Dalam tradisi intelektual, setiap kali muncul
nama baru—yang mungkin di komunitas yang berbeda ia biasa-biasa saja—selalu pertanyaan
standard yang terlontarkan, siapa dia? Lebih ruwet lagi dalam tradisi
intektual, akan disusul dengan pertanyaan buku apa yang sudah diterbitkan? Apa
gagasan utama yang ditawarkan? Kelebihannya di mana dibandingkan dengan
gagasan-gagasan yang sudah ada selama ini? Dan mungkin sederet pertanyaan lain,
mulai dari yang berniat mendapatkan informasi sampai pada niatan untuk
mengamini gagasan, menentang gagasan atau sekedar dengar lalu pergi.

Begitu juga terhadap Irsyad Manji, hampir
lebih dari sebulan lalu di Yogyakarta, ketika beberapa aktivis di Yogyakarta
berkumpul untuk memantapkan niat ikut menghadirkan dirinya, karena sudah
kebetulan hadir di Jakarta. [Untuk diketahui saja, tradisi ‘bantingan’ untuk
mengadakan acara yang harus mengeluarkan dana memang masih cukup subur hidup di
Yogyakarta. Dan ini pula yang membuat saya masih betah saja di Yogyakarta,
walaupun dalam tradisi yang lain sangat menyebalkan. Misalnya, soal munculnya
kecenderungan baru untuk merespons hal yang tak disenangi segera saja
mengerahkan massa dan melakukan intimidasi sampai tingkat pemaksaan dan
kekerasan]. Saya segera menghadapi pertanyaan, “siapa sich Irsyad Manji?” Bisik
rekan yang duduk di sebelah saya, sambil mengikuti rapat persiapan menyusun
serangkaian acara untuk menyambut Irsyad Manji.

Sebagai seorang muslim perempuan, berbagai
gagasan yang dikembangkan Irsyad Manji, sesungguhnya tidak memiliki
kelebihan-kelebihan atau perbedaan spesifik dengan perempuan muslim lain,
seperti Fatimah Mernissi, Nawa el Sadawi, Riffat Hassan, atau Aisyah
Abdurrahman, dan kalau untuk Indonesia progresivitasnya tak terlalu berbeda
dengan Musda Mulia. Lalu apa yang membuat ia menjadi bisa diperhitungkan? Menurut
saya, setidak-tidaknya ada dua hal yang membuat Irsyad Manji harus
diperhitungkan dalam tradisi kritis di kalangan muslim. Pertama, sebagai perempuan yang dalam Islam masih selalu dalam
keterpurukan, dan tampaknya masih akan cukup panjang bisa dihapuskan, Irsyad
Manji berani menambah beban hantaman yang lain secara terbuka, orientasi
seksualnya, seorang lesbian. Dalam pergolakan tradisi Islam yang sangat kental
dengan cara pandang heteroseksual, Irsyad Manji menjadi sangat luar biasa
dahsyatnya. Sebagai pengkritik tradisi kejumudan dalam Islam yang berjenis
kelamin perempuan, sudah menghadapi berbagai hambatan, tantangan, penolakan. Maka
ketika dirinya sebagai pengkritik, berjenis kelamin perempuan, dengan orientasi
seks yang berbeda, lesbian, maka hantaman, tudingan, penolakan dan tantangan
menjadi semakin keras. Hal pertama ini, yang menurut saya hampir sulit untuk
menemukan kesamaannya dengan perempuan muslim yang lain.

Kedua, Irsyad Manji memiliki perbedaan dengan para pengkritik Islam yang
lain, karena ia sangat setuju dengan tradisi Barat sebagai pijakan pengembangan
pengetahuan dan teknologi, selain juga sistem berpikir dan berdemokrasi. Sementara
reformis pada umumnya, memang mengkritik keras Islam, tetapi masih tetap alergi
dan bahkan menghujat tradisi Barat sebagai sesuatu yang asing dan berbahaya. Bahkan,
hampir segala perkembangan yang buruk dalam sosial-politik, di negeri ini,
tradisi Barat selalu menjadi kambing hitamnya.

Saya kira, dua hal ini, yang membuat saya
terkagum dan bangga. Selebihnya, tidak memiliki perbedaan yang signifikan
dengan perempuan muslim kritis lainnya. Kalau saja tidak ada halangan, saya
akan berusaha untuk bisa hadir dalam paparan gagasannya di Yogyakarta, dua hari
yang akan datang.[]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *