kepalaku, pasti penyebabnya adalah perlakuan menyebalkan yang ia terima. Perundungan dalam bentuk celotehan-celotehan nakal dan perlakuan kasar yang sayangnya keluar dari diri anak-anak seumurannya. Dari kejadian itu, muncul pertanyaan, “darimana seorang anak punya keberanian untuk menyakiti orang lain?”.
Pada tahun 2023, catatan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menunjukan ada sekitar 87 kasus perundungan dari total 837 kasus pelanggaran terhadap perlindungan anak yang terjadi di satuan pendidikan. Hal ini menunjukan kegagalan dalam upaya perlindungan anak, termasuk dalam pencegahan kasus perundungan. Ketika kasus itu terjadi di sekolah, pihak-pihak yang bertanggung jawab memang telah gagal dalam melakukan pengawasan dan pencegahan. Namun lebih dari itu, pencegahan tidak sepenuhnya bisa diemban oleh guru di sekolah yang harus membagi perhatian dengan anak-anak dan urusan lainnya. Pencegahan juga harus dilakukan dari rumah, dimana nilai-nilai personal ditanamkan dan bagaimana perilaku yang baik dicontohkan.
Layaknya orang dewasa, masyarakat dan komunitas bagi anak adalah tempat mereka bertumbuh dan mengekspresikan pemahamannya. Anak-anak belajar untuk memposisikan diri di dalam komunitas yang berbeda-beda. Orang tua tidak bisa merasa cukup dengan kepatuhan yang ditunjukan anak di rumah, karena perilaku yang ditunjukan di luar rumah bisa jadi berbeda. Oleh karena itu, orang tua harus memiliki pengawasan yang baik tentang kondisi anak di luar rumah, sehingga orang tua dapat berefleksi apakah kebutuhan anak telah dipenuhi dengan baik di rumah.
Absennya Apresiasi dan Afeksi
Ketika seseorang beranjak dewasa, ingatannya mengenai masa kecil mungkin saja telah menguap, sehingga sulit bagi orang dewasa untuk melihat dari sudut pandang anak-anak. Hal-hal penting bagi anak mungkin merupakan hal kecil bagi orang tua. Dalam beberapa kasus, orang tua hanya berfokus pada apa yang telah ia capai dan lakukan, bahkan seringkali melihat perkembangan anak sebagai pencapaian pribadi. Tanpa adanya pemahaman, hubungan anak dan orangtua dapat terjerumus ke dalam hubungan hierarkis saja, dimana anak hanya ditempatkan sebagai pihak pasif yang tidak berhak untuk menuntut haknya.
Menurut letstalkaboutmentalhealth.com, respon dalam bentuk validasi dibutuhkan manusia terhadap tindakan yang dilakukannya (behavioural validation), untuk meyakinkan bahwa ia melakukan sesuatu dengan baik. Respon tersebut juga diimpikan anak-anak dari orang terdekatnya. Ketika usahanya tidak direspon secara baik, diremehkan, dan tidak dihargai, anak dapat melakukan perlawanan dengan melakukan tindakan yang pasti menyita perhatian orang terdekatnya, salah satunya dengan melakukan perundungan.
Salah satu alasan bagi anak untuk melakukan perundungan adalah keinginan untuk dihargai. Ketika ia sadar bahwa tindakannya dapat berdampak kepada korban, ia merasa bahwa dirinya diakui oleh orang lain. Afeksi dan apresiasi yang tidak kunjung terpenuhi dalam diri anak pelaku perundungan dalam jangka waktu yang lama akan membuat anak berpikir bahwa perundungan adalah hal yang benar dan normal untuk mendapatkan apa yang ia inginkan
Paparan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Terhadap Anak
Kekerasan yang dialami atau dilihat seorang anak terekam di ingatan mereka. Dilansir dari laman Sahabat Orangtua dan Anak (SOA), seorang anak yang melakukan tindakan kekerasan melihat kekerasan sebagai cara untuk mengatasi masalah. Ketika anak melakukan kekerasan yang ditujukan kepada orang lain, guru maupun orang lain yang bertanggung jawab atas anak di luar rumah perlu untuk mendeteksi adanya tindak kekerasan di rumah. Melansir dari Youth Crisis Center, anak meniru kebiasaan orang yang paling berpengaruh pada hidupnya, yaitu orang tua. Di dalam penelitian lain yang dilakukan oleh Bauer dkk, paparan tindak kekerasan dalam rumah tangga kepada anak meningkatkan potensi perilaku agresif (eksternalitas) dan perilaku menarik diri (internalitas).
Bisa dibayangkan ketidakseimbangan yang dialami seorang anak manakala ekspektasinya terhadap “rumah” harus hancur karena kehadiran kekerasan di dalamnya. Keresahan yang dirasakan tidak menemukan penyelesaian yang baik. Jangankan untuk bertanya dan mengutarakan perasaannya, seorang anak yang terpapar kekerasan di rumah hanya berharap telinganya istirahat dari teriakan-teriakan barang sehari saja. Kekalutan yang hadir dalam diri anak ditambah contoh buruk di rumah akhirnya dapat berbuah tindakan kekerasan yang ia lakukan kepada teman sebayanya.
Sekolah Sebagai Media Advokasi
Sekolah sebagai institusi penyelenggara pendidikan perlu untuk memperhatikan kesejahteraan mental peserta didik. Hal itu pula yang menjadi urgensi diadakannya layanan konseling di sekolah-sekolah. Menurut Permendikbud Nomor 111 Tahun 2014 tentang Bimbingan dan Konseling, salah satu fungsi layanan BK adalah pencegahan timbulnya masalah. Dengan demikian, layanan BK bisa disebut sebagai jendela yang menghubungkan sekolah dengan kondisi individu peserta didik. Namun, implementation gap masih saja terjadi. Tuntutan yang besar kepada pemberi layanan BK untuk dapat memastikan jenjang karir yang baik kepada peserta didik dapat membuat kualitas layanan timpang sebelah ke arah bimbingan karir saja. Akibatnya, sekolah kehilangan kesempatan untuk membaca “tanda-tanda” pada anak yang dalam hal ini bisa memicu terjadinya tindakan perundungan.
Ketidakmampuan sekolah dalam menghadirkan layanan konseling yang ideal tidak terlepas dari pendidikan nasional yang berorientasi pencapaian, sehingga membutuhkan penyelesaian yang bersifat struktural. Akan tetapi, benih-benih pelaku perundungan tidak dapat menunggu, sehingga kasus perundungan bisa terjadi kapan saja. Menyadari hal tersebut, sekolah harus dapat menyelaraskan tujuan dengan kemampuan sekolah dalam mencegah dan mengatasi perundungan. Minimal sekali, sekolah harus mampu mendeteksi gejala yang ada pada pelaku perundungan. Jika segala sumber daya sudah dimanfaatkan secara optimal, tetapi sekolah tetap tidak mampu mengatasi masalah perundungan, maka sekolah dapat mencari alternatif penyelesaian dengan cara menghubungkan pelaku dengan aktor yang memang memiliki kapabilitas dalam melakukan pembinaan terhadap orangtua dan anak pelaku perundungan, misalnya saja komunitas masyarakat yang berfokus pada hak-hak anak. Dengan demikian, masalah perundungan dapat diatasi dengan cepat tanpa meninggalkan efek yang berkepanjangan baik kepada korban maupun pelaku.
Penutup
Perundungan, sehalus apapun bentuknya tidak dapat dinormalisasi. Hal ini karena perundungan mengganggu hak korban untuk dapat mengembangkan dirinya secara optimal. Perundungan dengan sengaja menempatkan korban pada pendefinisian eksternal bahwa dirinya tidak berharga dan tidak penting dalam suatu lingkungan. Jika korban tidak memiliki resiliensi yang tinggi, maka luka tersebut akan membekas di dalam dirinya. Akhirnya, ketidakseimbangan mental mengintai korban selama mereka hidup dan bertumbuh.
Anak bukanlah aktor pasif. Anak memiliki pertimbangannya sendiri dalam melakukan tindakan berdasarkan apa yang ia pahami. Tugas masyarakat adalah untuk memperbanyak referensi tindakan terpuji dan tidak mempertontonkan kekerasan di hadapan anak. Kehadiran masyarakat yang kolaboratif secara tidak langsung dapat memberi petunjuk kepada anak tentang penyelesaian masalah yang baik ketika ada dorongan-dorongan untuk melakukan perundungan.
Tanpa membenarkan perundungan, empati terhadap anak pelaku perundungan diperlukan untuk mengetahui motif dibalik tindakan, serta mencari solusi yang dapat mencegah terjadinya perundungan di kemudian hari. Empati dalam hal ini dihadirkan untuk dapat memahami hak-hak apa yang tidak terpenuhi di dalam hidup seorang anak pelaku perundungan. Ketika kekerasan sudah dilakukan, maka bentuk empati terbaik adalah mengarahkan pelaku untuk dapat bertanggung jawab atas apa yang telah dilakukan. (Kala)
REFERENSI
Bauer, N. S., Herrenkohl, T. I., Lozano, P., Rivara, F. P., Hill, K. G., & Hawkins, J. D. (2006). Childhood bullying involvement and exposure to intimate partner violence. Pediatrics, 118(2), e235–e242.
Permendikbud Nomor 111 Tahun 2014
Putri, M. (2023, June 24). Begini Pola Asuh yang Bisa Membuat Anak Jadi Pembully Menurut Psikolog. Haibunda.
Sahabat Oragtua dan Anak. (2022, April 26). Alasan Anak Melakukan Bullying dan Cara Mencegahnya. SOA.
Sekolah Relawan. (2024, Februari 20). Kasus Bullying di Sekolah Meningkat, KPAI Sebut Ada 2.355 Kasus Pelanggaran Perlindungan Anak Selama 2023. Sekolah Relawan.
Sulisrudatin, N. (2015). Kasus bullying Dalam Kalangan Pelajar (Suatu Tinjauan Kriminologi). Jurnal Hukum Dirgantara, 5(2), 57-70.
UNICEF. (n.d.). Bullying: What is it and how to stop it. UNICEF.Youth Crisis Center. (2018, October 23). The Connection Between Domestic Violence and Bullying. Youth Crisis Center.