Fundamentalisme

Dalam
diskusi terbatas para aktivis perempuan, menguat tudingan keras terhadap
gerakan fundamentalisme yang menyebabkan terkikis habisnya hak-hak perempuan. Bahkan
nalar fundamental ini telah ditengarai sudah merasuki keseluruh ruang-ruang
sosial, seperti ekonomi, kesehatan, politik dan pendidikan. Mereka menganggap
gerakan fundamentalisme berjalan begitu sistematis, sehingga mampu menguasai
seluruh ruang sosial itu.

Untuk kasus
Indonesia, apa yang disebut dengan fundamentalisme pastilah fundamentalisme
Islam. Tudingan ini tentu saja bukan tanpa indikasi yang jelas. Maraknya berbagai
kebijakan lokal yang diberlakukan di berbagai daerah, dengan melabeli sebagai
perda-perda berjiwa Islam itu, ketika dioperasionalkan, pada dasarnya hanya
akan membatasasi gerak langkah perempuan. Sampai di titik ini saya sangat
setuju dengan argumentasi ini. Saya sudah membaca puluhan perda berwajah
diskriminatif terhadap perempuan ini—dan
tentu saja, di bagian daerah yang lain diskriminatif terhadap kelompok yang
memiliki orientasi seksual berbeda—dan beberapa memfasilitasi round table
mengenai perda yang sebagiannya berbuntut dengan syariah. Karenanya saya paham
dan bisa menerima sungguh-sungguh.

Hanya saja,
saya menolak pada anggapan gerakan fundamentalisme Islam berjalan dengan sangat
sistematis. Dalam posisi ini, saya setuju dengan gagasan Faraj Fuda’,
inetelktual muslim Timur Tengah. Menurutnya, gerakan-gerakan
Islam justru seringkali tidak memiliki rencana spesifik dalam agenda-agendanya.
Mereka justru berfikir sangat praktis, instan dan naif. Faraj melihat, ketika
mereka beranggapan implementasi syariah akan segera menghasilkan masyarakat
yang baik dan seluruh persoalan terpecahkan (al Haqiqah al Gha’ibah, 1988). Pada situasi inilah, gerakan-gerakan Islam
sesungguhnya sedang tidak memiliki sistem dan sesungguhnya a historis.

Persoalannya,
justru terletak pada kerangka nalar kita sendiri yang telah asyik maksyuk dalam
wilayah yang sangat elitis dan melupakan ruang keseharian, tentang
ketidakadilan keseharian, tentang kemiskinan yang meraja lela, tentang layanan
kesehatan yang selalu memandang siapa yang datang dan siapa yang akan mampu
membayar. Bagaimana kita melihat, rumah-rumah sakit menolak melayani kaum
miskin-papa, karena milayaran rupiah tidak dibayar oleh negara yang memiliki
agenda asuransi kesehatan rakyat miskin itu. Bagaimana kelompok waria yang
tidak memiliki identitas menjadi tidak bisa mengakses program beras untuk
keluarga miskin (raskin), meskipun faktual keseharian mereka sangatlah
miskin-papa.

Bagaimana
seorang guru ‘ngaji’ menjadi sangat tidak dinilai oleh para aktivis, karena
tidak memiliki apapun yang bisa dibanggakan, tidak dari sisi intektual apalagi
sisi financial. Saya cukup ditertawai dengan tanpa suara [maksudnya semi
mencibir tak kentara], ketika saya mengatakan, sebagai guru ‘ndongeng’ di
sebuah Kelombok Bermain. Alamak, jangan-jangan, kalau ini benar adanya,
kesemuanya berakar pada soal kita melupakan pendekatan politik keseharian,
untuk menggerakkan suara-suara moderat di Indonesia. Kita sedang sama-sama
lupa, bagaimana Suara Ibu Peduli, beberapa tahun yang lalu, mampu mengerakkan
perempuan-perempuan dan tentu saja laki-laki juga, untuk terlibat dalam gerakan
mereka. Apa pasal? SIP sungguh-sungguh menggunakan ‘politik keseharian’ untuk
mendekati problem makro bangsa ini.[]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *