Bertahun sudah saya membaca Tempo. Bahkan, ketika saya mengikuti tes calon reporter majalah kampus di Yogyakarta, dan ditanya majalah apa yang paling sering dibaca, saya menjawab Tempo. Tetapi saya benar-benar merasakan bagaimana jargon Tempo, ‘enak dibaca’, baru kali ini, saat membaca tulisan rubrik investigasi (Edisi 11-17 Mei 2009). Sebuah laporan mengenai aborsi, prosesi yang begitu sulit untuk diambil keputusannya, tetapi begitu
enak diceritakan. Begitu nyaman. Bisa dibaca sambil bergelak tawa, di sela-sela minum kopi dan disambi menonton televisi.

Besutan bahasa yang memang benar-benar enak itu, telah mampu mengaburkan bagaimana keputusan meski diambil untuk menghadapi persoalan Kehamilan Tidak Diinginkan (KTD). Celakanya, seluruh besutan itu, dibingkai dengan pelabelan serius, ‘bisnis’. Menjadi tidak mengherankan, hasil wawancara dengan perempuan yang menggunakan jasa layanan aborsi pun, keseluruhannya tetap dalam bingkai proses dagang.

Saya tidak menemukan barang sebarispun kalimat yang mencoba menggambarkan bagaimana sisi psikologis perempuan yang akhirnya memilih mengakhiri KTD yang dialaminya. Investigasi ini benar-benar sepi dari kesaksian psikologis. Kesunyian ini, jelas berakar dari nalar yang membingkai gagasan penulisannya.

Lalu, jargon Tempo itu tidak cukup diakhiri dengan lanjutannya saja, ‘dan perlu’. Melainkan, masih harus ditambahkan dengan ‘tidak’ di depan kata ‘perlu’. Soalnya, selain cara pandang ‘dagang’ yang memandu keseluruhan laporan investigasi ini, mengutip perspektif jurnalisme yang dikembangkan Ashadi Siregar, sangat berpatokan pada sisi legal-formal.

Dalam konteks seperti inilah sisi batin perempuan menjadi terabaikan atau bahkan memang tidak pernah terpikirkan sama sekali. Cara pandang legal-formal, tidak memungkinkan seorang jurnalis mengembangkan cakrawala pemikirannya untuk menggali soal-soal yang berkaitan dengan sisi kemanusiaan, tentang hidup manusia sehari-hari.

Saya memikirkan, akan benar-benar diperlukan dan tidak sekedar enak dibaca, manakala laporan ini memasuki wilayah kemanusiaan. Ranah yang akan mampu membuka ruang lebih lebar dari persoalan perempuan yang mengalami KTD dan hak-hak yang melingkupinya. Meletakkan KTD dalam spektrum sistem sosial yang lebih luas, dan karenanya akan menjangkau soal hak kesehatan seksual dan reproduksi bagi perempuan.

Publik kemudian akan mendapatkan sesuatu yang memang benar-benar menjadi wacana alternatif. Tidak hanya sekedar mendiskusikan persoalan legal dan tidak legal, berapa banyak pundi-pundi yang bisa ditangguk para penyedia jasa tindakan aborsi, bagaimana gurita percaloan sebagai rantai pasar. Pendek kata, tidak terjebak dalam nalar ‘ekonomi’ dalam memandang fakta sosial ‘aborsi’ dan juga seperti apa yang telah dilakukan banyak media.

Begitulah, selain Tempo akan menjadi enak dibaca, tetapi juga memang diperlukan dalam proses pendidikan kritis masyarakat. Perannya menjadi lebih, tidak sekedar melanggengkan apa yang sudah menjadi pemahaman masyarakat. Lebih celaka lagi, hanya sekedar turut meramaikan bursa informasi ‘aborsi’, tetapi tanpa memberikan wacana yang berbeda dari berbagai informasi yang telah disajikan oleh media lainnya.

Jika tidak, kelak mungkin saja publik hanya menerima Tempo sebagai ‘enak dibaca’ dan ‘tidak’ perlu.***

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *