Kembali keyakinan institusional PKBI DIY diperkenalkan. Sudah saatnya lembaga swadaya masyarakat ( LSM) meyakini , persoalan kesehatan reproduksi, HIV dan AIDS merupakan persoalan relasi kuasa, dan bukan persoalan perilaku individu maupun masalah klinis semata. Pengalaman lembaga selama ini memberikan pembelajaran, posisi LSM hanyalah sebagai mediator yang memfasilitasi penyelesaian persoalan yang dialami komunitas dengan pemerintah, sebagai aktor penyelenggara negara. Keyakinan lembaga untuk memandang komunitas tak lagi sebagai objek, telah menempatkannya sebagai aktor sekaligus subjek dalam gerakan menuju perubahan, Jelas Maezur zacky, Dirpelda PKBI DIY saat menerima rombongan tamu dari Unsula, siang kemarin di aula PKBI DIY, 20/05.
Menurut nya, semua gerakan untuk berjaringan, advokasi, kampanye,maupun bergorganisasi yang dilakukan lembaga berkiblat pada keyakinan institusional, yang sering disebut sebut iman gerakan PKBI. “ haram hukumnya, bagi relawan PKBI jika tidak mempunyai keyakinan tadi,” ujar zacky.
Menanggapi peserta rombongan yang masih bingung dengan banyaknya istilah yang tidak begitu akrab dengan mereka ,Maezur Zacky yang sering akrab dipanggil Jacky menjelaskan, persoalan stigma yang melekat pada kesehatan reproduksi termasuk HIV dan AIDS tidak hanya direspon PKBI dengan melakukan kerja kerja penjangkauan komunitas yang dimarjinalkan semata. Namun menurutnya harus dikerjakan pada dua sisi yang sama. “Dari sisi yang me atau di stigma selama ini, dari yang me marjinalkan dan dimarjinalkan,” tandasnya.
Baru baru ini ada pertemuan komunitas pasangan istri suami dari komunitas desa dengan komunitas gay, waria, pekerja seks dan anak jalanan. Disana mereka saling berdikusi dan berdialog untuk saling banyak mengenal, dan responnya sangat positif. PKBI juga membangun dan mendorongkan radio komunitas yang juga berbicara kesehatan reproduksi dalam siarannya, dengan memberdayakan masyarakat sekitar sebagai pendengarnya.
Sejumlah pertanyaan terkait siswi sekolah yang mengalami kehamilan yang tidak diinginkan (KTD), PKBI memandang siswi merupakan korban kekerasan. Korban ini tidak boleh kehilangan hak pendidikannya karena kehamilannya, oleh karenanya lembaga harus memberikan respon yang berpihak padanya. Untuk menyelesaikan persoalan semacam ini, berjaringan sangatlah mutlak dilakukan. “Seperti baru baru ini terjadi, kasus pelecehan seksual yang dilakukan seorang oknum guru kesja di sebuah SMA di Bantul, PKBI berkerja sama deng Mitra wacana dan jaringann lain untuk terus mendorongkan dan mengadvokasi dan mengawalnya hingga ranah hukum”, ujarnya .
Selain yang penyelesaian yang berorientasi pada kasus,kini telah ada mekanisme bagaimana siswi yang mengalami KTD mempunyai hak cuti dan kemudian akan meneruskan pendidikannya setelah proses persalinan nantinya. Mekanisme ini merupakan kesepakatan yang digagas bersama dengan forum guru kesehatan reproduksi jaringan PKBI, sehingga hak pendidikan tetap melekat pada siswi yang menjadi korban hingga KTD.
Hal yang lebih sistemik, melihat persoalan KTD merupakan persoalan yang dipicu pada ketidak tahuan remaja sekarang ini akan kesehatan reproduksi. Forium guru kesehatan reproduksi juga telah mengembangkan modul pendidikan kespro untuk anka sekolah SMP hingga SMA yang nantinya akan disorongkan untuk di masukkan dalam muatan lokal, ujar direktur ini dengan semangat.
Dengan begini bukan tidak mungkin multikulturalisme akan terwujud dengan harmonis, bukan saja penghormatan atas perbedaaan suku, agama , budaya semata namun lebih jauh penghormatan atas hak hak seksual dan kesehatan seksual yang termaktub dalam dokumen yang dikeluarkan oleh IPPF ( intenational plan of parenthood federation ), jelas jacky.
Indikator keberhasilan lain yang membanggakan mulai terlihat , kesadaran kritis pekerja seks yang mulai berani menggunakan haknya untuk menanyakan identitas dan surat tugas satpol PP saat melakukan razia pada komunitas ini. Adanya keterlibatan komunitas untuk terlibat dan banyak berdiskusi pada pembuatan perda HIV dan AIDS DIY yang kini telah disetujui dewan. Advokasi komunitas ke Dinas kesehatan, dinas sosial maupun Bapel Jamkesos untuk layanan yang berhubungan dengan hak hak komunitas, Ujar direktur PKBI .
Soepri Tjahyana, Pelaksana harian PKBI DIY mengatakan, “ keyakinan institusional seperti ini, hanyalah PKBI DIY yang menerapkan, mungkin tak ada di PKBI lainnya.” Dengan keyakinan seperti itu PKBI mampu menerbitkan buku buku yang ditulis komunitas sendiri, produk audio visual yang dibuat 4 komunitas yang di fasilitasi lembaga, dan masih banyak produk cetak seperti buletin dan koran yang membuktikan peran peran komunitas pada posisi subjek.
Keyakinan institusional yang diterapkan pada kerja kerja , gagasan dan cara pandang ternyata telah berhasil menarik banyak lingkungan akdemis dan universitas untuk menitipkan peserta didik didiknya belajar dari pengalaman PKBI dengan menempatkan mereka bergabung didalam aktivitas relawan di youth center. Selama ini Pusat Study Seksualitas telah banyak menerima mahasiswa dari UIN, UGM, Ahmad Dahlan, UNY, UII, Unsoed, bahkan universitas luar kota, Ujar Soepri.
Dengan metode pembelajaran yang berbeda, mahasiswa yang bergabung haruslah memberikan hasil positif yang berguna dalam pengembangan kerja kerja lembaga. “ Jadi nantinya kalau mahasiswa Unsula nanti bergabung, tidak akan ada pekerjaan membuatkan minum, angkat telepon ataupun disuruh suruh fotocopy seperti jika magang ditempat lain, tapi justru akan diberikan kesempatan untuk mengembangkan ide idenya yang bermanfaat bagi lembaga, misalnya riset dan ini gratis tidak dipungut biaya,” Jelasnya.
Sementara itu, Sulis koordinator program pengorganisasian komunitas, yang hujani dengan berbagai macam pertanyaan terkait dengan strategi pendekatan komunitas remaja jalanan, pekerja seks dan lgbt ( lesbian, gay, biseksual, dan transgender ) mengatakan, memberikan kesempatan yang sama, posisi yang sama, serta memandang komunitas sama haknya merupakan cara yang paling mudah. Strategi assisting , pemetaan persoalan serta kemampuan komunikasi akan sangat membantu relawan yang peduli untuk mendorongkan mereka berorganisasi.
Dirinya juga sependapat dengan cara pandang yang menempatkan komunitas sebagai subyek. “ Seringkali masyarakat memandang, komunitas sangatlah minim informasi sehingga layak untuk selalu dicekokin dengan informasi, yang sebenarnya sudah terlalu jenuh bagi mereka.” ujarnya.
Sulis juga menambahkan, upaya lembaga untuk membantu biaya pengobatan melalui akses Jaminan Kesehatan Sosial (JAMKESOS) merupakan bentuk keberpihakan lembaga namun sekaligus alat bantu , agar komunitas juga mau belajar serius untuk menerapkan nilai nilai anti kekerasan terhadap perempuan yang selama ini di gaungkan lembaga.