Seksualitas, pada soal paling awal mengenai organ-organ reproduksi sampai soal relasi laki-laki dan perempuan, masih dianggap tabu di Indonesia. Akarnya, kekuasaan yang berusaha mengontrol seksualitas warga
negaranya melalui pemilahan ilmu pengetahuan, mitos, kepercayaan, dan
nilai-nilai moralitas. Organ
reproduksi, dan seksualitas secara umum, memiliki ruang yang sama untuk diperbincangkan dan
didiskusikan seperti organ indera lainnya. Untuk telinga, ada musik, seminar musik, diskusi musik, penelitian musik, dan ada jurusan
musik di universitas. Semua orang biasa aja. “Coba kalau seks. Saya
melulu ngomongin seks, keluarga saya aja nanya, kenapa seks?’ Kenapa nggak?”
Kata Soe Tjen Marching, pembicara pada diskusi seksualitas di
LKiS, Selasa (26/8).
Kontrol
kekuasaan terhadap seksualitas lebih banyak diberikan terhadap perempuan.
Misalnya, perempuan harus menjaga sikap, menutup
tubuhnya, lemah lembut, dan sebagainya. Menurut Soe Tjen, kontrol ini muncul
dari sikap iri negara terhadap perempuan. Seperti, ketika Belanda menjajah
Indonesia.
Mereka iri dengan rempah-rempah yang dimiliki bangsa kita, dengan semua
kekayaan yang kita miliki. Untuk menguasainya, dikontrollah pribumi melalui
penjajahan, melalui pelabelan pribumi lemah, pemalas, bodoh,dan
sebagainya. Di belakangnya, ada pengakuan bangsa Indonesia memiliki kelebihan. “Itu pula yang dilakukan negara terhadap perempuan,” katanya.
Kekuasaan seringkali
mewujud secara halus. Kekuasaan berubah menjadi jahat ketika bertemu dengan yang kontra, yang tidak biasa. Misalnya, isu LGBTQ. Kekuasaan tidak perlu mengatakan homoseksual, transgender, dan transseksual buruk. Kekuasaan cukup mensosialisasikan,
hanya ada laki-laki dan perempuan, laki-laki pasangannya
perempuan. “Sudah cukup,” tuturnya.
Soe Tjen Marching,
feminis, memperoleh gelar Ph.D. dari Universitas Monash, Australia
dengan disertasi otobiografi dan buku harian perempuan-perempuan
Indonesia. Saat ini, perempuan asal Surabaya itu mengajar di Foreign and Commonwealth Office, University of London.
galink