Kesehatan reproduksi dan seksual menjadi hak bagi setiap orang,
termasuk diffable. Sayangnya, selama ini fasilitas kesehatan reproduksi
dan seksual yang dapat diakses—baik pada aras informasi maupun layanannya,
terutama oleh remaja diffable tidak mendapatkan perhatian yang serius.
Padahal kebutuhan mengenai kesehatan reproduksi dan seksual diffable
secara internasional telah diangkat dalam ICPD 1994 di Cairo. Salah satu mandat
Negara-negara peserta adalah Pemerintah di semua level dihimbau untuk
memperhatikan kebutuhan orang-orang dengan ketidakmampuan (diffable)
dari segi etika dan hak asasi manusia dan harus memperhatikan
kebutuhan-kebutuhan yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi, termasuk
keluarga berencana, dan kesehatan seksual, HIV/AIDS, informasi, pendidikan, dan
komunikasi. Pada tahun 1997 pemerintah Indonesia, melalui Departemen Sosial
mengeluarkan Undang-Undang Nomor 4 tahun 1997 tentang diffable. Meskipun
di satu sisi telah mengakomodasi banyak kebutuhan diffable seperti
hak-hak asasi manusia, namun belum mengatur masalah-masalah yang berkaitan
dengan kesehatan reproduksi dan seksualitas.

Menurut catatan WHO bahwa rata-rata 10% dari jumlah penduduk di
negara-negara berkembang termasuk Indonesia mengalami difabilitas. Indonesia dengan
penduduk mencapai 220 juta orang, sekitar 22 juta orang penduduknya adalah diffable,
walaupun menurut data di Indonesia pada tahun 2005 tercatat 6.056.875 diffable.
Di Yogyakarta sendiri tercatat sekitar 17.000 orang mengalami difabilitas.
Artinya ada 17.000 diffable di Yogyakarta yang memiliki hak untuk
mendapatkan informasi dan akses layanan kesehatan reproduksi dan seksual, namun
sampai saat ini hak tersebut belum terpenuhi.

Sampai saat ini, belum ada lembaga-lembaga yang concern
terhadap diffable mempunyai cukup kepedulian terhadap permasalahan
kesehatan reproduksi dan seksual diffable. Alasan yang paling mendasar,
tidak memiliki cukup perspektif mengenai isu hak dan kesehatan reproduksi dan
sosial. Kebanyakan lembaga diffable yang ada lebih memfokuskan kegiatan
pada isu inklusivitas dalam dunia pendidikan dan dunia kerja yang selama ini
sering mendiskriminasi diffable

Padahal berbagai kasus terus terjadi, seperti kasus perkosaan
terhadap perempuan diffable, perilaku seksual diffable yang tidak
dapat diselesaikan melalui jalur hukum karena diffable dianggap lemah
hukum dan tidak adanya dukungan dari masyarakat dan keluarga karena dianggap
sesuatu yang wajar terjadi. Kasus lain adalah kekerasan dalam rumah tangga yang
menimpa diffable korban gempa bumi. Banyak dari mereka yang ditinggalkan
pasangannya (suami atau istrinya) karena alasan difabilitas pasangan.

Kerjasama antara lembaga yang concern pada isu kesehatan
reproduksi dan seksual (PKBI) dengan lembaga diffable diharapkan dapat
menjadi kunci untuk menyelesaikan problem-problem seksualitas diffable,
yaitu untuk bersama-sama memperjuangkan terpenuhinya hak-hak kesehatan
reproduksi dan seksual untuk diffable.

Diawali dari sebuah pertemuan di youth center PKBI DIY pada
bulan April 2007. PKBI DIY mengundang lembaga-lembaga yang concern terhadap isu
diffable, untuk mendiskusikan kesulitan konselor remaja PKBI DIY saat melayani
klien yang diffable. Hasil dari diskusi tersebut merekomendasikan PKBI
untuk melakukan pendekatan ke diffable, mengadakan home visit ke klien diffable,
memberikan training tentang diffable untuk relawan PKBI, dan memberikan
training tentang kespro untuk lembaga-lembaga yang bergerak di isu diffable.

Pada bulan November 2007 PKBI mengadakan pertemuan lagi sebagai
tindak lanjut dari hasil pertemuan bulan April 2007. Pertemuan tersebut
berusaha untuk menggali berbagi persolan kesehatan reproduksi dan seksual yang
dialami oleh kawan-kawan diffable. Dari pertemuan tersebut diketahui, diffable,
terutama diffable perempuan sering mendapatkan pelecehan maupun
kekerasan seksual, namun proses hukum terhadap pelaku sering tidak dilakukan
karena tidak ada dukungan dari masyarakat, bahkan dari kelurganya. Informasi
tentang kespro dan seksualitas juga jarang didapat kawan-kawan diffable
karena tidak ada informasi yang bisa diakses mereka. Pada pertemuan tersebut
PKBI juga berusaha untuk menge-link-kan isu-isu diffable dengan
isu-isu kekerasan terhadap perempuan, isu HIV-AIDS, dan isu HAM. PKBI mengajak
kawan-kawan diffable untuk bergerak bersama dalam memperingati 16 hari
anti kekerasan terhadap perempuan, hari aids sedunia, hari diffable
sedunia, dan hari HAM.

Dalam pertemuan bulan November tersebut berhasil merekomendasikan
perlu dibentuknya sebuah jaringan kesehatan reproduksi dan seksual untuk diffable
yang akan bertemu setiap bulan sekali. Anggota jaringan juga diminta untuk
mempresentasikan tentang wilayah kerjanya, mitranya, dan kasus-kasus yang
berkaitan dengan isu kespro dan seksual yang pernah dihadapi, serta strategi
penanganannya. Selain itu lembaga-lembaga diffable juga bersedia
terlibat dalam rangkaian kegiatan peringatan 16 hari anti kekerasan terhadap
perempuan, hari aids sedunia, hari diffable sedunia, dan hari HAM yang
diorganisir oleh PKBI DIY.

Saat ini ada 13 lembaga yang tergabung dalam jaringan kespro
dan seksualitas untuk diffable, yakni dria manunggal, sigab, sapda,
yakkum, matahariku, SLB 1, SLB 2, SLB 3, SLB Hellen Keller, Bina Netra, PSLD
UIN, Ciqal, dan PKBI DIY. Mula Januari 2008, lembaga-lembaga yang tergabung
dalam jaringan ini mengadakan pertemuan setiap bulan, dari pertemuan-pertemuan
tersebut berhasil dirumuskan bahwa informasi kespro dan seksual harus bisa
diakses oleh diffable, untuk itu jaringan sepakat untuk mengadakan TOT
kespro dan seksualitas untuk lembaga-lembaga yang bergerak di isu diffable
pada bulan Juni 2008 yang akan datang. Output dari TOT tersebut adalah modul
kespro dan seksualitas untuk setiap jenis diffable. SelaIn itu jaringan
akan mengadvokasi layanan kespro dan seksualitas yang ramah diffable dan
mengadvokasi kawan-kawan diffable yang mengalami kekerasan berbasis
gender dan seksual.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *