Mandat Muhammad SAW, selain untuk meluruskan cara pandang mengenai
ketuhanan dan ritual-ritual peribadatan, sesungguhnya bisa dimaknai membawa
misi perubahan kebudayaan. Apa yang diperankannya, tidak semata-mata melakukan
akulturasi kebudayaan, penyesuaian dengan tradisi-tradisi yang sudah
terpraktikan di masa hidupnya. Melainkan juga melakukan gerakan kebudayaan, dengan
melakukan perlawanan terhadap ideologi dominan yang sudah terpraktikkan dan menggantinya
dengan ideologi baru.

Sebagaimana luas diketahui, proses pemenangan sebuah ideologi atas
ideologi dominan bukanlah perkara yang gampang. Melainkan membutuhkan
seperangkat kerja-kerja ideologi yang mampu memanfaatkan situasi terakhir dari
ketidakpuasan publik terhadap ideologi dominan. Wacana merupakan salah satu
perangkat terpenting yang harus dikemas untuk memenangkan peperangan ideologi
ini. Setelah itu, baru dibutuhkan perangkat-perangkat lain, sehingga membuat
wacana yang dikembangkan benar-benar bisa terinternalisasi dan diyakini
kebenaran yang dikandung dalam wacana. Pada situasi yang paling konservatif,
pengawalan wacana ini menggunakan praktik-praktik kekerasan dengan menggunakan
aparatur kekuasaan.

Meski orang meyakini benar, keluarnya Muhammad SAW sebagai pemenang
dalam perang menghadapi ideologi dominan karena dukungan perangkat doktrin
keagamaan (ilahiyyah), tetapi harus
diakui isi wacana yang dikembangkan memang menunjukkan adanya penghargaan atas
hak-hak kemanusiaan yang berwajah jauh lebih adil ketimbang yang dipraktikkan
dalam ideologi sebelumnya. Muhammad SAW mampu menumbuhkan kesadaran kemanusiaan
(insaniyyah).

Disidentifikasi

Mengutip gagasan Michel Pecheux (1982), apa yang dilakukan Muhammad SAW
dalam menumbangkan ideologi dominan disebut sebagai sebuah proses disidentifikasi
(disidentification). Proses
pengalaman manusia dalam meletakkan dirinya dalam relasi sosial, sesunguhnya
berangkat dari sebuah proses identifikasi. Manakala individu merasa memiliki
kesamaan dengan orang lain atau kelompok lain dalam cara pandang terhadap
realitas sosial yang dihadapi, maka individu akan bisa masuk dalam jeratan
sebuah ideologi yang dianggapnya memang sesuai dengan pilihan-pilihan hidupnya.
Disidentifikasi menurut Pechux merupakan salah satu mekanisme interpelasi
terhadap ideologi dominan dengan melakukan perlawanan terhadap seluruh
praktik-praktik ideologi dominan dan menggantikannya dengan ideologi baru.
Mekanisme interpelasi lain menurut Pecheux adalah counteridentifikasi (counter-identification), sebuah proses
menolak identitas yang ditentukan oleh praktik ideologi dominan, dan
memposisikan dirinya menjadi sub-ordinat darinya.

Perlawanan praktik-praktik ideologi dominan pada masa awal Islam
terhadap ideologi dominan yang berkuasa tidak saja pada soal praktik-praktik
peribadatan, tetapi lebih luas lagi pada relasi-relasi sosial yang sudah mapan.
Pesan-pesan damai dan penghargaan atas kemanusiaan, begitu sangat kental dan
menjadikan wacana yang dikembangkannya mendapatkan simpati dari publik, meski
terhindar dari praktik-praktik kekerasan dalam mengawalnya.

Proses disidentifikasi yang dilakukan Muhammad SAW berujung pada
kecemerlangan dan penaklukan ideologi dominan. Kemenangan ini tidak saja
menundukkan ideologi dominan dalam lingkungan sosialnya, tetapi juga mampu
menaklukkan ideologi dominan di wilayah-wilayah lain, setelah kemenangan di
wilayah Madinah. Meskipun kemudian, proses-proses pengembangan ideologi baru
ini cenderung menjadi sebuah proses kolonialisasi ketimbang menempuh proses awal
disidentifikasi dengan menyentuh kesadaran kemanusiaan. Tengarai ini sesungguhnya
tidak berlebihan, karena dalam proses selanjutnya, pengembangan ideologi ini
memang memanfaatkan perangkiat kekuasaan yang lazim digunakan oleh
kekuatan-kekuatan idelogi lain [baca: tentara]. Citra negatif ini kemudian
didukung oleh adanya konsep tawanan perangkat utamanya yang berkait dengan
kebijakan perlakuan terhadap tawanan perang.

Paradoks

Perlawanan ideologi Muhammad SAW pada masa awal Islam yang paling
mendasar dan menggetarkan adalah terhadap praktik-praktik ideologi dominan yang
berkaitan dengan posisi perempuan dalam kancah sosial. Hampir semua mafhum dan
mengakui, dalam pemahaman di kalangan intelektual muslim, perempuan pada pra
dan masa awal Islam tidaklah dipandang berderajat manusia, sebagaimana
laki-laki. Pada kondisi tertentu, seorang perempuan manakala suaminya meninggal
dirinya tidak saja tidak mendapatkan harta waris, tetapi justru bisa
diwariskan. Praktik yang dikembangkan kemudian, bukan sekedar pelarangan
pewarisan perempuan, tetapi juga diberi posisi sebagai penerima harta waris.
Hak lain yang diberikan, misalnya, diterimanya kesaksian perempuan dalam kasus
hukum, pembatasan poligami hanya sampai angka 4 (empat), dan pelarangan
pembunuhan bayi-bayi perempuan.

Pertanyaannya kemudian, kenapa revolusi kebudayaan yang begitu dahsyat
dirintis Muhammad SAW pada masa awal Islam saat ini justru menjadi beku dan
berbalik arah memenjarakan perempuan? Ini merupakan dua paradoks yang harus
diterima dalam jalan panjang wajah revolusi kebudayaan Muhammad SAW. Kebekuan
Islam dan kemandegan progresivitasnya dalam melawan berbagai ideologi dominan
saat ini, sesungguhnya bersumber dari kerangka nalar yang ingin membangkitkan
kembali idealisasi muslim awal Islam dengan seluruh aksesoris sosialnya.
Fenomena menguat dan munculnya PERDA Syariat Islam di berbagai daerah,
merupakan salah satu indikasi adanya keinginan kuat cara pandang ini. Penerapan
syariah diyakini benar sebagai jalan keluar dan jawaban berbagai problem sosial
yang berkembang. Karenanya, menjadi sulit untuk bisa menerima berbagai
perubahan baru dan karena jalan pengasingan diri menjadi pilihan paling mungkin
untuk dilakukan.

Membaca paradoks kebekuan cukup menarik dengan menggunakan kritik Faraj
Fuda’ (1988). Menurutnya sebuah tindakan bahaya dan keliru jika meyakini muslim
masa lampau itu dijadikan model untuk dibangkitkan dan dikembangkan pada saat
ini. Penerapan syariah untuk didesakkan dalam kerangka hukum nasional, juga
bukan merupakan pilihan yang ideal, karena bagaimanapun syariah bukanlah obat
serba manjur untuk menyembuhkan berbagai problem sosial mutaakhir ini.

Paradoks perempuan yang berkembang saat ini, meski memiliki sejarah
cemerlang dalam masa awal Islam, sesungguhnya berakar pada sebuah kenyataan
gerakan yang dilakukan Muhammad SAW ketika itu, belum secara mendasar melakukan
pemberangusan ideologi patriarkhi. Muhammad SAW baru melakukan perubahan dalam
praktiknya, tetapi tidak melakukan penghancuran pada sistem patriarkhinya.
Karena itu, manakala diapresiasi pada kekinian, kedahsyatan perubahan posisi
perempuan saat itu, tidak mampu menggetarkan dinding-dinding maskulinitas yang
terus mengerangkeng seluruh wacana ke-Islam-an.

Oleh karenya, kita menjadi paham benar, manakala berbagai wacana baru
bisa diadopsi dengan ajaran-ajaran Islam, tetapi manakala wacana baru itu
bersinggungan dengan entitas perempuan, maka bisa saja ditolak mdengan keras.
Ambil contoh, gagasan demokrasi sebagai model pengaturan sistem politik yang
diharapkan mendekati prinsip keadilan (ta’adul)
dan keseimbangan (tawazun) menjadi
dipersoalkan ketika berkait dengan perempuan memungkinkan tampil menjadi
pimpinan tertinggi. Bukti lainnya, dari PERDA Syariat Islam yang sudah
dikembangkan, sebagian besarnya mengatur bagaimana perempuan meski bertingkah
laku dalam ranah sosial.

Untuk secara konsisten mewarisi revolusi kebudayaan yang sudah
dilakukan Muhammad SAW dan tidak justru melahirkan paradoks, maka cara pandang
yang salah mengenai syariat Islam dalam relasinya dengan kekuasaan negara
[pemerintahan] harus didialogkan secara lebih intensif dengan melibatkan
berbagai elemen muslim. Di sisi lain, kerja-kerja penghapusan ideologi
patriakhi dari wacana dan praktik Islam harus dijadikan agenda bersama oleh
berbagai elemen muslim yang sama.***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *