Banyak persoalan yang akan muncul sebagai akibat dari pemberlakuan Permendagri No. 38 Tahun 2008 tentang Penerimaan dan pemberiaan Bantuan Organisasi Kemasyarakatan Dari dan Kepada Pihak Asing. “Mudharatnya akan lebih besar ketimbang maslahatnya,” kata Mukhotib MD, Direktur Pelaksana Daerah PKBI DIY.

Pandangan ini berkaitan dengan akan dilakukannya diskusi Permendagri No. 38 tahun 2008, pada Kamis, 25 September 2008, di inna Garuda Hotel, Malioboro, Yoggyakarta. Menurut Mukhotib MD, pengalaman
penerimaan bantuan dengan diketahui pihak pemerintah, bukan hal baru. Beberapa lembaga pemberi dana mensyaratkannya. Hanya saja, sebatas “diketahui” atau “direkomendasi” pejabat
pemerintah. “Hampir tidak menimbulkan masalah yang cukup
serius dari sisi isi program,” katanya.

Sebagian
lembaga donor lain, tidak mensyaratkan adanya rekomendasi pejabat
pemerintah bahkan dengan ketat melarang adanya ‘bunga’ bank bagi dana
yang diberikannya. Pemberi dana hanya mensyaratkan adanya badan
hukum, sebagai bukti organisasi penerima dana syah secara hukum
keberadaannya.

Permendagri No. 38 Tahun 2008, yang
mengatur secara detail tata cara penerimaan dan pemberian bantuan
bagi organisasi kemasyarakatan cukup menarik untuk didiskusikan
bersama. Pertama, rentang
waktu yang dibutuhkan untuk melahirkan Permendagri ini antara tahun
1985 hingga 2008, mengindikasikan adanya agenda-agenda tersembunyi
dari kebijakan publik ini. Kedua, mekanisme
persetujuan yang harus diberikan pemerintah untuk penerimaan maupun
pemberian bantuan sesuai dengan level dan cakupan organisasi calon
penerima ataupun pemberi, beralasan kuat untuk diinterpretasikan
sebagai instrumen kontrol baru atas ruang dan gerak organisasi
kemasyarakatan dalam melakukan kritik dan kontrol terhadap mekanisme
dan pelaksanaan mandat pemerintahan. Kedua,
dana hibah yang kemudian menjadi objek pajak, menjadi pertanyaan
serius bagi organisasi kemasyarakatan.

Dengan pembacaan ini, kita akan bisa
melihat suatu perubahan yang signifikan terhadap gerakan kritis
rakyat, karena tidak mustahil pendanaan hibah yang mestinya bisa
diterima dari lembaga pemberi dana, menjadi batal, karena dalam kaca
mata pejabat pemerintahan program yang akan dikembangkan membahayakan
kekuasaannya. “Pejabat pemerintah bisa saja tidak menyetujui
proses pemberian dana tersebut dengan dalih apa saja yang bisa mereka
tentukan,” katanya.

Memahami cara pandang yang mungkin
berbeda-beda dan menjernihkannya, menjadi penting dilakukan untuk
menemukan pemahaman yang sama, dan mengukur secara bersama-sama pula
atas resiko yang mungkin terjadi untuk terhambatnya gerakan kritis
rakyat. Manakala penghambatan yang terjadi jauh lebih besar ketimbang
peningkatan proses pendidikan kritis rakyat, memungkinkan untuk
melakukan peninjauan ulang atas Permendagri ini. Sebaliknya, jika
kita merasa kemnafaatannya jauh lebih besar untuk kepentingan rakyat,
sudah selayaknya kita melakukan dukungan secara bersama-sama pula. “Konteks inilah yang mendorong PKBI DIY melakukan diskusi ini,” ujarnya.

Menurut Mukhotib MD, diskusi ini diharapkan bisa menjadi ajang mengidentifikasi
cara pandang organisasi kemasyarakatan terhadap Permendagri No. 38
Tahun 2008, menganalisa
nilai positif dan dampak negatifnya dan merumuskan
rekomendasi-rekomendasi berkaitan untuk pelaksanaannya. “Atau mungkin malah penolakan pemberlakukannya,” katanya.

Akan dibahas dalam diskusi ini, Makna
Penting Permendagri No. 38 Tahun 2008 dalam Program Pemberdayaan
Masyarakat yang akan disampaikan oleh Bambang Rahardjo, SH (Asisten Pemberdayaan Masyarakat
SETDA Provinsi DIY) dan Politik
Bantuan di Indonesia, disampaikan olehDrs.
Rizal Malik, MA (Ketua Pengurus Harian Nasional [PHN] PKBI Pusat), dengan moderator Damar Dwi Nugroho, SH (PBHI Yogyakarta).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *